Nama Admiral Keumalahayati Menggema di Sidang UNESCO

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Nama Admiral Keumalahayati Menggema di Sidang UNESCO
info gambar utama

Perang merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda di Indonesia dilakukan oleh berbagai kesultanan, raja di kepulauan Nusantara ini, ada perang Diponegoro di Jawa Tengah, perang Imam Bonjol di Sumatra Selatan, ada lagi Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, di mana atas kegigihannya, Belanda memberi Julukan de Haantjes van Het Oosten yang berarti “Ayam Jantan dari Timur”. Julukan itu diberikan kepada Sultan Hasanuddin karena semangat dan keberaniannya dalam menentang monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan oleh VOC. Dari sekian banyak perang melawan penjajah Belanda itu ada perang Aceh yang terkenal karena sulitnya Belanda menaklukkan rakyat Aceh.

Menurut Britanica: “The Dutch, considering Aceh as within their sphere of influence, decided to conquer the area and sent two expeditions to Aceh in 1873. The palace was seized and shortly afterward the Acehnese sultan died. The Dutch suspended military operations and concluded a treaty with the new sultan, who recognized Dutch sovereignty over the area. He was unable to control his subjects, however, and Dutch forces became involved in a prolonged guerrilla war in the countryside. This war, however, drained the colonial treasury, and public opinion in the Netherlands became increasingly critical of the colonial administration.” (Belanda, menganggap Aceh sebagai dalam lingkup pengaruh mereka, memutuskan untuk menaklukkan daerah itu dan mengirim dua ekspedisi ke Aceh pada tahun 1873. Istana di Aceh direbut dan tak lama kemudian sultan Aceh meninggal. Belanda menghentikan operasi militer dan menyimpulkan perjanjian dengan sultan baru, yang mengakui kedaulatan Belanda atas daerah tersebut. Namun, ia tidak dapat mengendalikan rakyatnya, dan pasukan Belanda terlibat dalam perang gerilya yang berkepanjangan di pedesaan. Perang ini, bagaimanapun, menguras kas kolonial, dan opini publik di Belanda menjadi semakin kritis terhadap administrasi kolonial.)

Salah satu pahlawan perang Aceh itu adalah Admiral Keumalahayati – kata literatur barat, atau Laksamana Keumalahayati. Nama Keumalahayati menggema di hari penutupan Sidang Umum ke-42 UNESCO pada 22 November 2023 di Paris, Prancis. Ia merupakan salah satu Pahlawan Nasional yang hari lahirnya ditetapkan sebagai hari perayaan internasional oleh UNESO. Ini adalah bentuk penghargaan internasional kepada sang Laksamana.

Bak film Hollywood, Laksamana Keumalahayati yang merupakan Laksamana perempuan pertama di dunia Angkatan Laut itu – membentuk pasukan yang semuanya perempuan, para janda yang suaminya gugur di perang aceh dan diberi nama “Inong Balee”. Kata literatur barat: “Keumalahayati (1585-1604) was an admiral in the navy of the Aceh Sultanate. She was the first woman admiral in the modern world (if Artemisia I is not included). Her troops were drawn from Aceh's widows and the army named the "Inong Balee", after the Inong Balee Fortress near the city of Banda Aceh. She was a daughter of Admiral Machmud Syah of (Aceh Empire). After graduating from Pesantren, an Islamic school, and at Aceh Royal Military Academy, known as Ma’had Baitul Maqdis”.

Perempuan Tangguh ini memimpin 2000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Pada peperangan itu ia berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Keumalahayati merupakan Pahlawan Nasional yang diakui atas keberanian, kepemimpinan, dan kontribusinya dalam membela tanah air. Ia dibesarkan di wilayah yang terkenal dengan tradisi maritim kuat. Mengenal dunia peperangan laut sejak usia muda, ia belajar dari ayahnya, Laksamana Mahmud Syah. Laksamana Mahmud Syah adalah seorang panglima angkatan laut armada Aceh yang terampil dan dihormati. Pasukannya ditakuti oleh Belanda di perairan pesisir Aceh Besar serta Selat Malaka.

Berbekal kemampuan yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur. Sultan Aceh kemudian mendaulatnya sebagai panglima armada laut alias laksamana dan merupakan perempuan pertama di dunia yang menyandang jabatan itu. Sultan juga membekali pasukan Inong Balee dengan 100 unit kapal perang ukuran besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan. Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda.

Jauh sebelum UNESCO memberi penghargaan, nama Laksamana Keumalahayati disematkan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL). Namanya juga dijadikan sebagai nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Penghargaan dari UNESCO ini telah membuka mata dunia akan jasa perjuangan para pahlawan Indonesia dalam merebut kemerdekaan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini