Mengenal Badud, Kesenian Budaya Tradisional Asal Pangandaran

Mengenal Badud,  Kesenian Budaya Tradisional Asal Pangandaran
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Suasana malam di kampung Mekarjaya tampak lebih ramai dari biasanya. Suara jangkrik dan tonggeret dari balik semak-semak nyata terdengar dekat di telinga. Orang-orang berkumpul di kediaman Kang Ardi, seorang pupuhu kampung Mekarjaya, Desa Cimindi, Kabupaten Pangandaran. Dengan mengenakan iket kepala dan sarung batik bermotif daun dahon, Kang Ardi duduk bersila memberikan pengarahan pada sekitar dua puluhan orang pria dihadapannya.

“Barudak… Isukan Badud arek mentas, hayu urang siapkeun sagala rupana ti ayeuna,” ujar Akang Ardi. Besok badud akan tampil, jadi perlu dipersiapkan segala sesuatunya dari sekarang.

“Siap!” balas anggota rombongan secara serentak. Para anggota Paguyuban Seni Gentra Kawangi pun segera beranjak, lalu pergi menuju tempat penyimpanan alat-alat kesenian. Termasuk pakaian kostum badud yang akan dikenakan pemain terpilih saat pementasan.

Terdapat tiga jenis alat kesenian tradisional yang mengiringi pertunjukan seni budaya badud. Yakni, angklung, gong kecil dan Dogdog. Angklung merupakan alat musik terbuat dari bambu ditabuh dengan cara digoyangkan. Sementara, Dogdog adalah waditra berjenis alat pukul berkulit, dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan tangan dan menghasilkan bunyi khas dan menggema ‘dug-dug’. Dogdog berukuran besar disebut badublag, dogdog kecil disebut tilingtit. Orang yang menabuh badublag juga biasanya melantunkan tembang wawangsalan atau nyanyian rakyat selama pementasan kesenian tradisional badud berlangsung.

Keesokan hari, anggota rombongan tampil rapi mengenakan seragam pangsi, yakni pakaian atribut serba hitam dan iket kepala khas sunda untuk pria.

Kesenian badud asal Desa Cimindi, pangandaran. (Foto:@desawisata_cimindi/IG)
info gambar

Sebelum atraksi badud dimulai, dilaksanakan ritual penyajian sesajen untuk arwah leluhur agar kegiatan pertunjukan berjalan lancar. Alat musik dogdog ditabuh secara serentak. Gema bunyi tatalu terdengar membahana ke seluruh penjuru. Suasana mistis kian terasa ketika sang pawang mulai merapal mantra.

Diiringi musik angklung dan lantunan tembang sancang wawangsalan, juru pawang mengundang para lelembut untuk merasuki jiwa pemain badud hingga satu persatu mengalami trans alias kesurupan. Terdengar suara mendesis, mata nyalang menatap tajam, tubuh mengejang, tangan mencakar-cakar tanah. Juru pawang melepaskan ikatan. Badud mulai berjalan hilir mudik, berlari lincah kesana kemari, mencium aroma tubuh para penonton, seakan hendak menerkam. Badud melompat-lompat, mengelus-eluskan tubuhnya pada siapa pun yang berada di dekatnya.

Keseruan dimulai ketika para pemain badud yang kerasukan tersebut mulai beraksi dengan para penonton. Kerumunan penonton buyar dibuat lari tunggang langgang karena dikejar badud macan, kera lutung, dan babi hutan, yang terus mengintai secara bergiliran. Mitosnya, warga yang memakai baju merah biasanya lebih mudah menjadi sasaran. Seorang warga bahkan ada yang sampai nekat naik pohon kelapa demi terhindar kejaran si badud macan! Penonton yang berteriak histeris lalu terkekeh-kekeh terlibat serunya atraksi pertunjukan. Sang juru pawang terus mengawasi setiap gerak-gerik badud agar tidak membahayakan.

Suasana semakin riuh ketika muncul atraksi debus mempertontonkan aksinya. Kuda lumping jalu (laki-laki) dan bikang (perempuan) berlari melesat ke tengah lapangan. Lalu, menghilang di kebon atau lari ke hutan untuk mencari makan. Ketika mendengar suara tilingtit ditabuh, kuda lumping tersebut baru akan kembali muncul dengan tubuh penuh lumpur. Pasangan kuda lumping jalu bikang memakai ikat kepala merah, dibubuhi tanda gambar kuda, dan anting-anting, sebelumnya telah dirajah atau diberi mantra oleh pawang.

Badud lutung. (Foto:@desawisata_cimindi/IG)
info gambar

Selain itu, ada pula pemain badud yang berperan sebagai ‘aki pangebon’ dan ‘nini pangebon’ yang berjalan hilir mudik di antara penonton. Aki Nini Pangebon ‘menyapa dengan ramah’ para penonton dengan menggunakan bahasa isyarat gerakan. Seluruh penonton dibuat terkesima lalu bertepuk tangan dengan meriah sebagai apresiasi terhadap atraksi pertunjukan.

Di akhir penghujung acara, para pemain badud yang kesurupan ini akan dikembalikan kesadarannya oleh pawang. Maka dari itu, orang yang menjadi pawang bukanlah orang sembarangan. Ia harus ahli dalam urusan dunia astral, mengundang serta mengembalikan makhluk halus menuju ke tempat asal muasalnya tanpa menimbulkan kericuhan.

Prosesi mengembalikan kesadaran pemain badud oleh pawang.(Foto:dokumentasi pribadi/WY)
info gambar

Hingga hari ini tidak ada yang tahu kapan persisnya badud pertama kali muncul dan berkembang di wilayah Kabupaten Pangandaran. Seni budaya tradisional buhun ini diperkirakan muncul sekitar abad 18. Kesenian tatar sunda ini diwariskan secara turun temurun, proses transfer keahlian serta pengetahuan berjalan informal seiring dengan perkembangan lintas generasi berbasis kearifan lokal.

Agus Nero Sofyan, dkk, dalam Pembelajaran dan Pelatihan Kesenian Tradisional Badud di Pangandaran Jawa Barat Sebagai Warisan Budaya Leluhur, menyatakan, kesenian tradisional badud merupakan satu di antara seni pertunjukan budaya yang ada di masyarakat Sunda, khususnya Priangan Timur – dengan segala konstelasi kultural yang bersinggungan dengan unsur budaya lainnya seperti kedok (topeng) dan sulap (debus). Awal mula masuknya unsur seni debus, misalnya, untuk semakin membuat kesenian tradisional ini menjadi lebih menarik, indah, dan ramai di hadapan penonton.

Di Desa Cimindi, badud digelar sebagai ungkapan atas rasa syukur warga pada saat musim panen tiba, acara khitanan, syukuran serta hajatan pernikahan. Badud juga kini turut dipentaskan pada hari-hari istimewa seperti milangkala Kabupaten Pangandaran, peresmian objek wisata, juga peringatan hari raya kemerdekaan Bangsa Indonesia. Acara pagelaran badud bisa dilaksanakan siang atau pun malam hari sesuai dengan kebutuhan.

Nini Pangebon. (Foto: dokumentasi pribadi/Ardi)
info gambar

Pada perkembangannya kesenian tradisional badud memiliki tantangan tersendiri, yakni semakin kurang diminati karena dianggap kalah menarik oleh kesenian dan jenis hiburan berbau modern. Dalam sebuah kesempatan, Kang Ardi mengungkapkan keresahannya tentang nasib dan masa depan Badud. Persaingan dengan seni budaya dari wilayah lain yang sudah lebih dulu popular juga turut memengaruhi eksistensi kepopuleran badud.

“Tidak semua memiliki minat dan kesadaran untuk mengembangkan budaya daerah sendiri, tapi melalui kaderisasi, saya berusaha melibatkan para golongan muda untuk turut serta menjaga kelestarian kesenian badud ini,” ujar Kang Ardi.

Kesenian tradisional badud memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki wilayah lain juga dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik dan potensi wisata. Sebagai upaya langkah preservasi kesenian badud, Kang Ardi berharap adanya kepedulian serta perhatian serius pemerintah dan kolaborasi jalinan kerja sama dengan berbagai pihak seperti pelaku seni pihak, budayawan, juga para generasi muda terhadap kesenian badud agar tidak punah tergerus oleh zaman.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WY
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini