Tradisi Sewu Kupat di Lereng Gunung Muria, Ajang Warga "Ngalap Berkah"

Tradisi Sewu Kupat di Lereng Gunung Muria, Ajang Warga "Ngalap Berkah"
info gambar utama

Masyarakat lereng Gunung Muria, Kabupaten Kudus berencana menggelar kembali tradisi Sewu Kupat setelah sempat vakum dalam beberapa tahun terakhir. Para pegiat wisata dan budaya menginginkan agar potensi pariwisata di sana bangkit.

Muhamad Antono, pemerhati sektor pariwisata dan kebudayaan asal Desa Colo kepada Tribunnews, Kamis (29/2), mengatakan sudah menjalin komunikasi dengan pemerintah desa, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama setempat untuk menyiapkan Festival Sewu Kupat.

Menurutnya, tradisi Sewu Kupat sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Desa Colo. Karena itu, tradisi tersebut harus diadakan kembali agar tetap lestari. Pelaksanaan tradisi Sewu Kupat juga selalu disambut antusiasme ribuan warga.

Apa itu tradisi Sewu Kupat?

Dalam bahasa Indonesia, sewu berarti seribu dan kupat adalah ketupat–makanan dari beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa. Tradisi Sewu Kupat digelar untuk menghormati Sunan Muria, yakni tokoh agama Islam dalam Walisongo.

Masyarakat biasa menghelat Sewu Kupat sepekan usai hari raya Idul Fitri atau setiap tanggal 8 Syawal. Mereka akan mengarak belasan gunungan berisi ketupat dari Makam Sunan Muria. Saat iring-iringan berakhir, warga akan berebut isi gunungan.

Meski dinamakan kupat, gunungan juga menyajikan berbagai hasil bumi lereng Gunung Muria dan jajanan tradisional. Masing-masing desa akan membawa gunungannya sendiri, dan mendoakannya bersama-sama di Makam Sunan Muria.

Baca juga Tradisi Mengganti Kain Kelambu Makam Sunan Kudus

Makna tradisi Sewu Kupat

Tradisi Sewu Kupat tak hanya bertujuan untuk memuliakan perjuangan Sunan Muria dalam menyebarkan agama Islam di Kudus, Jawa Tengah. Melalui tradisi ini, masyarakat berharap keselamatan dan keberkahan kepada Sang Pencipta–atau disebut dengan “Ngalap Berkah”.

Perayaan Sewu Kupat diketahui bermula pada 2008 silam. Salah satu penggagasnya, Bupati Kudus Musthofa yang baru saja terpilih saat itu, tergerak untuk mengadakan perayaan tahunan “Sewu Kupat” dengan menggandeng masyarakat sekitar makam Sunan Muria.

Angka sewu (seribu) disebut memiliki makna simbolis gotong-royong di antara masyarakat dan pemerintah dalam mengangkat kearifan lokal dan sejarah religi di Kudus. Selama bertahun-tahun tradisi Sewu Kupat menjadi kegiatan yang ditunggu-tunggu masyarakat.

Baca juga Rahina Tumpek Uye, Tradisi Masyarakat Bali yang Meriahkan 10th World Water Forum

Referensi:

Tribunnews. Warga Kudus Gotong Royong Hidupkan Kembali Tradisi Buaya Festival Sewu Kupat di Lereng Muria. https://muria.tribunnews.com/2024/02/29/warga-kudus-gotong-royong-hidupkan-kembali-tradisi-budaya-festival-sewu-kupat-di-lereng-muria

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firdarainy Nuril Izzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firdarainy Nuril Izzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini