Nestapa di balik Setundun Pisang

Nestapa di balik Setundun Pisang
info gambar utama

Nampaknya pagi hari memang waktu yang didesain khusus untuk para pekerja. Waktu di mana mereka berlalu lalang di atas trotoar hingga tak banyak yang acuh dengan sekitar. Hal itu bukan hanya sekadar diksi semata, namun terlihat jelas dari sorot mata Mbah Kastawi, sosok pria tua yang lahir 101 tahun silam.

Dengan pakaian seadanya, setiap hari ia berjalan sejauh enam kilometer dari kediamannya di Dusun Kalimendong menuju Wonosobo Kota. Perjalanan itu ditempuh demi sesuap nasi dan satu-satunya cara agar ia bisa bertahan hidup.

Ketika di luaran sana banyak lansia yang sedang menikmati dana Jaminan Hari Tua (JHT), Mbah Kastawi justru semakin giat memikul keranjang berisikan buah pisang. Tak henti-hentinya pula ia menawarkan barang dagangannya tersebut kepada tiap insan yang ia temui. Namun, nahas, insan-insan yang ditemuinya itu terlalu fokus dengan dunianya sendiri.

Hidup selama 100 tahun bukanlah waktu yang sebentar, terlalu banyak pengalaman yang telah Mbah Kastawi lalui dalam sepuluh dekade terakhir, satu di antaranya adalah tragedi pembantaian oleh anggota PKI di Dempes, Kaliwiro.

Fenomena Fatherless di Indonesia, Bagaimana Dampak dan Cara Mengatasi

Ia merupakan satu-satunya saksi yang masih hidup hingga detik ini. Dari sekian banyaknya kepedihan yang bisa ia ceritakan, ingatannya tertuju pada peristiwa kelam yang terjadi sekitar tahun 1965 hingga 1966; tepatnya ketika PKI melakukan penjemputan paksa terhadap puluhan warga Yogyakarta, Wonosobo, dan beberapa daerah lain. Mereka semua dijejerkan di atas bangku yang sama. Tujuannya satu, agar proses eksekusi lebih mudah.

Nyatanya benar, ketika peluru ditembakkan, darah berserakan, dan semuanya pun tumbang. Semua kejadian menyayat hati pada masa itu masih terekam jelas di benak Mbah Kastawi. Pasalnya, di saat yang bersamaan, ia diperintahkan oleh ABRI untuk menggali lubang. Lubang itulah yang kemudian dijadikan tempat penggeletakan korban eksekusi massal oleh anggota PKI di Hutan Dempes, Kaliwiro.

Huru-hara dalam hidup bukan lagi menjadi suatu hal yang tabu. Setandan pisang yang tiap pagi dimasukkan oleh Mbah Kastawi ke dalam keranjang menjadi saksi bisu atas itu semua. Profesinya sebagai penjual pisang sudah dilakoni sejak tahun 1940-an, bersamaan dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Mungkin kalau boleh diibaratkan, pisang adalah teman hidup yang setia menemani Mbah Kastawi di saat suka maupun duka. Bagaimana tidak, dari banyaknya pelanggan yang berbondong-bondong membeli pisang dagangannya, kini bisa dihitung menggunakan jari saja.

Terlebih lagi ketika Covid-19 menyerang, ia memutuskan untuk tidak berjualan dan menetap di rumah saja bersama sang istri. Meskipun tidak mengiderkan barang dagangannya di awal masa pandemi, Mbah Kastawi sebisa mungkin tetap melakukan beberapa kegiatan positif, salah satunya ialah berkebun.

Hampir setiap pagi ia pergi menuju kebun untuk sekadar melihat atau memetik hasil panennya. Jadi tidak heran kalau fisiknya masih sehat dan bugar hingga saat ini.

Ketika pandemi mulai mereda, tepatnya pada awal tahun 2021, Mbah Kastawi mulai merangkak sedikit demi sedikit untuk memulai perannya sebagai sosok kepala keluarga. Namun, sadar atau tidak, banyak sekali perubahan yang ia rasakan.

Perjuangan Kuswanto, Guru yang Rela Jadi 'Manusia Pohon' demi Mencerdaskan Anak Bangsa

Bedha kalih rumiyin, sak niki gedhang niku wis mboten wonten regane (Berbeda dengan dulu, sekarang pisang sudah tidak ada harganya),” hanya kalimat itulah yang terucap dari mulut Mbah Kastawi. Kalimat itu mampu menggambarkan bagaimana susahnya mencari sepeser rupiah di era pandemi.

Ia harus kerja lebih ekstra untuk mencari pelanggan di tengah hiruk pikuknya Kota Wonosobo. Akan tetapi, selama ini prinsipnya hanya satu, “Mboten purun kundur nek pisange dereng telas (Tidak mau pulang kalau pisangnya belum habis.

Prinsip itu jelas menggambarkan kepribadiannya sebagai sosok pekerja keras dan pantang menyerah. Ketika banyak orang yang menaruh iba terhadapnya, Mbah Kastawi justru membungkamnya dengan kalimat,

Kulo ket rumiyin uripe yo sak menten-menten mawon; mboten sugih, nanging mboten mlarat. Sing penting disyukuri mawon (Saya dari dulu hidupnya juga seperti ini saja, tidak kaya, juga tidak miskin. Yang penting disyukuri saja).

Itulah alasan di balik damainya hidup Mbah Kastawi selama ini. Ia selalu memanjatkan syukur di tengah nestapa yang menerpa. Semoga sehat selalu, Mbah!

Film Jiwa Jagad Jawi Raih Peringkat 5 pada World Tourism Film Awards di Spanyol

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EZ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini