Momen Jenderal Soedirman yang Sempat Berseberangan Jalan dengan Sutan Sjahrir

Momen Jenderal Soedirman yang Sempat Berseberangan Jalan dengan Sutan Sjahrir
info gambar utama

Jenderal Soedirman dan Sutan Sjahrir memiliki sikap yang berseberangan. Soedirman tidak suka dengan cara Sjahrir melakukan diplomasi kepada pihak kolonial. Bagi Soedirman, Indonesia lebih baik di bom atom daripada tidak merdeka 100 persen,

Tetapi sebelum itu, Sjahrir memang tak suka dengan tentara-tentara buatan fasisme Jepang yang dalam hal ini adalah PETA. Dalam risalah politik Sjahrir, Perdjoeangan Kita cetakan pertama (November 1945) dia sampai menyindir tentara lulusan PETA.

“Anjing-anjing yang berlari,” jelasnya yang dimuat Tempo.

Jenderal Sudirman dan Perjalanan Singkat di Dunia Militer Indonesia

Soedirman lebih dekat dengan Tan Malaka dengan kelompoknya dalam Persatuan Perjuangan. Menurut S.I Poeradisastra dalam Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman, orang dekat Tan Malaka yakni Ahmad Soebardjo adalah penasihat Soedirman.

Antara kubu Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin dengan Persatuan Perjuangan terdapat perbedaan sudut pandang. Persatuan Perjuangan yang memiliki jalan konfrontasi sedangkan Sjahrir memilih jalur diplomasi.

“Sebaliknya kubur Amir dan Sjahrir menilai Tan dkk merusak strategi perjuangan,” paparnya.

Minta Soedirman dicopot

Pemerintah menolak usul dari Persatuan Perjuangan yang meminta Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Agar tak mengganggu jalannya diplomasi, Tan dan kawan-kawan ditangkap pada 17 Maret 1946.

Pertentangan itu memuncak pada 25 Juni 1946, ketika Hatta berpidato mendukung konsesi dengan Belanda. Dia menyebutkan wilayah Indonesia setelah perjanjian Linggarjati hanya Jawa, Madura, dan Sumatra.

“Semua yang hadir kaget dan tak mengerti akan pidato itu. Panglima Soedirman tampak menunjukkan sikap tak setuju dan geleng-geleng kepala,” kata Iwa K Soemantri yang dikutip oleh Poeradisastra.

Jenderal Soedirman dan Kesaktian Keris Penolak Mortir Milik Pasukan Belanda

Pidato pemerintah itu dinilai sebagai sikap menyerah terhadap Belanda. Akibatnya pada 27 Juni, Perdana Menteri Sjahrir diculik oleh Abdul Kadir Jusuf, perwira yang ditugasi oleh Soedarsono.

Mereka dibebaskan setelah Soekarno meminta Soedirman melepaskan Sjahrir. Suhu politik kedua kubu terus membara hingga peristiwa kudeta 3 Juli 1946. Tetapi setelah peristiwa itu, hubungan Soedirman dan Sjahrir terus membaik.

Merangkul sang jenderal

Jumat pagi itu, 1 November 1946, ribuan warga Jakarta memadati stasiun kereta api Manggarai, Jakarta Selatan. Dengan sabar mereka menanti kedatangan kereta api dari Yogyakarta. Begitu kereta tiba, pekik merdeka membahana.

Salah satu penumpangnya adalah Panglima Besar Soedirman. Inilah pertama kali Soedirman datang ke Jakarta. Dirinya melakukan konvoi melewati Jalan Tambak, Matraman, Salemba, Senen, dan berhenti di depan Stasiun Gambir.

“Sambutan rakyat begitu meriah,” ucap sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy Hoessin.

Wedang Tiyung yang Berikan Kehangatan bagi Jenderal Soedirman saat Gerilya

Perdana Menteri Sjahrir yang mengatur perjalanan itu. Dia ingin pemimpin tentara itu disambut di ibu kota. Pada momen itu, Soedirman pun bersedia datang ke rumah dinas Sjahrir untuk berbincang.

Sjahrir menjelaskan kekuatan tentara Indonesia saat itu tak cukup untuk melawan Belanda. Mendengar penjelasan itu, Soedirman yang menduga Sjahrir bersengkongkol dengan Sekutu ternyata tak terbukti.

Tokoh pers Indonesia, Rosihan Anwar menyebut Soedirman berbalik mengagumi Sjahrir. Ini diperkuat dengan pernyataan Soedirman kepada Sultan Hamengku Buwono IX yang menyebut Sjahrir adalah pemimpin besar.

“Sjahrir adalah tokoh besar,” ucap Sultan HB IX yang menirukan suara Soedirman.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini