Potret Kehidupan Kolektif Masyarakat Manggarai dalam Budaya Lonto Leok

Potret Kehidupan Kolektif Masyarakat Manggarai dalam Budaya Lonto Leok
info gambar utama

Keberadaan budaya lokal menjadi aspek penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Ragam budaya dengan warisan nilai-nilai luhur di dalamnya, turut menjadi fondasi yang menjiwai praktik kehidupan sehari-hari, membentuk jalinan sosial yang kuat, serta menggerakkan dan membentuk identitas kolektif masyarakat.

Dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur, lonto leok menjadi salah satu warisan budaya yang mewariskan nilai-nilai kekeluargaan dan persatuan sebagai pilar utama yang memayungi kehidupan kolektif masyarakatnya.

Kearifan Lokal Dodo dalam Masyarakat Manggarai

Lonto Leok dalam Budaya Manggarai

Istilah lonto leok, berasal dari dua kata bahasa Manggarai, yakni lonto yang berarti duduk, dan leok yang berarti lingkaran. Sehingga secara harafiah, lonto leok berarti duduk melingkar atau membentuk lingkaran.

Posisi duduk melingkar dalam lonto leok pada dasarnya berkenaan dengan aspek penting dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Japa (2023) menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan seturut model rumah adat (mbaru gendang) dan corak lahan pertanian (lingko) yang berbentuk lingkaran pula.

Mengacu pada konteks sejarah, Letuna dan Manafe (2023), menjelaskan latar belakang budaya lonto leok yang dulunya turut dipengaruhi oleh konflik antarsuku yang sering berakhir dengan peperangan. Kondisi demikian kemudian mendorong masyarakat untuk mulai memikirkan cara mendamaikan konflik serta menghilangkan egoisme dan kepentingan pribadi demi kebaikan bersama.

Secara budaya, lonto leok mengacu pada aktivitas duduk bersama atau musyawarah untuk membahas dan mendiskusikan berbagai urusan dalam masyarakat, menyelesaikan masalah tertentu, sekaligus mempererat tali persatuan antarwarga kampung (golo/beo).

Deki (dalam Gaut & Tapung, 2021) menjelaskan dalam dua makna khusus pelaksanaan lonto leok. Pertama, menyatukan kata, pikiran, dan aspirasi semua orang yang berunding bersama. Kedua, menyatukan langkah atau tindakan untuk kebaikan bersama.

Dalam pelaksanaannya, lonto leok dilaksanakan tiga tahap utama. Tahap pertama yakni caca, yang secara harafiah berarti melepaskan (tali) atau membongkar. Dalam lonto leok, caca dimaknai sebagai tindakan tua adat untuk menguraikan masalah atau menjelaskan duduk persoalan terkait maksud pertemuan kepada warga yang mengikuti lonto leok.

Tahap kedua, cica (menanggapi). Pada tahap ini setiap partisipan berhak menanggapi permasalahan atau hal yang didiskusikan, di mana tanggapan tersebut harus diberikan secara sopan dan sesuai arahan tua adat pemimpin lonto leok.

Tahap ketiga, congko. Tahap ini merupakan tahap terakhir yang mengacu tindakan menyimpulkan sekaligus menjadi puncak mufakat yang mengakomodasi semua cica (tanggapan) dari partisipan lonto leok. Pada tahap ini, tua adat pemimpin lonto leok harus mampu merangkum aspirasi bersama.

Budaya Patungan Masyarakat Manggarai NTT Demi Biayai Kuliah

Lonto Leok: Potret Kehidupan Kolektif Masyarakat Manggarai

Praktik budaya Lonto leok dalam masyarakat Manggarai dijalankan sebagai wadah duduk bersama yang menggambarkan semangat persatuan dan kekeluargaan yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya, warga dapat berunding dan bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan demi kebaikan bersama.

Melalui lonto leok, setiap orang juga memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara dan menyampaikan pendapat. Hal ini kemudian menjadikan lonto leok sebagai ruang dialog yang inklusif, di mana prinsip seia-sekata dilaksanakan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dan mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.

Kesadaran akan kebersamaan menjadi ciri dasar lonto leok, sehingga pelaksanaannya senantiasa mengarah pada ketercapaian kepentingan bersama. Dengan itu, lonto leok pun mengandung filosofi hidup yang mencerminkan komitmen bersama untuk menjaga persatuan dan kebersamaan sebagai fondasi utama kehidupan masyarakat Manggarai.

Dalam pelaksanaannya, lonto leok juga mengajarkan persatuan, kekeluargaan, gotong royong, dan nilai-nilai positif lainnya yang senantiasa mengarahkan masyarakat untuk mencapai kehidupan besama yang harmonis. Sehingga praktik budaya ini kemudian juga menjadi wadah untuk mempererat tali persatuan dan solidaritas sosial antarwarga di dalamnya.

Lebih lanjut, lonto leok tidak hanya berbicara tentang konteks ritual, tetapi juga mengandung makna simbolis yang mendalam. Setiap aspek, seperti pola duduk melingkar, hingga simbolisasi rumah adat (mbaru gendang) dan lahan pertanian (lodok), mengetengahkan lahirnya kesepakatan yang utuh dan merangkul kepentingan bersama.

Nilai-nilai sosial kolektif dalam pelaksanaan lonto leok juga merepresentasikan nilai kehidupan yang terkandung dalam ungkapan dan berbagai go’et (peribahasa) Manggarai. Bentuk interaksi bersama lonto leok misalnya digambarkan melalui ungkapan neki weki manga ranga, reje leleng bantang cama (berkumpul bersama untuk mencapai kesepakatan bersama)

Selain itu, konteks persatuan dan kebersamaan kolektif lonto leok tergambarkan melalui beberapa go’et, seperti muku ca pu’u neka woleng curup-teu ca ambo neka woleng lako, ipung ca tiwu neka woleng wintuk-nakeng ca wae neka woleng tae, yang memiliki makna bagaimana pentingnya mengupayakan persatuan, dengan mengedepankan prinsip seia-sekata dan kesepahaman satu sama lain, baik dalam kata,pikiran, aspirasi, maupun langkah dan tindakan yang diarahkan pada kebaikan bersama.

Hingga saat ini, lonto leok terus dilaksanakan oleh masyarakat Manggarai sebagai wadah musyawarah bersama yang mengedepankan persatuan dan persaudaraan. Dengan itu, lonto leok menjadi jembatan yang menghubungkan individu-individu dalam sebuah kesatuan kolektif yang lebih harmonis.

Nilai-nilai persatuan dan persaudaraan yang ada di dalamnya, juga menjadi sikap hidup yang dijalankan guna merajut kebersamaan dan mempererat persaudaraan dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

Merawat Tutur Adat dalam Budaya Manggarai


Referensi:

  • Japa, H. B. J. B. (2023). PRAKSIS BUDAYA LONTO LEOK SEBAGAI WUJUD PEMERSATU ORANG MANGGARAI. Jurnal Budaya Nusantara, 6(1), 195-204.
  • Gaut, G. K., & Tapung, M. M. (2021). Model Lonto Lèok dalam Pembelajaran tentang Mbaru Gendang pada Muatan Lokal Seni Budaya Daerah Manggarai (Riset Desain Pembelajaran Muatan Lokal). EDUNET-The Journal of Humanities and Applied Education, 1(1), 20-42.
  • Letuna, M. A. N., & Manafe, Y. D. (2023). Lonto Leok Collaboration Across Differences, Consequences, and Democracy of Manggarai Communities. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 10(1), 597-606.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini