Tahu Sumedang, Kuliner Tionghoa yang Jadi Oleh-Oleh Legendaris dari Puseur Budaya Sunda

Tahu Sumedang, Kuliner Tionghoa yang Jadi Oleh-Oleh Legendaris dari Puseur Budaya Sunda
info gambar utama

Kuliner lokal yang populer sebagai buah tangan berkontribusi dalam membentuk identitas berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja 'Kota Gudeg' Yogyakarta, 'Kota Pempek' Palembang, 'Kota Lunpia' Semarang, dan 'Kota Tahu' Sumedang.

Yang terakhir rupanya merupakan produk adaptasi dari kuliner Tionghoa di Kabupaten Sumedang, daerah yang dijuluki sebagai Puseur (pusat) Budaya Sunda.

Asal-Usul Oleh-Oleh Legendaris Tahu Sumedang, Pertemuan Dua Budaya

Disebutkan dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia karya Dosen Sejarah Universitas Padjadjaran Fadly Rahman (2016), teknik pengolahan kedelai di Nusantara memiliki akar dari dataran Cina. Sehingga orang Tionghoa kerap menjadi perintis dari olahan fermentasi kedelai seperti tahu di berbagai daerah di Indonesia, tidak terkecuali dalam asal-usul tahu Sumedang.

Menurut Khair & Fathy (2021) dalam Tahu Sejarah Tahu Sumedang, kelahiran tahu Sumedang. tidak dapat dipisahkan dari sosok Ong Ki No, seorang pendatang dari Tiongkok yang diperkirakan tinggal di Sumedang sejak awal 1900. Ia yang juga dikenal sebagai Babah Eno hidup bersama istrinya yang menyukai kudapan tao-fu atau tahu.

Untuk memenuhi keinginan istrinya, Babah Eno membuat tahu di daerah yang masih asing dengan kudapan tersebut. Ia mulanya membuat tahu untuk konsumsi pribadi serta sebagai hantaran untuk sesama warga Tionghoa dan penduduk asli Sumedang.

Karena resep tahunya mendulang respon positif, Babah Eno memanfaatkan peluang dengan membuka bisnis tahu berupa tahu putih khas Cina yang diolah dengan direbus.

Bisnis tahu tersebut rupanya tidak memperoleh respon yang diharapkan. Ong Ki No dan istrinya memutuskan kembali ke Tiongkok sementara putranya, Ong Bung Keng datang dari dataran Cina untuk mengambil alih bisnis sang ayah pada 1917.

Kepopuleran tahu baru dimulai setelah Ong Bung Keng melakukan inovasi. Belajar dari kegagalan, ia mengrekasikan tahu menjadi olahan yang renyah dan gurih pada bagian kulit serta lembut dan berongga di dalam seperti tahu Sumedang yang disantap sekarang. Ia juga memulai penggunaan cengek (cabai rawit) untuk tahu sesuai dengan selera pedas masyarakat setempat.

Makanan yang Memikat Pangeran Sumedang

Aroma yang menguar dari proses penggorengan tahu kemudian memikat indra Pangeran Soeriaatmadja, yang juga menjabat sebagai Bupati Sumedang, saat ia melintas di depan kios Ong Bung Keng dengan kereta kuda. Soeriaatmadja sendiri memiliki gelar pangeran sebagai keturunan dari Kerajaan Sumedang Larang.

Ia menghampiri makanan asing yang menjadi sumber aroma tersebut dan mencicipinya. Sang pangeran yang menyukainya dan mengatakan jika makanan tersebut akan sangat laku jika terus dijual.

Seperti pepatah 'ucapan adalah doa', usaha tahu yang dinamai dengan tahu Bungkeng dari nama penciptanya tersebut bertahan melintasi zaman dan kini dipimpin oleh Suryadi atau Ong Che Ciang selaku generasi keempat dari Babah Eno. Pabrik sekaligus gerai pertama tahu Bungkeng pun masih beroperasi di Jalan 11 April No.53 yang terletak di pusat Kabupaten Sumedang.

Tahu Bungkeng, Tahu Khas Sumedang yang Berusia Lebih dari 100 Tahun

Keunikan Tahu Sumedang

Tahu Bungkeng dan tahu Sumedang yang bercikal bakal darinya kini tidak hanya diproduksi dan dijual oleh keturunan langsung Babah Eno. Pengusaha tahu Sumedang berasal dari berbagai kalangan sehingga industri ini menjadi penghidupan bagi masyarakat Sumedang.

Kios-kios tahu Sumedang menjamur terutama di jalan penghubung antardaerah, terminal, dan stasiun. Tahu sumedang dijual oleh pedagang kaki lima, kios sederhana yang khusus menjual tahu, hingga restoran dengan berbagai fasilitas yang juga menawarkan makanan dan oleh-oleh khas Sumedang lainnya.

Bongsang, keranjang anyaman bambu untuk mengemas tahu Sumedang sebagai buah tangan. Foto: Instagram @tahubungkeng
info gambar

Adalah pemandangan yang lumrah ketika pejalan dan wisatawan yang mampir di Sumedang membawa bongsang atau keranjang anyaman bambu berisi tahu sumedang sebagai buah tangan.

Tahu Sumedang umumnya dijual per buah dengan harga mulai dari Rp.1000 atau per paket. Harganya yang terjangkau membuat tahu menjadi oleh-oleh bagi seluruh kalangan.

Bagi mereka yang suka sensasi pedas, tahu disertai dengan cengek serta sambal tauco. Tersedia pula lontong mini tanpa isian untuk disantap bersama tahu. Waktu paling tepat untuk mengonsumsinya adalah selagi tahu masih hangat setelah diangkat dari penggorengan.

Cita rasa tahu Sumedang yang khas rupanya juga berasal dari air sebagai bahan baku yang penting dalam proses perendaman kedelai. Bersumber dari Daras & Saputra (2016), air dari Sumedang mengandung lebih banyak kalsium yang dipercaya membuat tahu lebih awet dan kenyal (Khair & Fathy, 2021).

Tidak Cuma Tahu, Sumedang Juga Punya Soto Bongko

Referensi:

  • Khair, M. L. & Fathy, R. (2021). Tahu Sejarah Tahu Sumedang. LIPI PRESS. https://doi.org/10.14203/press.258
  • Rahman, F. (2016). Jejak Rasa Nusantara : Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini