Kisah Keberanian Dirgantara Indonesia Dibalik Patung Terkenal Ini

Kisah Keberanian Dirgantara Indonesia Dibalik Patung Terkenal Ini
info gambar utama

Patung yang satu ini merupakan salah satu monumen yang banyak dihapal oleh warga DKI Jakarta. Selain bentuknya unik, penempatannya pun terbilang paling strategis karena berada di pintu gerbang kawasan Jakarta Selatan dari Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah selain itu dekat dengan (dahulu) Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia.

Namun posisinya yang kini diapit oleh dua jalan layang membuatnya hanya sekedar dikenal namun tidak banyak yang memahami cerita dibaliknya. GNFI kemudian menemukan tulisan menarik dari Angkasa tentang kisah heroik dibalik Tugu Pancoran.

Suatu ketika Bung Karno berkata pada seorang Edhi Sunarso, seorang pematung langganan sang proklamator saat menjadi presiden RI di masa 50-60an.

"Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!”

Ungkapan Soekarno pada Edhi tersebut terjadi di Istana Negara pada tahun 1964. Pada masa itu dunia penerbangan internasional banyak terjadi pencapaian dan penemuan penting. Seperti di tahun 1960, pesawat bomber kebanggaan Soviet, Tu-114 berhasil memecahkan rekor dunia kecepatan pesawat jenis Turboprop pada bulan April. Di bulan yang sama, pesawat penumpang Antonov An-24 buatan Soviet berhasil mengudara untuk pertama kali. Di masa ini pula, kosmonot pertama di dunia berhasil mengorbit.

Tidak heran bila kemudian Soekarno terdorong untuk turut menunjukkan dunia aviasi Indonesia meski lewat sebuah monumen, Patung Dirgantara atau yang kini dikenal sebagai Tugu Pancoran.

Sebagaimana hasil wawancara Angkasa pada Edhi Sunarso di Yogyakarta, kisah dibuatnya Patung Dirgantara tersebut tenyata cukup emosional dan heroik. Sebab patung tersebut merupakan patung terakhir yang dicanangkan oleh Bung Karno sebelum beliau wafat pada tahun 1970.

Kisahnya bermula ketika Edhi Sunarso bertemu Bung Karno untuk pertama kali di tahun 1953 di Semarang pada momen peresmian Tugu Muda. Pada saat itu Soekarno memberi ucapan selamat pada Edhi yang berhasil menjadi juara kedua lomba seni patung internasional yang diselerenggarakan di London lewat karya "Unknown Political Prisoner".

Pada tahun 1959, permintaan Bung Karno pada Edhi untuk membuat monumen dimulai. Pada masa itu, Edhi bersama Henk Ngatung dan Trubus melahirkan karya Patung Selamat Datang yang sampai saat ini berdiri di bundaran Hotel Indonesia. Kemudian Edhi juga membuat diorama Monumen Nasional hingga akhirnya Patung Dirgantara.

Patung Dirgantara, diceritakan oleh Edhi sejatinya adalah monumen yang dipersembahkan untuk menghormati jasa para pahlawan penerbang Indonesia yang berhasil melakukan pengeboman pada Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.

“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita! Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang tengah menjejakkan bumi,” kenang Edhie Sunarso seperti dikutip dari Angkasa.

Kemudian seakan menjadi model Bung Karno pun memeragakan pose Gatotkaca yang sedang menjejak Bentala. Patung contohnya pun kemudian dikerjakan dengan detil dengan sebuah pesawat di tangan patung tersebut. Namun rupanya Edhi Sunarso merasa tidak cocok dengan adanya pesawat tersebut dan menyampaikannya pada Soekarno.

“Pak, dengan memegang pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan. Bagaimana kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” ujar Edhi kala itu.

Bung Karno pun mengiyakan saran Edhi dan memutuskan untuk menghilangkan miniatur pesawat dari tangan patung.

“Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” (Ya sudah Dhi, kalau kamu menganggap lebih baik ya tidak usah dipasang. Tidak usah dibuat) balas sang Proklamator.

Singkat cerita, Patung Dirgantara kemudian dikerjakan Edhi hingga siap dirangkai di Jakarta. Meski terbengkalai di Yogyakarta karena Edhi tidak memiliki modal dan telah menanggung utang. “Patung sudah selesai dicor perungu dan tinggal dibawa untuk dirangkai di Jakarta,” jelasnya.

Sampai suatu ketika di bulan Februari 1970, Edhi kembali bertemu dengan Bung Karno di Istana Bogor.

Putra Sang Fajar pun kemudian bertanya kepada Edhi, "Saudara Edhi, piye kabare? Patung Dirgantara nang Endi? Kok durung dipasang?" (Saudara Edhi, bagaimana kabarnya, Patung Dirgantara dimana? kok belum dipasang?)

Edhi lalu menjawab, "Nyuwun pangapunten, Pak. Kulo sampun mboten gadah arto, kepeksa sedaya pekerjaan kulo kendelaken. (Mohon maaf pak. Saya sudah tidak memiliki uang. Terpaksa semua pekerjaan saya tangguhkan) Saya disegel, karena masih punya utang.”

Jawaban tersebut rupanya mengejutkan Soekarno dan membuatnya memanggil Gafur yang duduk dibelakang presiden pertama RI itu. “Fur, mobilku dolen, sing Buick. Nek wis payu duite serahno Edhi ben cepet (Fur, mobilku jual saja, yang Buick. Kalau sudah laku, uangnya serahkan Edhie supaya cepat) dipasang patungnya,” perintah Soekarno.

Hasil penjualan uang tersebut akhirnya cukup untuk Edhi membawa Patung Dirgantara ke Jakarta dan mulai memasangnya. Saat pengerjaan mencapai umur satu minggu, Bung Karno datang ke Pancoran dan melihat langsung pengerjaan merangkai patung. Pemasangan dimulai dari bagian kaki sampai pinggang. Setiap bagian rata-rata memiliki berat 80-100 kilogram yang harus dilas.

Saat pengelasan mencapai bagian pinggang, Edhi menyadari bahwa di bawah terlihat banyak orang mengerumuni Bung Karno. Pada saat itu kondisi kesehatan Bung Karno sedang menurun, sehingga membuat Edhi berniat untuk turun dan menemui. Namun oleh Bung Karno, Edhi dilarang untuk turun dan diperintah untuk terus mengerjakan pengelasan.

Tugu Pancoran di masa 70an (Foto: wikimedia.org)
info gambar

Memasuki minggu pertama di bulan April 1970, pemasangan patung telah sampai di bagian pundak dan tangan kanan sudah terpasang. Meski dalam kondisi yang tidak sehat, Soekarno kembali datang ke Pancoran untuk melihat kembali proses perangkaian Patung Dirgantara. Kali ini Edhi kembali ingin turun untuk bertemu, namun lagi-lagi dilarang oleh Bung Karno, bahkan beliau menggunakan megaphone dari pasukan pengawal untuk memerintahkan agar Edhi tetap bekerja.

Dua bulan berselang, di pagi hari pukul 10.00 tanggal 21 Juni 1970, Edhi sedang mengerjakan Patung Dirgantara. Saat itu terlihat iring-iringan mobil jenazah melintas di bawah monumen. Dan ternyata itu adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar. Seketika badan Edhi lemas. Dia bergegas turun dan bersama rekannya Gardono, bergegas menuju Blitar untuk mengikuti upacara pemakaman Bung Karno.

Semingu setelah pemakaman Bung Karno, Edhi bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk melakukan pengerjaan akhir sekitar satu bulan. Edhi menyelesaikan monumen tersebut dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang. Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.

“Saya rela demi rasa cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku kepada Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide-ide dan mengerjakan karya-karya monumental Bung Karno,” kata Edhi.

Patung Dirgantara setidaknya menggambarkan bagaimana perjuangan Indonesia untuk dapat menjadi negara yang memiliki penerbangan hebat. Tercatat nama-nama seperti Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisuryo, Yum Sumarsono, dan di masa penerbangan kontemporer kita mengenal B.J Habibie dan putranya Rudi Habibie. Mereka adalah beberapa anak bangsa dari ribuan lainnya yang dengan berani mengembangkan angkatan udara dan industri penerbangan di Republik Indonesia.


Sumber : Angkasa.co.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini