Keikutsertaan Indonesia dalam Upaya WHO Memerangi Hoaks di Tengah Pandemi

Keikutsertaan Indonesia dalam Upaya WHO Memerangi Hoaks di Tengah Pandemi
info gambar utama

Tak terelakkan lagi, bahwasanya ada musuh terbesar selain Covid-19 yang merebak di tengah situasi pandemi dan harus dihadapi dengan serius oleh seluruh lapisan masyarakat, yaitu keberadaan berita bohong atau hoaks yang selama ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam segala hal yang bersifat masif.

Jangankan saat situasi pandemi, jauh sebelum munculnya Covid-19 keberadaan hoaks sejatinya sudah menjadi musuh besar yang seharusnya secara bersama-sama diberantas oleh masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara lainnya.

Karena faktanya, bukan hanya Indonesia yang selama ini selalu dihampiri oleh kehadiran hoaks, dan sering kali memunculkan disinformasi yang berujung pada suatu kejadian yang merugikan bahkan sampai merenggut nyawa.

Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai organisasi internasional bahkan sampai mengeluarkan program khusus demi menanggulangi penyebaran hoaks.

Lawan Hoaks Covid-19 dengan Informasi Edukatif Berbahasa Daerah

Upaya ‘Infodemic’ yang melibatkan 132 negara anggota

Jika menilik pada penjelasan yang dipaparkan oleh WHO, Infodemic diartikan sebagai penyebaran informasi keliru yang berlebihan baik secara online maupun offline. Aktivitas itu dilakukan secara sengaja untuk melemahkan respons kesehatan masyarakat yang terpengaruh dari segi psikis maupun aspek kesehatan lainnya, guna mencapai tujuan yang dimiliki oleh kelompok tertentu.

WHO memaparkan, bahwa disinformasi yang terjadi nyatanya dapat berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental seseorang, terutama di tengah situasi pandemi. Mulai dari meningkatkan stigmatisasi negatif tentang situasi yang terjadi, sampai menggiring opini masyarakat untuk tidak mematuhi langkah-langkah kesehatan yang sebenarnya dianjurkan oleh para ahli.

Menurut WHO, tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat karena dipengaruhi oleh beredarnya informasi yang tidak benar, segala upaya dan anjuran kesehatan yang sudah dijalankan tidak akan dapat berjalan dengan sempurna, baik dalam bentuk tes diagnostik atau kampanye vaksin sebagai salah satu upaya yang terbukti efektif secara klinis dalam menghadapi situasi pandemi.

Terbukti, hal yang ditakutkan pun nyatanya benar terjadi. Indonesia memang memiliki cukup besar golongan masyarakat dengan kesadaran akan vaksinasi. Tapi, tak dimungkiri bahwa di sisi lain masih ada sebagian yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya vaksinasi.

Alasan yang diberikan oleh mereka yang belum mau menjalani vaksinasi pun beragam, mulai dari anggapan tidak efektif, merasa tidak membutuhkan, sampai meyakini bahwa vaksin hanyalah sebuah akal-akalan pihak farmasi.

Sebagai upaya untuk terus memberantas anggapan tersebut, WHO bekerja sama dengan sebanyak 132 negara anggota berusaha keras untuk memberantas fenomena yang terjadi, melalui sebuah program yang dinamakan Infodemic Management (manajemen wabah hoaks).

Sama halnya dengan Covid-19 yang menjadi wabah, hoaks yang selama ini tersebar di masyarakat dunia pun dianalogikan sebagai wabah yang mendapat upaya pemberantasan yang sama. Jajaran negara yang turut serta berpartisipasi dalam program Infodemic Management di antaranya Australia, Jerman, Jepang, Belanda, Indonesia, dan masih banyak lagi.

Bersama Warganet Melawan Monster Hoaks Corona

Keikutsertaan Indonesia yang diwakili oleh MAFINDO

Harry Sufehmi
info gambar

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menjadi wakil dari Indonesia yang belakangan ikut terlibat dalam acara konferensi internasional WHO tentang Infodemic Management pada tanggal 3-5 Agustus 2021 secara virtual.

MAFINDO yang pada kesempatan tersebut diwakili oleh pendiri sekaligus presidium, Harry Sufehmi, memaparkan dan memberikan penjelasan mengenai pola penyebaran hoaks yang biasanya banyak terjadi di Indonesia, dan masih menjadi tugas besar bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama memerangi kondisi tersebut.

Harry menjelaskan, bahwa rendahnya literasi digital masyarakat tanpa melakukan verifikasi, menuntun kepada kebiasaan orang untuk langsung menyebarkan informasi yang sebenarnya diawali dengan niat baik untuk melindungi teman, keluarga, atau kerabat terdekat.

Padahal, informasi yang disebarkan ternyata salah dan justru bisa membahayakan atau menimbulkan kepanikan yang tidak perlu. Penyebaran hoaks yang dimaksud tersebut nyatanya dinilai berimplikasi serius dalam beberapa hal, seperti mengaburkan prosedur pencegahan dan pengobatan yang dianjurkan.

Tidak hanya itu, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa hoaks yang tersebar dapat merusak kepercayaan publik terhadap otoritas kesehatan negara, media massa, dan para ilmuwan.

Dalam kesempatan yang sama, Harry juga memaparkan mengenai bagaimana cara kerja yang dilakukan oleh pihaknya dalam menangani penyebaran hoaks yang terjadi di Indonesia. Melalui team pemeriksa fakta yang dimiliki, MAFINDO secara mendalam disebutkan telah melakukan bongkar hoaks lebih dari 1.110 kasus hoaks terkait Covid-19, sejak Januari 2020 hingga saat ini.

Setelah melakukan bongkar hoaks, tim yang dimiliki melakukan edukasi terkait literasi digital dan inokulasi terkait hoaks dan vaksinasi Covid-19, yang saat ini juga menjadi perhatian khusus di Indonesia.

Beberapa upaya lainnya yang dilakukan oleh MAFINDO juga berupa penanganan terkait hoaks melalui platform pesan instan WhatsApp, kemudian memanfaatkan cara kerja media social listening disertai alat dan perangkat pendukung yang bisa mendeteksi ancaman hoaks yang potensial.

Terlepas dari upaya yang telah dilakukan, pada akhirnya Harry menyatakan bahwa upaya pencegahan hoaks masih harus dilakukan secara ketat dan diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, untuk saling bahu-membahu pada penanganan hoaks baik di Indonesia maupun seluruh dunia di tengah situasi pandemi.

Beberapa Tokoh Inspiratif Penanganan Wabah COVID-19 di Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Siti Nur Arifa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Siti Nur Arifa.

SA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini