Pecah Piring: Permainan Tradisional dari Provinsi Sumatera Utara

Pecah Piring: Permainan Tradisional dari Provinsi Sumatera Utara
info gambar utama

Usia dewasa adalah masa-masa penuh kejutan. Bukan hanya tentang hal-hal menyenangkan, tapi juga hari-hari yang dipenuhi dengan tangisan. Maka dari itu, mengenang masa kecil adalah satu kesibukan yang bagiku akan meringankan banyak beban.

Langkat adalah tempat aku dilahirkan, dan menjadi kampung di mana para sepupuku dibesarkan. Namun, aku besar di kota Medan. Hanya ada 3 tahun penuh dalam hidupku yang menjadikan Langkat sebagai tempat tinggal, tepatnya di Desa Pasar 2, Kecamatan Secanggang. Saat itu aku berada di usia 7-9 tahun, yang dengan kata lain, 3 tahun itu kuhabiskan bersama sapupu-sepupuku.

Pada masa itu smartphone tidak cukup populer di kalangan anak-anak seperti kami. Terlebih bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan. Bahkan, mainan yang dijual di toko-toko pun jarang kami gunakan. Bukan karena kami orang tak punya, melainkan akses untuk ke kota sangat sulit dijangkau. Sehingga menjadikan kami anak-anak yang terbiasa dengan “apa yang ada”.

Berbagai keterbatasan tidak menjadikan masa kecil kami kurang menyenangkan. Tenang saja, kami punya banyak cara agar keseharian tetap bisa diisi dengan tawa. Salah satunya adalah dengan memainkan permainan-permainan tradisional. Dilakukan dari siang sampai sore hari, tidak peduli jika dampaknya dimarahi.

Biasanya, kami mengadakan permainan di halaman rumah pakde-ku yang sangat luas. Tidak hanya bersama para sepupu, tapi juga dengan tetangga dan teman sekolah. Permainan tradisional memang tidak terhitung banyaknya. Namun, satu yang paling kami andalkan adalah permainan bernama “Pecah Piring”.

Apakah dengan membaca judul permainannya membuat Kawan GNFI membayangkan kami mengambil piring di dapur masing-masing untuk dipecahkan?

Tidak heran jika banyak yang belum mengetahui permainan pecah piring ini, sebab asalnya dari suku Batak PakPak, Kabupaten PakPak Barat dan Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Pecah piring bukan berarti memecahkan piring dengan sengaja untuk dimainkan. Melainkan mengumpulkan pecahan dari sebuah kepingan yang contohnya keramik. Alternatif lain bisa menggunakan batu yang pipih, tutup botol, atau apa saja yang sekiranya bisa disusun tinggi.

Seperti permainan lain pada umumnya, pecah piring juga memiliki aturan bermain. Hal ini bisa berbeda-beda di setiap daerah atau kelompok, sesuai standar menyenangkan versi masing-masing. Oleh karena itu, penjelasan mengenai pecah piring di sini adalah yang biasanya kami mainkan pada masa kecil.

Bila bermain pecah piring, kami memilih waktu di jam 4 sore, ini adalah waktu pulang dari jadwal mengaji. Selesainya tentu saja saat murotal Al-Qur’an sudah menggema di Mushalla. Pecah piring harus dimainkan dengan dua tim. Agar lebih seru, kami menetapkan 5 orang adalah minimal untuk membentuk tim.

Perlengkapan yang dibutuhkan untuk bermain pecah piring hanya pecahan keramik dan bola. Pecahan keramik kami dapatkan di belakang rumah-rumah orang yang baru selesai renovasi. Jumlah kepingan yang dibutuhkan harus lebih dari 10 agar membentuk sususan yang tinggi. Sedangkan bola-nya, tidak kami dapatkan dengan cara membeli. Melainkan buat sendiri. Batu digunakan sebagai pemberat, yang kemudian dibungkus berlapis-lapis plastik dan mengikatnya pakai banyak karet sampai berbentuk bulat seperti bola.

Saat pecahan keramik, bola, dan dua tim tersedia, selanjutnya kami akan mendiskusikan peraturan, juga batas-batas wilayah bermain. Setelah selesai, permainan pun dimulai. Dua orang perwakilan tim melakukan suit untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemain dan penjaga.

Tim yang mendapat giliran sebagai pemain berbaris di belakang garis yang telah ditentukan. Bergantian melempar bola untuk merusak susunan kepingan keramik. Saat anggota tim berhasil, maka tugas pemain adalah menyusun kembali kepingan keramik tersebut. Jangan berharap hal ini mudah dilakukan, sebab ada tim penjaga yang siap melemparkan bola pada anggota tim pemain. Bola yang dilempar akan menjadi penggugur bila terkena bagian tubuh anggota tim pemain.

Suasana permainan akan menjadi riuh saat setiap tim saling berlomba-lomba menyelesaikan misinya: tim pemain menyusun kepingan keramik agar menang, dan tim penjaga menggagalkan rencana mereka dengan membidik habis anggota tim. Pemenang akan ditentukan dari skor yang diperoleh masing-masing tim saat berhasil menyusun kembali kepingan keramik.

Masa-masa itu masih tersimpan jelas dalam ingatanku hingga saat ini. Langit sore yang sendu, para orang tua yang menyaksikan permainan kami, suara hentak kaki tanpa alas dari kami yang berlari ke sana ke mari, hingga riuhnya teriakan-teriakan untuk mengkoordinir teman masing-masing.

Hanya dengan permainan sederhana, hari-hari kami diisi dengan penuh emosi. Karena, permainan sederhana kami layaknya olimpiade yang wajib dimenangkan. Ada setitik rasa kecewa jika kalah, yang berkembang menjadi ambisi untuk menang di hari selanjutnya. Dan ada juga rasa bangga saat akhirnya kemenangan dapat diraih dengan susah payah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini