Fahombo Nias Selatan: Seni Lompat Batu yang Mempesona Dunia

Fahombo Nias Selatan: Seni Lompat Batu yang Mempesona Dunia
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Dalam peradaban Nias yang kaya akan budaya dan tradisi, terdapat suatu seni yang menggabungkan keindahan, keberanian, dan kekayaan sejarah pulau tersebut. Fahombo, sebutan untuk seni lompat batu di Nias, sebuah tradisi yang membentang jauh ke dalam masa lalu dan mencerminkan keberanian, keanggunan, serta daya tarik budaya Nias yang tak tertandingi.

Memulai dengan ancang-ancang lari yang tidak jauh, seorang pemuda Nias akan dengan tangkas melaju kencang lalu menginjak sebongkah batu untuk kemudian melenting ke udara melewati sebuah batu besar yang bertumpuk menyerupai benteng. Puncak batu tidak boleh tersentuh dan sebuah pendaratan yang sempurna harus dituntaskan karena apabila tidak, maka risikonya adalah cedera otot, bahkan patah tulang.

Tradisi lompat batu di Pulau Nias, Sumatera Utara, atau disebut sebagai hombo batu atau fahombo telah berlangsung selama berabad-abad. Tradisi ini lestari bersama budaya zaman megalitikum di pulau seluas 5.625 km2 yang dikelilingi Samudera Hindia dan berpenduduk sekitar 700.000 jiwa.

Tidak semua masyarakat Suku Nias melakukan tradisi ini. Hanya mereka yang berada di Nias Selatan khususnya di daerah Teluk Dalam yang melakukan tradisi akrobatik ini. Hal tersebut disinyalir karena perbedaan budaya nenek moyang atau leluhur masyarakat Nias. Terlepas dari aspek pariwisata sehingga tradisi Lompat Batu menjadi begitu terkenal, tradisi ini juga menunjukan kekuatan dan ketangkasan para pemuda yang melakukannya.

Fahombo Nias di Desa Hilisimaetano | Foto:Kemenparekraf/jadesta.kemenparekraf.go.id
info gambar

Pada umumnya, anak laki-laki yang sudah berusia 7 tahun di pulau Nias melakukan latihan lompat tali. Takarannya akan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Jika waktunya sudah tiba, mereka akan melompati tumpukan batu berbentuk prisma terpotong setinggi 2 meter, panjang 60 cm, dan lebar 90 cm.

Masyarakat Nias meyakini, selain mengamalkan latihan tersebut, ada aspek kesaktian atau magis yang berasal dari roh leluhur ketika seseorang berhasil melompati batu dengan sempurna. Hal ini juga menjadi tolak ukur keberanian dan kedewasaan mereka sebagai putra prajurit Nias.

Lompat batu di Pulau Nias awalnya merupakan tradisi yang lahir dari kebiasaan berperang antardesa suku-suku di Pulau Nias. Masyarakat Nias memiliki karakter kuat dan tangguh yang diwarisi dari budaya pejuang leluhur.

Dahulu, suku-suku di Pulau Nias sering berperang karena terprovokasi oleh dendam, sengketa wilayah, atau mengalami perbudakan. Masing-masing desa kemudian membentengi wilayahnya dengan batu atau bambu setinggi 2 meter sebagai pertahanan wilayah. Oleh karena itulah budaya fahombo batu atau lompat batu dipelajari dan dilakukan sebagai persiapan sebelum berperang.

Saat itu, desa-desa di Pulau Nias yang dipimpin oleh kepala suku Balugu akan memutuskan pantas tidaknya seorang anak lelaki menjadi prajurit perang. Selain memiliki fisik yang kuat dan mampu menguasai ilmu bela diri, mereka juga harus mampu melompati bongkahan batu setinggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun sebagai ujian akhir.

Seorang Pemuda Melakukan Atraksi Lombat Batu Nias | Foto: Kemdikbud/warisanbudaya.kemdikbud.go.id
info gambar

Sekarang, tradisi lompat batu bukan untuk persiapan perang antarsuku atau antardesa, melainkan sebagai ritual dan simbol kebudayaan masyarakat Nias. Pemuda Nias yang berhasil melakukan tradisi ini akan dianggap dewasa dan sehat secara fisik untuk siap menikah. Terkadang, para pemuda yang berhasil dalam tradisi ini akan dipandang sebagai pembela desa di saat terjadi konflik.

Atraksi fahombo batu tidak hanya memberikan kebanggaan bagi seorang pemuda Nias, tetapi juga untuk keluarga mereka. Keluarga yang anaknya telah berhasil dalam fahombo batu maka akan mengadakan pesta dengan menyembelih beberapa ekor hewan ternak.

Tradisi lompat batu memang sangat unik dan menarik, serta sudah menjadi ciri khas yang melekat pada suku Nias. Tak hanya itu, tradisi lompat batu ini juga menjadi kebanggaan karena merupakan warisan budaya dan kekayaan yang bersemayam di bumi pertiwi ini.

Kawan GNFI dapat menikmati atraksi mengagumkan ini di beberapa tempat di pulau Nias, seperti di Desa Bawo Mataluo, Bawomataluo, Hilisimaetano, Hilinawalo, dan Hilimondregeraya. Desa-desa tersebut juga sudah dijadikan sebagai desa wisata berkelanjutan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif karena memiliki warisan budaya dan berpotensi menggerakkan ekonomi masyarakat dalam mengembangkan produk ekonomi krearif.

Untuk mencapai desa tersebut, kawan GNFI dapat melalui perjalanan udara dari Medan ke Pulau Nias (Gunung Sitoli) dengan waktu tempuh lebih kurang satu jam. Selain itu, perjalanan dapat pula ditempuh melalui perjalanan laut dengan kapal feri dari Sibolga ke pulau Nias dengan waktu tempuh lebih kurang 10 jam. Dari Gunung Sitoli kawan GNFI masih membutuhkan lebih kurang tiga jam perjalanan menuju Teluk Dalam dengan kendaraan roda dua atau empat.

Kawan GNFI bagaimana cerita kebudayaan dari daerahmu?

Referensi:

Riana, Deny. 2021. Jelajah Wisata Budaya Negeriku Provinsi Sumatera Utara. Bandung: PT. CV Angkasa.

Kemdikbud. 2020. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1828. Diakses pada: 3 November 2020

Kemenparekraf. 2022. Siaran Pers: Menparekraf Kagumi Adat dan Budaya Desa Wisata Hilisimaetano Nias Selatan. https://kemenparekraf.go.id/berita/siaran-pers-menparekraf-kagumi-adat-dan-budaya-desa-wisata-hilisimaetano-nias-selatan. Diakse pada: 22 Juni 2022.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

S
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini