Jejak Rumah Rakit Palembang, Permukiman Tionghoa di Tepi Sungai Musi

Jejak Rumah Rakit Palembang, Permukiman Tionghoa di Tepi Sungai Musi
info gambar utama

Deretan rumah rakit di Sungai Musi menjadi bukti sejarah masuknya peradaban Melayu. Dimulai sejak era Kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, rumah rakit menjadi tempat hunian etnis Tionghoa.

Rumah rakit terakhir bertahan hingga Mei 1998, saat kerusuhan rasial meledak di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk di Palembang, Sumatra Selatan. Warga Tionghoa memilih untuk meninggalkan rumah rakit.

“Kerusuhan 1998 memaksa semua etnis Tionghoa di Palembang meninggalkan rumah rakit,” kata Cholil Yahmad, warga penghuni rumah rakit yang dimuat Kompas.

Jembatan Ampera, yang Dahulunya Dikenal Sebagai Jembatan Bung Karno

Dikatakan oleh Cholil, selama kerusuhan berlangsung, rumah-rumah rakit menjadi saksi bisu atas tragedi memilukan sebagai imbas kekacauan politik, yakni munculnya kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa Palembang.

“Sejak itulah mayoritas etnis Tionghoa Palembang trauma kembali ke seberang ulu. Setelah mengungsi ke seberang hilir, mereka memutuskan menetap di sana,” tambah Cholil.

Kekhasan rumah rakit

Meski demikian, kekhasan rumah rakit sebagai tempat hunian etnis Tionghoa masih terlihat. Misalnya dari tulisan, sisa ornamen China, dan warna dominan merah keemasan di beberapa bagian.

Misalnya terlihat dari rumah yang dihuni Cholil. Rumah yang berdiri sejak tahun 1891 itu dihiasi tulisan China di pintu masuk. Dikatakannya, rumah yang tergolong sederhana itu juga dilengkapi karakter hong sui atau falsafah peruntungan China.

“Posisi pintu masuk dengan kamar atau pintu keluar, misalnya tidak berhadapan. Ini terkait kepercayaan, jika pintu masuk-keluar berhadapan, rezeki akan mudah datang namun mudah pula keluar,” paparnya.

Cerita Lomba Perahu Bidar, Tradisi Warga Musi yang Dijaga Sejak Zaman Kolonial

Menurut sejarawan senior Palembang, Djohan Hanafiah ciri khas rumah rakit adalah atap berbentuk sadel dengan menggunakan tanduk panjang di setiap ujungnya. Di bagian inti, rumah rakit terdiri dari bagian depan dan bagian belakang.

“Biasanya di antara bagian depan dan belakang terdapat semacam pelataran terbuka. Pelataran berfungsi menjadi tempat bermain anak dan bersantai,” katanya.

Tak banyak tersisa

Saat ini tak banyak lagi dijumpai rumah rakit. Dari sekitar 150 rumah rakit yang masih bertahan hingga era 1980-an, sekarang hanya tersisa 80-an unit dengan lokasi menyebar di Kelurahan 3 Ulu hingga Kelurahan 14 Ulu, Palembang.

Rumah rakit tertua berusia lebih dari 100 tahun, yang saat ini ditempati Cholil. Namun saat ini kondisi rumah itu dalam kondisi rusak parah. Setengah lantainya sudah terendam air sungai sehingga hanya bagian atas yang masih berfungsi baik.

“Kami tidak mampu memperbaikinya karena sulit mencari material kayu. Kayu ulin yang berukuran panjang 12 meter saat ini sudah tidak dijual lagi,” tuturnya.

Mengenal Tradisi Tepung Tawar Perdamaian Palembang

Namun, kondisi itu ternyata jauh lebih baik daripada rumah rakit lainnya yang sudah nyaris tenggelam atau lapuk di makan usia. Sementara itu, sebagian rumah yang kondisinya masih baik dialihfungsikan menjadi tempat usaha, seperti bengkel perahu.

Ditegaskannya rumah rakit seharusnya menjadi aset sejarah budaya yang berharga kini terancam punah karena nyaris tak ada perhatian dari pemerintah dan pemiliknya. Jika tak segera dilakukan upaya penyelamatan, niscaya nilai tinggal rumah rakit bakal hancur.

“Hanyut bersama aliran Sungai Musi,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini