Alat Musik Bambu Toleat: Eksistensi dan Kisah Pilu Dibaliknya

Alat Musik Bambu Toleat: Eksistensi dan Kisah Pilu Dibaliknya
info gambar utama

Saat ini musik menjadi sebuah kebutuhan bagi manusia sebagai media untuk mengekspresikan diri saat sedang beraktifitas dalam kegiatan sehari-hari. Perkembangan musik di era modern sangat bervariasi seiring dengan berkembangnya alat musik dan teknologi.

Alat musik saat ini umumnya terkoneksi dengan jaringan listrik dalam penggunaannya, seperti gitar elektrik, drum elektrik, piano, dan sebagainya. Hal tersebut berimbas terhadap minat generasi muda terhadap musik tradisional, karena alat yang digunakan dianggap kurang modern dan ketinggalan jaman.

Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki alat musik tradisional yang mempunyai ciri khas dan keunikannya masing-masing. Bahan yang digunakan biasanya berasal dari alam, seperti kayu, bambu, daun, kulit hewan, tanduk hewan, kerang, dan sebagainya. Salah satu alat musik yang terbuat dari bambu adalah Toleat.

Toleat merupakan alat musik tradisional khas Kabupaten Subang dari bambu yang menyerupai suling, tetapi memiliki bunyi menyerupai saxophone. Toleat sendiri ditempatkan sebagai instrumen melodis yang memiliki perbedaan dengan suling atau terompet.

Toleat Alat Musik Dari Bambu

Berdasarkan sejarahnya, Toleat diciptakan oleh Mang Parman yang terinspirasi dari alat tiup permainan anak-anak gembala di pesawahan Pantura Kabupaten Subang, yaitu Empet-empetan atau Ole-olean.

Alat ini biasanya digunakan oleh anak-anak untuk mengusir kejenuhan saat menggembala ternak di sawah. “Empet-empetan” ini terbuat dari potongan batang padi sisa panen, sedangkan saat musim panen usai dan tidak ada batang padi, biasanya mereka mengganti batang padi dengan pelepah pohon papaya atau daun kelapa.

Dikarenakan bahan-bahan yang dipakai tidak permanen dan mudah rusak, Mang Parman mencoba membuat alat musik permanen dari bambu yang disebut Toleat.

Toleat: Alat musik dari bambu | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Alat musik Toleat terdiri dari kepala Toleat, simpay, lubang nada, badan Toleat dan lidah Toleat (sumber bunyi). Cara memainkan Toleat ini sama seperti suling atau terompet dan bunyi yang dihasilkan Toleat mirip dengan suara saxophone.

Penyelarasan nada Toleat tidak menggunakan tuner dan hanya berpatokan dengan Toleat yang sudah dibuat sebelumnya. Toleat sendiri berfungsi sebagai melodi dalam sebuah iringan musik. Dalam memainkan toleat biasanya dilakukan dengan posisi duduk bersila, serta ada beberapa oramentasi seperti ketrok, kejat, leot, dan puruluk.

Perkembangan Toleat

Awalnya Toleat hanya berfungsi sebagai alat untuk menghibur diri untuk mengusir kejenuhan saat menggembalakan ternak. Tak ada lagu khusus yang dimainkan, hanya mengandalkan keunikan bunyi yang dihasilkan dari alat musik ini.

Pada era 1988-an, Bapak Odo Wikanda selaku penilik kebudayaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang, menemukan Toleat dan mencoba mengangkatnya menjadi bagian dari seni pertunjukkan.

Toleat dapat dipadukan dengan alat musik tradisional yang lain seperti kacapi, gamelan, gembyung, karinding, celempung dan lain-lain. Bahkan bisa juga dimainkan bersama alat musik modern seperti keyboard bahkan hingga orchestra. Menurut Bapak Asep Nurbudi selaku pelaku seni Toleat, pada tahun 1980-an, Mang Parman memainkan alat musik Toleat pada pertunjukan Sisingaan di Tegalurung, Kabupaten Subang.

Sejak saat itu Toleat menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Subang, sehingga mulai menyebar dan dikenal lebih luas.

Salah satu Toleat milik Bapak Amar | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Saat ini Toleat biasa digunakan dalam rangka perayaan serta ritual adat di wilayah Jawa Barat, bahkan biasa dilantunkan pada saat panen padi maupun pesta pernikahan dan khitanan. Bapak Asep Nurbudi sebagai pelaku seni Toleat berkontribusi terhadap eksistensi alat musik Toleat dengan melakukan sosialisasi melalui program yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi atapun pada tingkat pendidikan formal lainnya.

Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pemecahan Rekor MURI pada tahun 2015, dengan melibatkan 1.250 siswa SMA, SMK dan SMP se-Kabupaten Subang. Di Kampung Adat Banceuy ada juga Bapak Amar sebagai pelaku seni dan pembuat Toleat yang masih aktif dalam pelestarian Toleat hingga dapat di kenal oleh masyarakat luas.

Toleat sebagai karya seni tentunya perlu terus lestari dan di pertahankan sebagai tinggalan budaya khas daerah Kabupaten Subang.

Gapura Kampung Adat Banceuy | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Kisah Pilu Sang Maestro

Maman Suparman atau Mang Parman, lahir pada tahun 1938 di Kampung Karang Asem, Desa Sukamandi Jaya, Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang. Beliau menggantungkan hidup dari aktifitas seni dan menggembala.

Mang Parman sering ditanggap warga saat sedang panen untuk main Toleat di sawah. Mengutip dari tulisan kotasubang.com yang berjudul “Jejak Pilu Sang Maestro Toleat”, menyebutkan bahwa sejak tahun 1997 keberadaan Mang Parman tidak diketahui dan dikabarkan menghilang.

Di Kampung Karang Asem, ternyata hanya ada seorang keluarga Mang Parman yang bernama Kartim. Beliau mengabarkan bahwa Mang Parman telah meninggal. Kartim kemudian menginformasikan bahwa terdapat keluarga lain yang berada di Karawang.

Ternyata sisa hidup Sang Maestro di Karawang dihabiskan di sebuah rumah sederhana yang berdinding bilik bambu bersama istri dan dua orang anaknya. Keluarga dan kerabat Mang Parman bercerita mengenai kegiatan sehari-hari Mang Parman jika tidak ada jadwal manggung, beliau biasa berjualan di sekolah atau menjala ikan di danau, bahkan sampai mengamen ke pasar-pasar hingga ke pasar Pusakanagara yang jaraknya sangat jauh.

Sungguh ironis ketika Toleat hasil karyanya dipentaskan hingga mancanegara dan disaksikan para tokoh penting, Mang Parman harus mengais recehan dengan Toleatnya di pasar-pasar.

Mang Parman diketahui meninggal tanpa di dahului sakit parah. Beliau hanya meriang, kemudian meminum obat lalu pergi tidur di kamar, akan tetapi beliau tidak bangun lagi. Kini tempat peristirahatan terakhir Sang Maestro tidak jauh dengan sawah.

Dengan dipenuhi semak belukar dan tanah yang retak kekeringan. Kematiannya tanpa kabar berita, penghormatan dan ucapan belasungkawa. Beliau hanya seorang anak gembala dan bisa membuat karya besar, tetapi diabaikan di akhir hayatnya.

Referensi:

  • Warisan Budaya Takbenda Indonesia. (2021). “Toleat”. warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses dari https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2460#:~:text=Toleat%20adalah%20alat%20musik%20tradisional,di%20pesawahan%20Pantura%20Kabupaten%20Subang.
  • Christiana, Whayan dan Teguh Gumilar. (2022). TOMUBA: Sajian Karya Seni Toleat dan Musik Bambu. Jurnal Panggung. Vol. 32 (2). Hal. 232-240.
  • Kusnandar, Nandang. (2014). Mang Parman Sang Maestro Toleat: Pencarian Nilai Estetis Melalui Siklus Perjalanan “Dari Sawah Kembali Ke Sawah”. kotasubang.com. Diakses dari https://www.kotasubang.com/3290/mang-parman-sang-maestro-toleat-dari-sawah-kembali-kesawah
  • Putri, Aulia Rifka. (2019). Kajian Organologi dan Teknik Permainan Toleat Pada Masyarakat Sunda di Desa Sanca Kabupaten Subang Jawa Barat. Skripsi. Medan: Universitas Negeri Medan.
  • Pangestu, D. J., dkk. (2022). Kreativitas Asep Nurbudi Dalam Seni Tolѐat Kabupaten Subang. Jurnal Awilaras. Vol.9 (1). Hal. 12-26.
  • KotaSubang.com. (2014). Jejak Pilu Sang Maestro Toleat. kotasubang.com. Diakses dari: https://www.kotasubang.com/3368/jejak-pilu-sang-maestro-toleat

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini