Belajar dari Gempa Bawean Jatim

Amien Widodo

Dosen Teknik Geofisika dan peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Belajar dari Gempa Bawean Jatim
info gambar utama

Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh gerakan lempeng tektonik. Catatan korban, kerusakan dan kerugian akibat gempa tektonik Aceh 2004 sangat besar, dari total 280 ribu korban jiwa di seluruh negara, 130 ribu berada di Aceh. Lebih dari 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Perkiraan kerugian dari bencana tersebut mencapai Rp 41 triliun. Sedangkan korban gempa 22 November 2022 berkekuatan 5,6 magnitudo di Cianjur, Jawa Barat palung tidak ada 100 anak di bawah umur 15 tahun kehilangan nyawa mereka. Laporan menunjukkan bahwa 2.046 orang terluka, 39 orang hilang, dan 62.882 orang lainnya kehilangan tempat tinggal. Ada pula kerusakan pada 45 sekolah.

Sejak kejadian gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, hampir semua masyarakat Indonesia selalu mendengar dan mambaca istilah gempa tektonik. Apalagi, kejadian gempa tektonik berulang di tahun tahun berikutnya. Ada gempa Nias 2005, gempa Jogja 2006, gempa Padang 2009, gempa Lombok dan Palu 2018 dan seterusnya sampai gempa Bawean 2024. Ada yang baru dari gempa Bawean 2024 yaitu berasal dari Laut Jawa, padahal yang dikenal selama ini gempa tektonik berasal dari Samudera Hindia atau laut selatan.

Gempa Bawean ini termasuk langka karena baru muncul tahun 2024. Gempa kuat sebelumnya pernah terjadi di Laut Jawa tidak banyak, hanya 4 kali yaitu pada 1902, 1939, 1950 dan terkini 2024. Gempa ini dipicu reaktivasi Sesar Muria yang berada di zona Sesar Tua Pola Meratus. BMKG menyebut, gempa Bawean merupakan gempa yang merusak. Getarannya juga luas karena terasa tidak hanya di Jawa Timur, tapi juga di beberapa wilayah Jawa Tengah, DIY, bahkan Kalimantan.

Gempa Bawean 2024 bukan yang pertama terjadi, tapi sudah berulang

Kenapa Indonesia banyak gempa? Dan kenapa berulang ulang?

Hal ini terjadi karena kondisi geologi Indonesia dijepit 3 lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat menunjam ke bawa Lempeng Eurasia, Lempeng Samudera Hindia yang bergerak ke utara menyusup (subduksi) dibawah Lempeng Eurasia. Lempeng ini sudah bergerak dan menekan Indonesia sejak jutaan tahun yang lalu, sebelum manusia ada. Pada batas tumbukan lempeng terjadi akumulasi energi dan bila terlepas terjadilah gempa bumi. Pergerakan lempeng tektonik akan terus berlangsung dengan kecepatan tertentu antara 2–10 cm per tahun.

Indonesia bisa diibaratkan tumpukan material terdiri dari lapisan beton baja, kayu, plastik, lapisan gabus dll didorong oleh 3 buldoser yang bergerak dengan kecepatan tetap dari 3 arah. Pergerakan lempeng (bergeraknya buldoser) akan mendorong dan mematahkan lapisan batuan dan bersamaan dengan pecahnya batuan akan diikuti gempa. Oleh karena lempeng tektonik bergerak terus maka kejadian gempa akan berulang dan terus berulang di masa depan tergantung pada kekuatan runtuh batuan yang ada di daerah tersebut. Gempa ini bisa terjadi tiap tahun, bisa tiap 10 tahun, bahkan bisa 100 tahun atau lebih.

Pusat Studi Gempa Nasional tahun 2017 telah menerbitkan buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017. Buku ini diharapakan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber data dan informasi yang terkait dengan ilmu kegempaan, dengan harapan dapat menyadarkan masyarakat dalam memahami bahwa wilayah Indonesia sangat rawan terhadap bahaya gempa. Dalam buku ini pun dapat menjadi acuan dan diterapkan untuk kepentingan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan infrstruktur, khususnya untuk mengurangi risiko gempa.

Disebutkan dalam buku tersebut bahwa sumber gempa tektonik terdiri gempa subduksi lempeng terdiri dari gempa megathrust (kedalaman 0-70 km), gempa menengah (kedalaman 70-300 km) dan gempa dalam (kedalaman > 300 km) serta gempa kerak dangkal (sesar aktif). Lokasi sumber gempa sudah dipetakan Pusat Studi Gempa Nasional. Gempa sesar aktif jumlahnya sangat banya, paling tidak terdaftar 295 lokasi di seluruh Indonesia (lihat gambar di bawah ini).

Sumber gempa tektonik

Apa yang harus dilakukan?

Berdasarkan catatan sejarah kegempaan, jalur Sesar Kendeng pernah memicu terjadinya gempabumi merusak di Mojokerto (1836,1837), Madiun (1862, 1915) dan Surabaya (1867). Sedangkan Sesar RMKS juga pernah memicu terjadinya gempabumi merusak di Rembang-Tuban (1836), Sedayu (1902), Lamongan (1939), Sumenep (13 Juni 2018 dan 11 Oktober 2018 ). Gempa gempa yang pernah terjadi tersebut mempengaruhi kabupaten/kota yang dilewatinya.

Gempa Bawean 22 Maret berdasar catatan BMKG, terdapat dua gempa signifikan, pertama terjadi pukul 11.22 WIB dengan magnitudo 5,9 kedalaman 10 km yang berjarak 37 kilometer arah Barat pulau Bawean. Kedua, terjadi pukul 15.52 WIB dengan magnitudo 6,5 kedalaman 12 km yang berjarak 35 kilometer arah Barat Pulau Bawean. Sampai tanggql 4 April 2024 jumlah gempa susulan 477 dan terus menurun magnitudenya.

Perlu diketahui banyak pihak bahwa Gempa tidak membunuh, tapi bangunan bisa, tsunami bisa, likuifaksi bisa, longsor bisa, kebakaran bisa dll. Tapi sampai saat ini gempa merupakan fenomena alam yang tidak dapat diprediksi dan tidak bisa dihindari serta tidak bisa dijinakkan sehingga akibat yang ditimbulkan bisa sangat mengagetkan. Oleh karenanya catatan gempa terbesar yang pernah terjadi harus dijadikan pedoman dalam membuat perencanaan bangunan dan infrastruktur. Penelitian kegempaan di suatu kawasan harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan tata ruang. Juga dijadikan acuan edukasi kepada masyarakat agar sadar dan paham daerahnya rawan gempa.

Paling tidak robohnya bangunan disebabkan oleh kesalahan desain bangunan itu sendiri dan atau kondisi tanahnya. Untuk itu disarankan segera melakukan asesmen kualitas tanah dan bangunan di kawasan terdampak gempa Bawean 2024. Kalau kualutas bangunannya jelek (tidak memenuhi standar bangunan tahan gempa) tanahnya jelek maka daerah itu dikategorikan kawasan risiko bencana (KRB) tinggi. Kalau bangunannya jelek tanahnya baik maka termasuk KRB sedang, kalau bangunannya baik tanahnya baik maka diklasifikasikan sebagai KRB rendah. Berdasar peta KRB tersebut bisa menjadi dasar untuk Mitigasi atau pengurangan risiko bencana gempa. Misalnya di KRB Gempa Tinggi dilakukan perbaikan atau penguatan rumah, bangunan gedung dan infrastruktur. Perbaikan tanah juga dilakukan. Bagi masyarakat yang bermukim di KRB tinggi juga harus menyesuaikan diri dan mestinya lebih siap siaga dibanding kawasan lain. Untuk pembangunanan baru sudah harus mengikuti syarat bangunan tahan gempa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Amien Widodo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Amien Widodo.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

AW
AR
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini