Kearifan Lokal Dodo dalam Masyarakat Manggarai

Kearifan Lokal Dodo dalam Masyarakat Manggarai
info gambar utama

Masyarakat Manggarai di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki ragam kearifan lokal yang tumbuh sebagai kekayaan budaya masyarakat di dalamnya. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut terus tumbuh dan dikembangkan sebagai aspek integral yang mendasari berbagai aspek kehidupan. Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Manggarai tercermin melalui praktik dodo.

Dodo dalam Masyarakat Manggarai

Dodo dalam masyarakat Manggarai mengacu pada kebiasaan dan sistem kerja tradisional dalam menyelesaikan pekerjaan yang dilakukan secara bergantian dalam semangat gotong-royong.

Dodo secara khusus ditemukan dalam aktivitas pengerjaan kebun dan lahan (uma duat). Kehidupan masyarakat Manggarai yang lekat dengan budaya kolektif, turut mendasari lahir dan tumbuhnya dodo sebagai kearifan lokal dalam kehidupan agraris masyarakat di dalamnya.

Dodo terus tumbuh dan menjadi fondasi kehidupan masyarakat Manggarai. Kebiasaan ini seakan menegaskan di mana masyarakat memandang dan memahami bahwa keberlanjutan hidup tidak hanya tentang mengelolah dan menuai hasil bumi, tetapi juga tentang kerja kolektif dan semangat gotong royong.

Dalam implementasi dodo, setiap langkahnya tercermin melalui peraturan dan kesepakatan bersama. Kelompok kerja terbentuk atas dasar kesepakatan tentang jenis pekerjaan, waktu pelaksanaan, dan lahan yang akan dikerjakan. Semua keputusan diambil secara kolektif, yang mencerminkan semangat gotong-royong yang melekat dalam tradisi Manggarai.

Proses bergantian dalam dodo tidak hanya melibatkan rotasi tugas, tetapi juga melibatkan aspek-aspek seperti penambahan atau pengurangan anggota kelompok. Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin menjadi landasan utama dalam menjalankan setiap tahapan dodo. Kesepakatan yang telah ditentukan bersama harus dihormati, dan pekerjaan dilakukan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Ketika selesai menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jumlah anggota kelompok, maka langkah selanjutnya pun diambil melalui musyawarah. Keputusan tentang jenis pekerjaan berikutnya, apakah ada penambahan atau pengurangan anggota, kapan memulai lagi, dan lahan mana yang akan dikerjakan pertama kali, semuanya diambil dengan keterlibatan penuh dan partisipasi aktif dari seluruh anggota kelompok.

Dodo tidak hanya sebuah tradisi, tetapi juga sistem yang terstruktur dengan baik, dan menciptakan keseimbangan antara kebersamaan dan kedisiplinan. Hal ini menjadi cerminan bagaimana nilai-nilai kehidupan masyarakat Manggarai tercermin dalam setiap aspek dodo, dan menjadi fondasi yang kokoh bagi kelangsungan hidup dan keharmonisan orang-orang di dalamnya.

Cerita Pemeliharaan Bahasa Amarasi: Heronimus Bani dan Terbitnya Kamus Maruna’

Dalam praktiknya, pelaksanaan dodo dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, budaya, sosial, waktu, dan ekonomi (Jebaru & Tejawati, 2019). Dodo muncul sebagai respons terhadap tantangan ekonomi di mana kebutuhan manusia tidak terbatas sementara sumber daya terbatas.

Dalam masyarakat agraris Manggarai, mengelola tanah melalui dodo menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menciptakan hasil yang berguna. Dengan kata lain, kerja sama dalam pertanian kolektif berupaya mengoptimalkan potensi ekonomi masyarakat.

Budaya dodo juga menjadi cara masyarakat Manggarai mewariskan tradisi dan kebiasaan nenek moyang. Ini bukan hanya bentuk pekerjaan, tetapi juga simbol nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat. Gotong royong dan solidaritas sosial yang diwujudkan dalam dodo menjadi bagian integral dari warisan budaya yang mereka jaga agar tidak terhapus oleh zaman.

Solidaritas sosial dalam masyarakat menjadi fondasi kuat dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip saling membantu dan bekerja sama tercermin dalam dodo, di mana masyarakat bergotong royong untuk menyelesaikan pekerjaan bersama. Ini bukan hanya norma sosial, tetapi juga ekspresi dari nilai-nilai yang membentuk hubungan harmonis antarwarga.

Di sisi lain, ketersediaan tenaga kerja menjadi faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Dengan menerapkan dodo, masyarakat dapat mengatasi kekurangan tenaga kerja dengan bekerja bergantian secara gotong royong. Model ini tidak hanya memenuhi kebutuhan individual petani tetapi juga menciptakan sinergi dalam masyarakat secara keseluruhan.

Dodo dipandang sebagai sebuah kearifan lokal yang bermanfaat positif bagi kehidupan masyarakat. Hal ini mencakup posisi strategis dodo guna melestarikan tradisi lokal, meningkatkan rasa solidaritas antarwarga masyarakat, mewujudkan rasa persatuan, dan memperkuat perokonomian masyarakat.

Calon Pemimpin Berlatar Belakang Artis Tak Laku di Kalangan Mahasiswa, Mengapa?

Praktik Dodo Saat Ini

Seiring waktu, dengan berbagai perubahan dan dinamika sosial masyarakat, dodo perlahan mengalami perubahan signifikan. Perubahan ini terutama berkaitan dengan perlahan memudarnya praktik dodo dalam kehidupan masyarakat (Jebaru & Tejawati, 2019). Hal ini terutama karena para petani lebih banyak beralih kerja dengan cara menerima upah harian berupa uang tunai.

Temuan ini didukung pula oleh Diva & Kandi (2020), yang menjelaskan bagaimama dodo yang telah ada sejak dahulu kala, sudah mulai luntur seiring perkembangan zaman. Pola perilaku petani yang dulunya menerapkan dodo beralih menjadi bekerja dengan cara menerima upah harian berupa uang tunai.

Realitas kemunduran praktik dodo juga ditemukan dalam masyarakat Watucie, Kelurahan Nggalak Leleng, Kabupaten Manggarai Timur. Para petani mengemukakan dua faktor utama yang menggeser praktik dodo dalam kehidupan sosial masyarakat, yakni pengaruh perkembangan teknologi dan peralihan menuju sistem pengupahan berupa uang.

Perkembangan teknologi yang dimaksud mengacu pada pemanfaatan alat-alat pertanian yang menggantikan peran fisik dalam pengerjaan kebun. Di sisi lain, perubahan kerja dengan sistem pengupahan berupa uang tunai, juga turut mempengaruhi semakin berkurangnya praktik dodo dalam kehidupan masyarakat.

Perubahan dalam praktik dodo mencerminkan betapa berbagai dinamika sosial masyarakat turut memengaruhi kearifan lokal. Namun, meski perubahan itu kian terasa, dodo kini menyisakan jejak berharga tentang gotong-royong dan solidaritas sosial yang masih relevan. Selain itu, warisan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin yang dicerminkan dalam dodo tidak sepenuhnya hilang.

Inilah refleksi positif bahwa kearifan lokal dodo tidak hanya menciptakan keberlanjutan ekonomi tetapi juga meninggalkan warisan nilai-nilai yang terus membentuk karakter masyarakat. Perubahan di dalamnya juga mengingatkan kita pada ketahanan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Meskipun dodo mengalami penurunan dalam praktik sehari-hari, memahami peran dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat menjadi pijakan untuk masyarakat melangkah ke depan.

Mengapa Gagak Jadi Burung Paling Cerdas di Dunia, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Referensi:

  • Tejawati, N.L., & Jebaru, F.E. (2019). Dodo Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Untuk Memelihara Solidaritas Sosial Masyarakat Desa Meler Kecamatan Ruteng Kabupaten Manggarai. The Social Studies, 7, 37-45.
  • Divan, S., & Kandi, Y. (2021). MODERNISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KERJA DODO DI DESA HILIHINTIR, KECAMATAN SATARMESE BARAT.Jurnal Literasi Pendidikan Dasar,2(1), 41-46.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini