Reinkarnasi Perempuan Dari Lampadang

Reinkarnasi Perempuan Dari Lampadang
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023, #PekanKebudayaanNasional2023, #IndonesiaMelambung “Sebagai perempuan Aceh, kita tak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”-Pesan Cut Nyak Dhien pada Cut Gambang putrinya saat kematian Teuku Umar, 11 Februari 1899

Seranup Puan, Lampadang, 1848

Gadis 12 tahun berkulit putih bersih itu tinggi semampai, taat beragama dan rendah hati. Garis wajah etnisnya unik, menggambarkan Aceh yang lahir dari rupa banyak budaya, Arab-Cina-Eropa dan Hindia (India), mewakili banyak bangsa.

Ia mewarisi garis kecantikan ibunya. Ia putri bangsawan Aceh Besar di wilayah VI Mukim Aceh, Teuku Nanta Seutia. Seorang uleebalang, keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau.

Datuk Makhudum Sati seorang keturunan Laksamana Muda Nanta perwakilan Kesultanan Aceh zaman Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibunya juga seorang putri bangsawan uleebalang Lampageu.

Kelak namanya diukir sejarah sebagai sosok perempuan pejuang tangguh, tak kenal menyerah. Bahkan kala ringkih penyakit menggerogotinya di medan juang hutan belantara Aceh. Pantang baginya menyerah sebelum berkalang tanah.

Hingga pada tahun 1901 karena iba seorang Pang Laot, Cut Nyak tertangkap di Beutong Le Sageu hingga akhirnya membawanya merantau jauh ke Tanah Pasundan, menjadi seorang Ibu Perbu, pejuang pendidik agama hingga akhir menutup hayatnya.

Krueng Raba, Pagi, 26 Maret 1873.

Puluhan tongkang kecil berisi ratusan pasukan merayap masuk pinggiran pantai Krueng Raba, Lhoknga pagi-pagi buta 26 Maret 1873 dalam usaha pertama pendaratan Belanda memulai perang Aceh.

Sementara di pinggiran pantai ribuan pasukan di bawah komando Teuku Ibrahim Lamnga, bersama sekutunya Tengku Along, Teungku Imum Lueng Bata, Teuku Nanta Seutia, Panglima Nyak Man dan Teuku Rajoet (abang Cut Nyak Dhien) sudah sejak malam berjaga menyambut gempuran itu.

Ketika ujung tongkang menyentuh pantai, pasukan Ibrahim Lamnga langsung serentak menyerbu. Sementara di kejauhan peluru-peluru meriam berhamburan dari kapal perang Citadel van Antwerpen di bawah pimpinan Jenderal van der Heijden membuat pertempuran semakin berkobar, diantara pekikan takbir tak putus beradu dengan denting pedang, rencong dan letupan bedil. Meski akhirnya pantai itu jatuh ke tangan Belanda di siang harinya.

Pertempuran demi pertempuran, disertai sergapan pasukan gerilya terus berlangsung. Pasukan Belanda dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler bersama 3.198 prajurit pada tanggal 8 April 1873, berhasil mendarat di Pantai Ceureumen, dan langsung menyerbu Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Namun harus dibayar mahal, Köhler tewas tertembak.

Hingga dalam sebuah episode pertempuran sengit, Ibrahim Lamnga mendapat bala bantuan dari pasukan Habib Abdurrahman yang cepat menyusul masuk medan tempur begitu tiba dari Pulau Penang dengan 2000 pasukannya. Maka pada Februari 1878, 5 tahun setelahnya Krueng Raba berhasil direbut kembali.

Di tahun 1873 kala penyerbuan pertama Belanda, Cut Nyak Dhien perempuan Lampadang itu telah menjadi istri Teungku Ibrahim Lamnga, putra Uleebalang Lamnga, Mukim 13 Sagi 26. Cut Nyak Dhien menikah di tahun 1862, ketika usianya genap 12 tahun.

Glee Taron, Malam, 29 Juni 1878

Ketika akhirnya Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874 dan wilayah IX Mukim dan IV Mukim diserang di tahun 1875 oleh pasukan Jenderal Jan van Swieten, Cut Nyak Dhien mengungsi menuju wilayah barat melalui Lampageu dan Lamteungoh dengan tujuan Pegunungan Paro dan Blang Kala. Ketika itu tanggal 24 Desember 1875 dan Cut Nyak Dhien berangkat bersama bayinya.

Sementara Ibrahim Lamnga melanjutkan pertempuran, memimpin pasukannya berusaha merebut kembali daerah VI Mukim pada hari yang sama tangal 24 Desember 1875 dan terus bergerilya dari pertempuran ke pertempuran lain hingga daerah Peukan Bada, Lammanyang, Lampadang, Ajun, Lam Hasan bahkan hingga ke Glee Bruoek di Aceh Barat.

Hingga pada suatu malam tanggal 29 Juni 1878, ketika para panglima dan pejuang berkumpul di Glee Taron mempersiapkan pengepungan kembali Krueng Raba, malam harinya satuan pasukan khusus Jenderal van der Heijden berhasil menyergapnya, hingga gugurlah Teuku Ibrahim Lam Nga, Teuku Rajoet, dan Panglima Nyak Man. Dan sekuel pertempuran dilanjutkan oleh Teuku Umar, panglima muda dari Maulaboh.

Babak kematian Ibrahim Lamnga itu sekaligus menjadi titik awal dimulainya konfrontasi perempuan dari Lampadang dengan Belanda, sendirian!.

Hingga dua tahun kemudian tepatnya pada 1880, bergulir sebuah versi cerita penuh romantisme.

Beberapa laki-laki tergopoh-gopoh membawa Teuku Umar yang berlumuran darah ke bale-bale. Tak lama kemudian Cut Nyak Dhien datang diantar beberapa prajurit yang diperintahkan sendiri oleh Teuku Umar, sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Di hadapan Cut Nyak Dhien, Teuku Umar yang sedang sekarat bertanya untuk terakhir kalinya. “apakah Cut Nyak bersedia menerima pinanganku, meskipun aku syahid?". Cut Nyak yang tak tega melihat kondisi Teuku Umar, menggangguk mengiyakan, disaksikan oleh banyak orang laki dan perempuan. Apalagi ketika ia juga diizinkan untuk bertempur sebagai syaratnya.

Teuku Umar kemudian bangkit dari ranjang bale-bale itu, dan dengan tersenyum kemenangan, meminta semua orang yang hadir menjadi saksi, jika Cut Nyak telah bersedia menerima "lamaran" dengan tipu muslihatnya.

Begitulah sepenggal catatan dari buku "Tjoet Nja' Dhien", sebuah buku fiksi sejarah. Cut Nyak Dhien kemudian menyambung perjuangannya mendampingi Teuku Umar yang menjadi suami keduanya, selama kurang lebih 19 tahun lamanya.

Sumedang, 6 November 1908

51 tahun setelah kepergiannya di tanah pengasingan, 6 November 1908, barulah di tahun 1959 makamnya ditemukan, atas permintaan Gubernur Aceh Ali Hasan. Pada 2 Mei 1964, Presiden Soekarno melalui surat Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1964 menetapkan Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional.

Kini Cut Nyak Dhien Milenial bereinkarnasi-terlahir kembali dalam wujud para perempuan entrepreneur-saudagar, pegiat sosial, pendidik, pekerja keras dan anggota parlemen yang menyuarakan suara-suara parau perempuan marginal di tengah budaya patriarki yang kuat.

Mereka para perempuan tangguh, pejuang tak hanya untuk kaumnya, penguasa wilayah domestiknya, tapi juga untuk dunia di luar dirinya. Karisma perempuan tetap menjadi penyejuk kiprahnya.

Meski merantau ke antero dunia, para perempuan Aceh tetap kembali menjadi sosok ibu. Seperti CutNyak Dhien, yang berjuang dengan bayi mungilnya Cut Gambang, berlari di pegunungan, belantara, sungai, ngarai, mengundi nasib dengan taktik dan gerilya. Berperang, berlari, menghilang dan sembunyi, lalu datang dengan dengan kejutan serangan lagi.

Tak soal status dan posisinya sebagai sosok perempuan memanggul tanggungjawab menjaga nanggroe. Justru dengan para lelaki kuat dan heroik, saling dukung mengusir para penjarah negeri.

Tapi kini Cut Nyak muda tak lagi memanggul bedil, menghunus rencong dan kelewang. Cukuplah dengan pena dan teknologi, bergerak layaknya para pejuang yang berperang. Menggali ketidaktahuan, mengisinya dengan pengetahuan, bersaing kepintaran, menemukan banyak jawaban teka-teki kehidupan dengan kecerdasan dan curiosity-nya.

Referensi:

https://www.tribunnews.com/regional/2011/06/29/siswi-aceh-raih-juara-dunia-olimpiade-budaya-di-turki.

https://www.antaranews.com/berita/1808357/dua-siswa-aceh-boyong-medali-perak-di-kompetisi-internasional-macau

https://aceh.tribunnews.com/2015/11/24/puisi-membawa-fira-hingga-ke-turki.

https://nasional.kompas.com/read/2022/04/22/06150011/cut-nyak-dien-dalam-kisah-soal-amarah-sumpah-dan-perang-di-bumi-aceh.

https://nasional.kompas.com/read/2022/04/22/06150011/cut-nyak-dien-dalam-kisah-soal-amarah-sumpah-dan-perang-di-bumi-aceh.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini