Kisah Cinta Dua Budaya dalam Lunpia, Oleh-Oleh Legendaris Semarang

Kisah Cinta Dua Budaya dalam Lunpia, Oleh-Oleh Legendaris Semarang
info gambar utama

Kalau Jogja adalah Kota Bakpia dan Palembang adalah Kota Pempek, Semarang punya julukan sebagai Kota Lunpia!

Nama tersebut datang dari kepopuleran kudapan khas di Semarang bernama lunpia. Adalah pemandangan yang biasa ketika terjadi antrian mengular dari pemudik dan wisatawan di kios-kios penjual lunpia pada musim liburan seperti Lebaran dan Tahun Baru.

Namun tidak banyak tahu jika lunpia Semarang dengan ciri khas isian rebungnya punya asal-usul yang romantis sekaligus menjadi potret akulturasi dari keberagaman masyarakat di Kota Semarang.

Kisah Cinta Beda Etnis yang Lahirkan Lunpia Semarang

Dahulu terdapat seorang penjual makanan di Semarang bernama Tjoa Thay Yoe yang berasal dari Fujian, Tiongkok. Ia kemudian jatuh cinta dengan Warsih atau Mbok Wasi, seorang perempuan Jawa yang juga berprofesi sama dengan dirinya.

Setelah menikah, keduanya kemudian menggabungkan bisnis makanan mereka. Salah satu kudapan yang dijual adalah lunpia yang sejatinya adalah penganan dari dataran Cina.

Namun, resep asal Cina yang menggunakan daging babi sebagai isian membuat lunpia punya pelanggan yang terbatas. Pasalnya, warga Semarang yang sebagian besar beragama Islam tidak dapat mengonsumsinya.

Sehingga dibuatlah adaptasi terhadap kultur dan bahan baku setempat dengan memanfaatkan rebung atau tunas bambu sebagai isian utama lunpia.

Untuk mengolah rebung sendiri diperlukan teknik yang tepat. Karena jika tidak telaten terutama dalam tahap pembersihan maka rebung akan menghasilkan bau yang tidak sedap.

Perkawinan ide dari dua budaya tersebut kemudian dikembangkan menjadi bisnis keluarga dimulai sekitar 1870an. Bergenerasi keturunan dari Tjoa Thay Yoe dan Mbok Wasi. terus memproduksi dan mempopulerkan lunpia sebagai kudapan khas Semarang.

Baca Juga: Bisa untuk Oleh-Oleh! 15 Jajanan Semarang yang Pantas untuk Buah Tangan

Lunpia, buah tangan legendaris dari Semarang

Kepopuleran lunpia membuatnya kini tidak hanya dijual oleh keturunan langsung dari Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasi.

Kios-kios lunpia bermunculan dari pedagang kaki lima hingga toko modern yang dilengkapi berbagai fasilitas untuk menjamu pembeli. Harganya pun bervariasi dari 15.000—25.000 per buah.

Kios-kios tersebut terkonsentrasi di jalan-jalan protokol Semarang yang mudah dijangkau seperti Jalan Gajahmada, Jalan Mataram (kini Jl. MT Haryono), Jalan Pandanaran, dan Jalan Pemuda.

Namun salah satu lunpia yang paling digemari, terutama di kalangan wisatawan, berada di daerah Pecinan tepatnya di Gang Lombok No.11. Kios tersebut dirintis oleh Siem Swie Kiem, generasi ketiga dari dinasti lunpia Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasi.

Sementara anggota generasi ketiga lainya yaitu Siem Swie Hie membuka usaha lunpia yang tak kalah kondang bernama Lunpia Mbak Lien di Jalan Pemuda dan Siem Hwa Nio memulai merk Lunpia Mataram di Jalan Mataram.

Lunpia goreng siap dikemas sebagai buah tangan khas Semarang dalam wadah besek. Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Keunikan lunpia semarang dibandingkan lunpia lainya

Meski kini dijual oleh berbagai kalangan, resep lunpia Semarang tetap mempertahankan penggunaan rebung sebagai ciri khas yang membedakanya dengan lunpia dari daerah lain. Sebut saja lumpia basah khas Bandung dan Bogor serta lunpia Sanur di Bali yang menggunakan taoge sebagai isian utama. Isian rebung dalam lunpia semarang kemudian ditambahkan dengan daging ayam, telur, dan udang.

Kekhasan lainya terletak pada penyajian lunpia semarang yang dilengkapi acar timun, daun bawang utuh, dan saus kental kecoklatan yang terbuat dari bawang putih, gula, dan tepung maizena. Bagi mereka yang suka pedas, lunpia disantap bersama dengan lombok (cabai rawit).

Lunpia Semarang juga tersedia dalam dua macam, yaitu lunpia basah yang memiliki tekstur kulit yang lembek dan lunpia goreng yang kulitnya bertekstur renyah.

Umumnya lunpia basah dibeli sebagai buah tangan karena memiliki daya tahan yang lebih panjang dibandingkan lunpia goreng apabila disimpan dalam lemari pendingin. Baru ketika akan dikonsumsi, lunpia basah digoreng kembali untuk memberikan tesktur yang renyah.

Lunpia kemudian dikemas dalam wadah besek atau keranjang anyaman bambu dengan lapisan daun pisang dan kertas yang dapat memuat hingga 10 lunpia.

Industri lunpia telah menjadi penghidupan bagi banyak masyarakat Semarang. Contohnya di Kampung Kranggan Dalam atau dikenal sebagai Bonlancung yang menjadi sentra perajian kulit lunpia.

Di kampung yang terletak di area Pecinan tersebut terdapat 30 industri rumahan (Fitrianto, 2018) yang membuat kulit lunpia untuk disetor ke toko-toko lunpia. Dengan tangan kosong, para perajin menuang adonan dari tepung terigu ke wajan panas lalu memutarnya hingga tercipta kulit tipis yang berbentuk lingkaran.

Baca Juga: Kisah Manis Lumpia, Makanan yang Diakui UNESCO

Referensi

Adrianne, A.A. & Dwirahmi, A. (2013). Lunpia Gang Lombok yang Tiada Dua. Dalam Pecinan Semarang: Sepenggal Kisah, Sebuah Perjalanan. (hal. 60-64). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Fitrianto, R. (2018, April 25). Mengunjungi Sentra Pembuatan Kulit Lumpia Tertua di Semarang. Merah Putih. https://www.merahputih.com/post/read/mengunjungi-sentra-pembuatan-kulit-lumpia-tertua-di-semarang

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini