Hari Pahlawan 10 November 1945: Jejak Perjuangan Menuju Kemerdekaan

Hari Pahlawan 10 November 1945: Jejak Perjuangan Menuju Kemerdekaan
info gambar utama

Tiga bulan sejak Soekarno-Hatta memprolamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta, kota Surabaya yang kemudian dijadikan ibu kota Negara Republik Indonesia.

Namun Rakyat Indonesia belum bisa menikmati kemerdekaan ini. Jepang berangsur meninggalkan bumi pertiwi setelah kalah dari Sekutu. Namun, Belanda dan sekutunya tidak tinggal diam begitu saja. Mereka tidak ingin Indonesia merdeka.

Pasukan Inggris beserta sekutunya mendarat di Jakarta pada 1 September 1945. Tujuan mereka adalah melucuti (merampas) senjata tentara Jepang dan mengirimkan mereka kembali ke Jepang.

Tentara sekutu masuk ke Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Saat itu gabungan tentara sekutu mendarat di Surabaya tepatnya di Pelabuhan Tanjung Perak. Pasukan sekutu ini terdiri dari Inggris dan tentara bayarannya.

Tentara Belanda juga menyamar sebagai tentara NICA (Netherlands Indian Civil Administration) yang tumpang tindih dengan tentara Sekutu. Mereka menamakan dirinya Sekutu atau AFNEI (Allied Forces of the Dutch East Indies). Tujuan utama mereka adalah mengembalikan Indonesia di bawah kekuasaan kerajaan Belanda.

Rakyat tentu saja, tidak tinggal diam. Siapa yang rela dijajah lagi setelah menderita 350 tahun lamanya? Hanya berbekal bambu runcing, semangat para pejuang Indonesia tidak surut. Di baeah komando Bung Tomo. Kota Surabaya terus melawan serangan tentara Sekutu.

Bung Tomo pun berjuang melalui pidatonya yang berapi-api. Pada awal pidatonya. Bung Tomo salalu mengobarkan semangat dengan memekikkan kebesaran Tuhan. Dia menyerukan semangat perjuangan melawan penjajah.

Menyerang Rumah Sakit dan Gunakan Fosfor Putih, Israel Melanggar Hukum Perang?

Insiden di Hotel Yamato

Hotel Yamato dikenal dengan nama Yamato Hoteru dalam bahasa Jepaang. Pada masa penjajahan Belanda, hotel ini bernama Oranje Hotel. Hotel ini terletak di jalan Tunjungan, Surabaya.

Pada 1 September 1945, pemerintah RI memerintahkan pengibaran sang merah putih di seluruh penjuru Indonesia. Ini adalah upaya untuk membnagkitkan semangat bangsa. Walaupun telah merdeka, perjuangan harus terus dilakukan untuk menjaga dan memelihara kemerdekaan negeri ini.
Setelah pasukan sekutu tiba di Surabaya, sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda merah-putih-biru di puncak Hotel Yamato pada 19 September 1945.

Massa pun bergerak dan berkumpul di Hotel Yamato. Di bawah kepemimpinan Residen Soedirman adalah pejuang dan diplomat yang menjabat sebagai residen daerah Surabaya.

Mewakili pihak RI, Residen Soedirman melakukan perundingan dengan Mr. Ploegman. Beliau meminta supaya bendera Belanda diturunkan dari puncak gedung Hotel Yamato. Namun Ploegman menolak untuk melakukan hal tersebut.

Sementara itu, di depan Hotel Yamato, beberapa pemuda naik ke puncak hotel. Mereka memanjat tiang bendera. Mereka menurunkan bendera Belanda merah-putih-biru. Kemudian mereka merobek bagian bendera yang berwarna biru, meninggalkan bagian yang berwarna merah dan putih.

Mereka mengibarkan bendera dan mengibarkannya kembali tinggi-tinggi. Maka, berkibarlah bendera nasional Indonesia, Sang Saka Merah Putih.

Kejadian di Hotel Yamato telah berlalu. Pada 25 Oktober 1945, pasukan inggris yang mewakili Sekutu tiba di Surabaya. Pasukan ini dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby.

Waterfront dan Meriam Karbit, Dua Sisi Berbeda yang Harus Dijaga

Kemudian, pada 27 Oktober 1945, pecahlah pertempuran pertama anatara Indonesia dan tentara Sekutu. Serangan-serangan kecil dari gerilyaawan Indonesia terus terjadi. Peperangan ini menelan banyak korban dari kedua belah pihak. Akhirnya, Jendral D.C. Hawthorn meminta bantuan kepada Presiden Soekarno di Jakarta. Hal ini ditujukan untuk membantu meredakan ketegangan di Kota Surabaya.

Presiden Soekarno pun terbang ke Surabaya. Beliau akan menemui para pejuang Indonesia. Kesepakatan untuk gencatan senjata pun dilakukan. Sebelumnya telah terjadi gencatan senjata di antara kedua belah pihak, yaitu 29 Oktober 1945. Namun, hal ini tidak berarti membuat keadaan akan berlangsung aman. Bentrokan (perlawanan/perselisihan) bersenjata, sekalipun kecil, tetap terjadi antara para pejuang dan tentara Sekutu di Suarabaya.

Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh menginginkan Indonesia untuk segera menghentikan perlawanan terhadap tentara AFNEI dan NICA.

Tentara Keamanan Rakyat Indonesia, bahkan seluruh masyarakat Indonesia khususnya di kota Surabaya wajib menyerahkan senjata. Mereka harus mengumpulkan senjata dari lokasi yang ditentukan selambat-lambatnya pukul 6 pagi pada tanggal 10 November 1945. Jika tidak, pasukan sekutu akan bertindak melawan penduduk.

Surabaya, 10 November 1945

Dua minggu setelah radio mengumumkan resolusi jihad, perang pun pecah. Dilihat dari jumlah dan jenis senjata yang dimiliki, Sekutu dipastikan menang. Mereka memiliki senjata lengkap dan lebih banyak. Sedangkan prajurit Indonesia hanya menggunakan bambu runcing dan senjata rampasan dari Jepang.

Perang ini berlangsung selama tiga minggu. Puluhan ribu pahlawan gugur. Kalangan rakyat sipil dan para pemuda pun menjadi korban. Perang ini termasuk perang dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Tentara Inggris awalnya meremehkan perlawanan Indonesia. Mereka memperkirakan bisa dengan mudah merebut Surabaya. Namun, kenyataannya sangat berbeda. Para tentara ini sangat terkejut melihat masyarakat dan tentara Indonesia begitu antusias. Meski dengan senjata terbatas, semua orang bertarung tanpa rasa takut.

Sepanjang periode Oktober-November 1945, Kota Surabaya terus-menerus diserang pasukan Sekutu. Bambu runcing dan sang merah putih tidak henti mempertahankan kemerdekaan, melawan pasukan musuh bahkan hingga tiga minggu lamanya. Puluhan ribu orang gugur,namun rakyat tidak ada yang mau menyerah begitu aja.

Rumah Bongkar Pasang: Dari Karya Budaya Menjadi Industri

10 November Pagi

Pasukan Sekutu mulai melancarkan serangannya. Mereka melakukan pengeboman pada gedung-gedung pemerintahan di Kota Surabaya. Mereka mengerahkan 30.000 pasukan, tank, kapal perang, dan sejumlah pesawat terbang. Kota Surabaya kemudian dibom dan ditembaki dengan meriam dari darat dan lautan.

Selain rakyat sipil, bantuan pun berdatangan dari pihak pondok pesantren. Inilah yang disebut dengan resolusi jihad. Para santri ikut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pertarungan menjadi semakin sengit, perang itu berlangsung selama tiga minggu. Sekutu akhirnya menguasai Surabaya setelah banyak tentaranya yang gugur dalam perang tersebut.

Di pihak Indonesia, diperkirakan antara 6.000 hingga 16.000 orang dan tentara tewas dalam perang ini. Sementara itu, 200.000 warga sipil meninggalkan kota Surabaya. Sekutu Inggris, yang didukung oleh tentara Gurkha India, kehilangan antara 600 sampai 2.000 orang.

Pertempuran Surabaya ini adalah peristiwa penting. Karena pertempuran ini merupakan pertempuran terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Dan pertempuran ini merupakan bukti nyata kekuatan rakyat Indonesia.

Dari kekuatan ini, rakyat dan para pejuang baru berusaha mempertahankan kemerdekaan RI yang baru berusia tiga bulan. Itulah sebabnya, kejadian 10 November dikenang sebagai Hari Pahlawan Republik Indonesia hingga sekarang.

Dilema Kunjungan Candi Borobudur, Antara Konservasi dan Kebutuhan Edukasi

Referensi:

  • Kimberly, Aira. 2020. Bung Tomo Pandu Garuda yang Pantang Menyerah. Jakarta: Bee Media Pustaka.
  • Waid, Abdul. 2019. Bung Tomo Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November. Yogyakarta: Laksana.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

S
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini