Makanan Sejarah: Sego Berkat Gunungkidul dan Bentuk Syukuran yang Terabadikan dalam Rasa

Makanan Sejarah: Sego Berkat Gunungkidul dan Bentuk Syukuran yang Terabadikan dalam Rasa
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Terkenal dengan keindahan alamnya, Kabupaten Gunungkidul ternyata menyimpan kekayaan kuliner yang wajib untuk coba. Selain tiwul yang sudah terkenal hingga mancanegara, ada lagi makanan sejarah yang sudah hadir turun temurun sejak zaman dahulu. Sego berkat namanya.

Makanan sejarah satu ini ternyata tak hanya lezat di lidah saja, tetapi menyimpan banyak filosofi dan makna. Mari dengan seksama kita selami bersama.

Sejarah Slametan dalam Budaya Jawa

Slametan dalam budaya Jawa memiliki sejarah yang cukup panjang. Dahulu, masyarakat Jawa jauh sebelum hadirnya agama memiliki keyakinan animisme dan dinamisme (Kusumohamidjojo, 2010). Kepercayaan ini memiliki doktrin untuk mempercayai realitas sebagai daya kekuatan yang luar biasa bersemayam dalam diri manusia, binatang, tumbuhan dan segala yang hidup di alam semesta. Melalui kepercayaan ini akhirnya munculah persembahan untuk roh nenek moyang yang diwujudkan dalam sesajen.

Agama selanjutnya yang hadir yaitu Budha dan Hindu tidak menggeser doktrin yang ada pada masyarakat Jawa. Justru terjadi penyempurnaan dan kesempurnaan yang ditransformasikan ke dalam figur-figur tertentu seperti titisan dewa. Masyarakat Jawa beralih memberikan sesajen pada figur tersebut.

Penyurong: Kuliner Langka Dari Belitong

Setelah munculnya agama Islam, kebiasaan memberikan sesajen kepada nenek moyang atau pun figur titisan dewa tetap tak tergantikan. Hanya saja nilai-nilainya disesuaikan dengan syariat islam. Masyarakat diajak untuk mewujudkan rai sesajen dengan bershadaqah. Istilah shadaqah ini yang kemudian berkembang menjadi syukuran atau slametan. Hal ini dilakukan akan kesadaran diri yang lemah terhadap sesuatu yang berada di luar diri kita. Hingga saat ini tradisi atau budaya slametan masih dipegang cukup erat oleh masyarakat di Kabupaten Gunungkidul.

Filosofi Sego Berkat sebagai Kuliner Sejarah

Orang Jawa merupakan kelompok etnis yang suka mengadakan syukuran atau slametan pada berbagai momen penting dalam hidupnya. Mulai dari bayi lahir hingga orang meninggal dunia, semua diiringi dengan budaya Slametan. Masyarakat Gunungkidul adalah bagian dari orang jawa yang masih memegang teguh kebiasaan atau tradisi slametan hingga kini.

Salah satu komponen penting yang wajib hadir dalam prosesi slametan di Kabupaten Gunungkidul adalah sego berkat. Menurut Poerwadarminta, sego berkat merupakan sego sak lawuhe kang diwenehake marang wong-wong kang melu slametan. Artinya adalah nasi dan lauk yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti prosesi slemetan. Sego berkat juga sering disebut sebagai sego angsul-angsul.

Disebut sebagai sego berkat karena berasal dari sego tumpeng yang dipotong dan dibagi-bagi setelah menerima doa keselamatan pada Yang Maha Kuasa. Sego berkat menjadi khas karena dibungkus dengan daun jati yang menambah citarasanya. Diharapkan dengan memakan kuliner sejarah satu ini, orang-orang juga akan mendapatkan perlindungan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Asal-usul Sate Kere, Kuliner yang Dulunya Memang untuk Orang Kere Betulan

Tak hanya itu, banyak sekali nilai-nilai tradisi yang hadir dalam kuliner sejarah sego berkat. Makna filosofis sego berkat mencakup delapan hal yaitu (1) tepo seliro (toleransi), (2) welas asih, (3) adhab ashor, (4) grapyak semanak, (5) gotong royong, (6) guyub rukun, (7) ewuh pakewuh dan (8) saling pangerten.

Sego berkat merupakan refleksi pemikiran orang jawa mengenai kehidupan spiritualis mereka. Dimana harus terjadi keseimbangan dan keselarasan antara manusia, binatang, tumbuhan dan alam semesta.

Melestarikan Warisan Budaya: Sego Berkat yang Terus Hidup

Menikmati sebungkus sego berkat ternyata tak hanya memberikan kelezatan dan citarasa yang tak tergantikan, tetapi juga sebagai wujud melestarikan warisan budaya kuliner sejarah supaya tetap hidup.

Kini kamu tidak harus menunggu adanya prosesi slametan untuk merasakannya. Sebab sudah banyak sekali masyarakat di Kabupaten Gunungkidul yang menjualnya sebagai kuliner yang bisa dicicipi di hari-hari biasa. Kamu bisa datang langsung ke warung yang khusus menjual sego berkat seperti Sego Berkat Mbah Pawiro Ranti atau Sego Berkat Bu Tiwi Tan Tlogo. Atau juga bisa membeli di pasar tradisional di berbagai daerah di Kabupaten Gunungkidul.

Menunya memang sederhana, namun dengan meresapi filosofinya kamu akan ikut masuk dalam perjalanan sejarah makanan tradisional yang ciamik. Jangan khawatir soal harga, sebab satu bungkus sego berkat hanya dibandrol mulai 4 hingga paling mahal 10 ribu saja. Jangan lupa mampir dan cicipi jika berkunjung ke Kabupaten Gunungkidul!

Daerah di Jogja dengan Kuliner Ramah Kantong Mahasiswa

Referensi:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini