Robohnya Tugu Romusha yang Abadikan Duka Tenaga Kerja Paksa di Bayah

Robohnya Tugu Romusha yang Abadikan Duka Tenaga Kerja Paksa di Bayah
info gambar utama

Tugu Romusha yang letaknya di tepian Jalan Raya Bayah-Malingping tak mampu bertahan terkaman waktu. Bangunan persegi setinggi kira-kira dua meter itu sudah tumbang. Pecahan keramik putih yang menyelimutinya bertebaran di ilalang sekitarnya.

Masyarakat menyebutnya Tugu Romusha karena situs itu merupakan bekas salah satu kuburan massal pekerja paksa zaman Jepang. Ketika itu Bayah memang menjadi tempat Jepang mencari para tenaga kerja paksa karena kaya sumber daya batubara.

6 Peninggalan Kerajaan Banten, Bukti Eksistensi Kesultanan Islam di Jawa bagian Barat

Warga setempat, Iqbal Ashegaf Muhammad menyebut Tugu Romusha itu roboh karena hujan deras dan disertai angin. Selain itu, lanjutnya, Tugu tersebut roboh karena memang sudah tidak terawat.

“Struktur betonnya memang sudah lapuk, tugunya sudah tak terawat,” tuturnya yang dimuat Detik.

Kaya batubara

Daerah Bayah sejak zaman kolonial telah terkenal kaya akan batubara. Bahkan sebuah perusahaan sudah mendapatkan izin untuk membuka tambangnya sejak 1903, walau tak pernah dibuka hingga Jepang masuk ke Jawa pada April 1942.

“Bayah waktu itu merupakan pusat eksploitasi tambang batubara. Pasokan kebutuhan batubara untuk Pulau Jawa yang sebelumnya dipasok dari Sumatra, terhenti karena operasi militer pasukan Sekutu,” tulis Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan Pancasila dalam Perbuatan yang dimuat Historia.

Kerajaan Islam di Jawa; Kerajaan Banten

Jepang yang membutuhkan cadangan batubara yang diperkirakan hingga 20 juta ton membuat infrastruktur berupa jalur kereta api. Karena itu mereka mendatangkan puluhan ribu romusha dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ketika itu Jepang meminta Soekarno alias Bung Karno yang mengetuai Poesat Tenaga Rakjat (Poetra) untuk menyerukan agar orang pribumi datang ke Bayah. Setidaknya sekitar 30.000 orang datang ke Bayah.

“Setidaknya sekitar 30.000 pekerja (romusha) membangun jalan kereta api ini. Banyak yang tewas karena malaria dan kekurangan makanan,” imbuhnya.

Perjuangan Tan Malaka

Setelah jalur kereta api selesai, eksploitasi batubara pun dimulai. Ribuan orang tewas selama operasi penambangan di Bayah. Sementara Jepang menikmati hasilnya yang diperkirakan mengeruk 300 ton batubara per harinya.

Penderitaan puluhan ribu romusha ini menjadi perhatian dari Tan Malaka. Dengan nama samaran Iijas Hoessein, Tan berangkat dari Jakarta setelah melihat ada lowongan pekerjaan menjadi juru tulis.

Menilik Lokasi Peninggalan Kesultanan Banten Melalui Benteng Speelwijk Serang

Tan diam-diam menyusup dan berbaur dengan romusha di pertembangan tersebut. Dirinya lebih sering blusukan ke beberapa situs tambang. Dia juga mencatat data kematian yang disebutnya mencapai 500 jiwa per bulan.

Tan yang merasa iba juga sering merelakan upahnya agar para pekerja bisa membeli makanan tambahan. Diketahui para romusha itu diupah dengan sangat memprihatinkan yaitu 40 sen per hari dan 250 gram beras.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini