Ritual Ksetra Bairawa Tantra hingga Tradisi Kenduri di Tanah Jawa

Ritual Ksetra Bairawa Tantra hingga Tradisi Kenduri di Tanah Jawa
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Bagi masyarakat Jawa, hidup ini penuh dengan upacara atau ritual, upacara-upacara itu berkaitan erat dengan lingkaran hidup manusia sejak masih berada dalam kandungan, balita, anak-anak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematian dan setelahnya. Upacara atau ritual yang ada biasanya erat kaitannya dengan aktivitas dalam rangka untuk menangkal energi negatif.

Sehingga dalam prosesi pelaksanaanya diakhiri dengan upacara jamuan makan bagi mereka yang dianggap ikut berpartisipasi di dalamnya yang dikenal dengan istilah kenduri atau slametan.

Kenduri bisa juga dikatakan sebagai salah satu tradisi jamuan makan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan rakyat Jawa yang kerap kali dilaksanakan untuk memperingati peristiwa, syukuran, meminta doa dan mendoakan apa yang menjadi hajat tujuan si penyelenggara kenduri. sebagai asli orang jawa, kita sangat erat sekali dengan tradisi tersebut diatas.

Kenduri sendiri berasal dari kata Gondo Roso, yang jika di artikan dalam bahasa Indonesia artinya adalah cerita atau curahan hati. Adalah Berkumpulnya sanak saudara dan tetangga dalam kediaman seseorang.

Eksistensi tradisi kenduri tidak bisa lepas begitu saja dengan akar historis kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa.

Di dalam serat Darmo Gandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi dinyatakan bahwa kala itu Sunan Bonang bersama dua santrinya pergi ke desa Gedah yang ada di Kediri.

Jika mengupas dari serat Darmo Gandhul di situ banyak kepalsuan-kepalsuan dan fitnah yang sengaja dihembuskan untuk merusak citra dan ajaran islam, termasuk di antaranya merusak citra dari Sunan Bonang sendiri.

Kala itu, Kediri merupakan pusat dari ajaran sesat penganut ajaran Tantrayana dari sekte Bairawa Tantra, sebuah aliran yang memuja Dewi Durga.

Bairawa Tantra tidak hanya dipandang sesat menurut ajaran islam namun oleh keyakinan masyarakat sendiri aliran ini sesat dan meresahkan.

Menurut KH. Agus Sunyoto, Bairawa Tantra mempunyai ritual yang disebut sebagai Panca Makara atau Malima.

Selanjutnya penganut Bairawa Tantra baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang membuat lingkaran yang dikenal dengan istilah Ksetra.

Di tengah-tengahnya disediakan daging, ikan dan arak. setelah makan-makan bersama mereka melakukan persetubuhan (maituna) beramai-ramai.

Lebih mengerikan lagi jika tingkatan dari para penganut Bairawa ini telah tinggi, daging yang disediakan bukan lagi daging hewan melainkan daging manusia, ikannya hiu, dan arak diganti darah manusia.

Kedatangan Sunan Bonang ke Kediri ini dalam rangka berdakwah dan mengajarkan islam kepada masyarakat Kediri.

Tentu ritual Bairawa Tantra sangat bertentangan dengan ajaran agama islam, oleh karena itu sunan Bonang membuat acara yang mirip dengan upacara Bairawa Tantra yaitu Beliau kumpulkan masyarakat yang pada saat itu laki-laki semua di sebuah tempat, kemudian disediakan makanan, dan Sunan Bonang mengajari mereka berdoa.

Masyarakat ternyata sangat respek dengan upacara yang baru dibuat oleh Sunan Bonang ini sehingga mereka melestarikannya sampai sekarang.

Jadi hakekatnya Kenduri atau Slametan bukanlah ajaran agama Hindu maupun Budha, namun ini adalah hasil Ijtihad Fiqih yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan Sunan-sunan lainnya dalam rangka berdakwah kepada masyarakat Jawa khususnya dan masyarakat Nusantara umumnya. Annisyafaris,2022.

Terlepas dari cerita cerita yang berkembang di masyarakat jawa mengenai asal muasal tradisi ini. Acara ini terlaksana karena ada orang yang mempunyai hajat. Selanjutnya mereka mengundang para laki-laki dewasa yang biasanya adalah kerabat, tetangga dekat, warga satu RT, atau warga satu pedukuhan untuk kenduri di rumahnya.

Kemudian, salah satu kepala agama/tokoh yang dituakan (kaum rois/mbah kaum) akan memimpin doa bersama yang mana doa tersebut meminta kepada Tuhan agar hajat tuan rumah menjadi lancar dan doa-doanya dikabulkan. Usai doa bersama, tuan rumah akan menjamu para undangan dan dilanjutkan dengan pembagian nasi kenduri.

Nasi kenduri di masyarakat jawa umumnya berupa nasi tumpeng atau besek (tempat yang terbuat dari anyaman bambu bertutup bentuknya segi empat yang dibawa pulang oleh seseorang dari acara kenduri) untuk tamu undangan.

Prosesi ini umumnya dilaksanakan diwaktu malam hari, setelah ba'da Isya, karena memang acara ini pada awalnya dilakukan untuk mengumpulkan masyarakat yang mana masyarakat rata-rata luangnya di malam hari, karena mereka pekerjaannya adalah sebagai petani.

Jika para lelaki terlibat dalam prosesi inti dari tradisi kenduri, maka para wanita memiliki peran yang berbeda. Mereka memiliki tugas dalam menyiapkan berbagai keperluan untuk memasak di rumah si tuan rumah. Kegiatan ini disebut dengan tradisi rewang. Disinilah para wanita akan saling bercengkrama, bercanda dan mengobrolkan apa saja tanpa gangguan pihak lainnya.

Dari tahun ke tahun, tradisi kenduri ini terus berjalan dengan esensi yang sama, yaitu doa bersama. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, kemudian membawa konsekuensi bagi perubahan sosial, maka sistem religi yang akrab disebut kenduri ini juga mengalami pergeseran.

Pergeseran tersebut berada pada pemahaman masyarakat terhadap nilai atau makna dari tradisi yang ada, sebab pemahaman yang telah berbeda, kemudian menghasilkan wujud tradisi yang dilakukan juga berbeda.

Apalagi dalam acara kenduri peringatan kematian. Hanya beberapa makanan saja yang disajikan matang, seperti kue basah, apem, sayur gudhangan, nasi takir dan ingkung. Selebihnya, besek berisikan beras, mie instan, telur mentah, minyak goreng, kecap dan ditambah gula dan teh. Di beberapa daerah, besek pun sudah tidak digunakan lagi untuk wadah nasi kenduri.

Masyarakat banyak yang sudah menggunakan tas kenduri yang kini banyak dijual di pasaran, ada tas plastik, kertas atau karton sebagai penggantinya. Begitu pula dalam tempat dan waktu pelaksanaannya yang tidak lagi harus dilaksanakan dirumah yang mempunyai hajatan dan juga tidak harus dilaksanakan pada waktu malam, tetapi bisa diwaktu pagi, siang maupun sore hari.

Kendati perubahan itu hampir dilakukan oleh semua masyarakat, akan tetapi masyarakat tetap menjaga tradisi kenduri. Mereka tidak memandang apakah nasi kendurinya matang atau mentah. Mereka memandang dan meyakini bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam acara kenduri baik untuk kehidupan mereka.

Dengan bersama-sama ikut mendoakan tetangga yang mempunyai hajatan atau selamatan, hubungan kekerabatan akan senantiasa terjaga dan kehidupan pun menjadi lebih tenteram. Pergeseran nilai-nilai tradisi kenduri di Jawa terlihat pada berbagai hal dalam pelaksanaan kenduri sekarang ini.

Pada zaman dahulu, kenduri secara lokal dimaknai sebagai sarana menjaga hubungan baik kepada penguasa alam. Sedangkan saat ini, kenduri dimaknai sebagai sarana bershodaqoh dan menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Prosesi dan perlengkapan dalam tradisi kenduri yang penuh unsur-unsur kepercayaan lama kini lebih mengutamakan unsur dalam ajaran agama Islam, dan tetap dilestarikan sebagai bagian khazanah kebudayaan Nusantara yang adi luhung.

Referensi:

https://www.klikers.id/read/klik-news/asal-usul-tradisi-kenduri-atau-slametan-menjadi-sarana-dakwah-sunan-bonang

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LL
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini