Kisah Hubungan Leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe

Kisah Hubungan Leluhur Indonesia-Filipina di Kepulauan Sangihe
info gambar utama

Perjalanan sejarah peradaban Sangihe beriringan dengan kebudayaan Indonesia secara umum. Kata ''Sangi'' di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu, yaitu bermakna tangis. Kata Sangiang juga berarti putri raja. Kata ini dapat juga ditemukan sebagai nama sebuah daerah di Pulau Lapu-Lapu--kepulauan Filipina, Afrika, dan India.

Eksplorasi yang lebih dekat terhadap asal usul orang-orang Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke-14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951.

Suku bangsa Sangihe Talaud, di Provinsi Sulawesi Utara, sejak lama percaya nenek moyang mereka berasal dari Filipina Selatan lewat migrasi ribuan tahun silam. Bahkan yang terakhir, tokoh Gumansalangi, kulano tua pendiri kedatuan “Tampunganglawo” (Sangihe) disebut sebagai seorang pangeran dari Mindanao, Filipina.

“Secara historis, Filipina merasa dirinya terkait dengan sedemikian banyak komunitas di wilayah pulau Sulawesi bagian Utara,” kata Drs.Alex Ulaen, PhD, dalam sebuah perbicangan dengan penulis, pertengahan 2017 di Manado yang dikutip dari Borong.id.

Baca juga Legenda Maselihe, Kerajaan di Kepulauan Sangihe yang Tenggelam ke Bawah Laut

Gumansalangi adalah legenda, mitos, sekaligus sejarah. Dikisahkan pada abad ke XII, Sultan Kotabato, Mindanao Selatan (Filipina) memerintahkan putra Mahkota, Gumansalangi, berlayar ke arah timur (Nusantara) untuk mendirikan kerajaan di sana.

Gumansalangi melakukan pelayaran kembali dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanao-Filipina), kemudian balik ke Pulau Sangir–Kauhis dan mendaki Gunung Sahendarumang.

Mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode selanjutnya melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.

Tokoh Gumansalangi sudah diceritakan berabad-abad lamanya di Kepulauan Sangihe melalui cerita lisan dari generasi kegenerasi secara turun-temurun. Sejak masuknya bangsa Eropa, cerita Gumansalangi mulai ditulis oleh para budayawan, sejarahwan, dan pemerhati sejarah dan kebudayaan Sangihe lainnya dalam bentuk tulisan-tulisan lepas.

Dikutip dari Sangihekab.go.id, cerita Gumansalangi pertama kali diterjemahkan Desember 1993 di Biola University (Los Angeles). Kisah terbaru ditulis oleh Kenneth R. Maryott, seorang berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di Filipina dalam sebuah buku yang berjudul “Manga w?keng Asa? ‘u Tau Sangih?''.

Cerita tersebut ditulis berdasarkan penuturan dari Haremson E. Buku tersebut ditulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Sangihe, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Namun seperti cerita rakyat umumnya, banyak ditemukan cerita Gumansalangi dalam versi lain. Pasalnya belum ditemukan bukti melalui naskah kuno atau prasasti yang menulis atau memberikan gambaran tentang kehidupan Gumansalangi.

Jalur niaga yang hubungkan Sangihe dan Filipina

Pada tahun 1400-an Kepulauan Sangir-Talaud dikenal sebagai jalur niaga ke Kepulauan Maluku. Kala itu, Maluku merupakan magnet bagi pemburu rempah dari Eropa. Dikutip dari Tempo, menurut Alex John Ulaen, ada dua jalur pelayaran melalui Sangir-Talaud atau disebut Nusa Utara. Jalur pertama dari daratan Cina, melalui Filipina dan Sulu, terus ke Maluku Utara.

Jalur kedua dipakai pedagang Melayu dari Malaka, melewati Borneo Utara dan Kepulauan Sulu menuju Maluku Utara. Tapi kekuasaan kolonial (Spanyol, Belanda,dan Amerika Serikat) mengubur jalur perdagangan ke dasar laut, terutama antara Mindanao dan Kepulauan Sangir-Talaud. Kawasan itu berubah menjadi surga bagi kawanan perompak laut Balangini.

Mereka menangkap penduduk untuk dijadikan budak di daratan Sulawesi dan sekitarnya. ”Bajak laut Mangindanao dan Balangini adalah momok bagi penduduk Sangir-Talaud,” ujar Alex yang merupakan antropolog dari Universitas Sam Ratulangi.

Pitres Sombowadile, penulis dan pemerhati masalah perbatasan di Sulawesi Utara, dalam sebuah artikelnya menegaskan adanya pertalian erat antara orang-orang Sangihe Talaud dan orang-orang Filipina Selatan, terutama dengan keberadaan Suku Bangsa Sangil di Mindanao yang berbahasa Sangihe.

Hal ini memang dampak dari keberadaan Pulau Sangihe yang dekat dengan Filipina, tercatat kurang lebih 7.483 orang Sangihe-Talaud yang bermukim di wilayah Republik Filipina, penyebaran pun beragam. Ada yang tinggal di Provinsi South Cotabato, Davao del Sur, Sulu, Tawi-Tawi, Zamboanga, Cotabato City, Davao Oriental, Samal Island di Provinsi Davao, dan Davao City.

Baca juga Burung Endemik Seriwang Sangihe Kini Terancam Pertambangan Emas

Walaupun demikian, jumlah terbanyak dari mereka yang menetap di wilayah Filipina berada di Pulau Balut dan Sarangan. Di daratan Filipina, orang Sangihe dan Talaud dikenal dengan beberapa sebutan seperti Sangir, Sangil, Marore, dan Indonesia.

Kedekatan etnis, agama dan hubungan sosial yang erat antara Mindanano dan Sangir-Talaud yang telah terjalin lama membuat pendatang dari pulau-pulau utara diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Mereka digolongkan ke dalam rumpun bangsa Moro, yang biasa disebut etnis Sangi atau Sangil.

”Meski menyerap bahasa setempat dengan intonasi berbeda, bahasa mereka masih bisa dimengerti,” kata Heinrich Wolff, Koordinator Penghubung Warga Negara Indonesia di Mindanao Selatan, mengutip Tempo.

Salah satu ciri yang cukup baik menggambarkan budaya maritim masyarakat Nusa Utara ialah motto hidup. Sebagaimana Semboyan masyarakat Taulud yaitu somahe kei kehage yang berarti “Gelombang adalah tantangan kehidupan."

Tidak hanya itu, menurut Sejarawan Universitas Indonesia, Adrian B Lapian, yang mengkaji tentang Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX” menyebutkan bahwa masyarakat Sangihe-Talaud sangat maju akan kebudayaan baharinya.

Seperti misalnya masyarakatnya mengenal tidak kurang dari 19 jenis perahu seperti dorehe, sope, konteng, giope, pamo, bolotu, dan lain-lain. Bahkan untuk penyebutan kata “laut” dalam masyarakat Sangihe dikenal dua istilah, yaitu “laude” yang berarti laut secara keseluruhan dan “sasi” merujuk pada air laut yang terbatas di permukaan saja.

Budaya bahari sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sangihe -Talaud juga tercermin dalam salah satu tarian yang dikenal di daerah Nusa Utara, yakni tari nelayan. Tari ini merupakan tarian yang menggambarkan kehidupan para nelayan.

Tradisi Tulude juga merupakan satu bentuk tradisi bahari masyarakat Sangihe-Talaud yang telah dipraktikkan sebelum masuknya agama Kristen dan Islam di wilayah Nusa Utara. Tradisi ini biasanya dilakukan dengan mendorong atau menghanyutkan sebuah perahu ke laut sebagai bentuk rasa syukur sekaligus simbol menjauhkan masyarakat dari segala malapetaka.

Kebijakan maritim Indonesia-Filipina untuk masyarakat Nusa Utara

Sejak abad ke-15 masyarakat Nusa Utara tumbuh dan berkembang dengan kebudayaan baharinya. Hal ini tercermin dalam kebiasaan masyarakat untuk berlayar ke pulau-pulau yang ada di sekitarnya.

Kebiasaan ini dilakukan dengan beragam tujuan bergantung pada kepentingan masyarakat yang akan bepergian ke pulau sekitarnya. Umumnya tujuan masyarakat Sangihe ialah untuk berdagang, memenuhi kebutuhan sehari-hari, berziarah, ataupun sekadar bertamasya.

Tapi dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (1945) dan Republik Filipina (1946) telah mendorong kedua pihak untuk bersama-sama mencari solusi terutama aktivitas lintas batas, khususnya untuk mengurangi ancaman bagi kedaulatan negara.

Hal yang menarik antara hubungan Indonesia dan Filipina cenderung menghargai “keberadaan aktivitas” tersebut. Seperti yang terlihat pada hasil keputusan pertemuan kedua negara pada Januari 1955.

Disebutkan bahwa kedua negara sepakat untuk memberikan kelonggaran terhadap masyarakat Sangihe-Talaud. Kelonggaran yang dimaksud di sini ialah, bagi masyarakat Sangihe-Talaud diperbolehkan memasuki wilayah Filipina tanpa perlu mengajukan izin khusus terlebih dahulu ke layanan imigrasi.

Baca jugaMenjelajah Surga Wisata Alam di Kepulauan Sangihe

Kebijakan terhadap masyarakat Nusa Utara ini kemudian berlanjut hingga sampai pada tahap peraturan perdagangan masyarakat perbatasan yang diratifikasi sejak 1974. Walau sekarang banyak pihak yang meminta adanya peraturan baru untuk masyarakat Nusa Utara.

Hal ini karena warga perbatasan yang tidak memahami peraturan rentan terkena tuduhan tindak kriminal penyelundupan. Selain itu kondisi perekonomian saat ini sudah jauh berbeda.

Selain itu keberadaan WNI yang menjadi penduduk Filipina Selatan dianggap oleh otoritas sebagai warga negara illegal in trans (tidak jelas status kewarganegaraannya). Sehingga ini memungkinkan untuk dimanfaatkan secara politik ataupun ekonomi.

Ditambah lagi dengan adanya beragam aksi teror membuat perbatasan kedua negara, utamanya Kabupaten Kepulauan Sangihe diperketat. Baik masyarakat Sangihe-Filipina (Sapi) maupun Filipina-Sangihe (Pisang), ini juga menjadi perhatian serius bagi pihak keamanan.

"Memang untuk masyarakat Sangihe sendiri dalam sosial budayanya sangat erat dengan negara Filipina. Namun, hal itu bukan menjadi alasan untuk melintas baik dari Filipina ke Indonesia atau sebaliknya. Sehingga kita akan awasi dan periksa semuanya barang bawaan bagi masyarakat yang masih nekat melintasi perbatasan,” ujar Kapolres Sangihe AKBP Tony Budhi Susetyo.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini