Sayyang Pattu’du’, Kuda Menari Saat Khatam Al-Qur'an di Tanah Mandar Sulawesi Barat

Sayyang Pattu’du’, Kuda Menari Saat Khatam Al-Qur'an di Tanah Mandar Sulawesi Barat
info gambar utama

Indonesia terkenal memiliki beragam budaya yang tersebar di setiap daerahnya. Keanekaragaman tersebut mulai dari makanan tradisional, kesenian, adat istiadat, dan acara keagamaan. Salah satunya Provinsi Sulawesi Barat yang penduduknya berasal dari Suku Mandar.

Kearifan leluhur masyarakat Mandar yang masih berkembang saat ini adalah budaya Sayyang Pattu’du’ (budaya Messawe Totammaq), tetapi belum banyak yang tahu budaya Sayyang Pattu’du’ khas suku Mandar, Sulawesi Barat ini.

Dikutip dari buku Ensiklopedi sejarah, tokoh dan kebudayaan mandar, FSDKM dan LAPAR, sejarah dimulainya Sayyang Pattu’du’ dimulai sejak masuknya agama Islam pada masa pemerintahan raja keempat di Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh raja Daetta’ Tomuane (Suardi, 2004).

Pada awalnya, tradisi ini hanya dapat dilakukan oleh para bangsawan di Kerajaan Balanipa, tetapi seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai bergeser ke masyarakat Mandar.

Tradisi Bakar Batu Papua, Kegiatan Memasak Bersama yang Sarat Toleransi
Foto: Kamaruddin/Tribun Sulbar
info gambar

Sayyang Pattu’du’ (kuda menari) adalah budaya Mandar yang melembaga dalam tatanan masyarakat yang masih ada dan berlangsung hingga saat ini. Budaya ini lahir dari cipta, rasa, dan karsa leluhur Mandar (Sahrbulan, dkk 2022).

Awalnya bagi masyarakat Mandar, budaya Sayyang Pattu’du dan khatam Al-Qur’an memiliki pertalian yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab, budaya Sayyang Pattu’du’ digelar untuk mengapresiasi anak yang telah mengkhatamkan bacaan al-Qur’annya berupa menunggang kuda yang telah terlatih diiringi bunyi rebana dan untaian kalindaqdaq (puisi Mandar) dari pakkalindaqdaq.

Atraksi kuda menari atau disebut Sayyang Pattu’du’ adalah salah satu atraksi budaya unik dari suku Mandar Sulawesi Barat. Sayyang Pattu’du’ yang diiringi pukulan rebana dengan syair lagu bernuansa Islam-Mandar. Namun, saat ini tradisi Sayyang Pattu’du’ tidak lagi dilaksanakan hanya saat khatam Al-Qur’an saja, tetapi juga dilaksanakan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw (pammunuang), dan perkawinan.

Tradisi Sayyang Pattu’du’ suku Mandar ini biasanya dilakukan secara massal, terdapat sekitar puluhan hingga ratusan kuda yang berpartisipasi dalam acara ini. Uniknya atraksi kuda terlatih ini ditunggangi pada umumnya gadis jelita kemudian diarak keliling kota dengan diiringi tabuhan rebana.

Sepanjang jalan yang dilalui kuda akan terus menari dan terus bergoyang mengikuti iringan musik yang bernuansa Islami. Tampilan Kuda Menari saat tradisi ini digelar tidak kalah dengan mereka yang diarak dengan pakaian tradisional Mandar.

Layaknya seorang penari, kuda ini juga dihiasi dengan aksesoris seperti kalung perak, penutup mata, dan juga kacamata kuda. Keunikan antraksi ini mampu menyedot perhatian masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui.

Tradisi Bertaruh Nyawa di Lamalera, Nusa Tenggara Timur
sayyang pattu'du'
info gambar

Sebelum diarak keliling kampung, penunggang kuda tidak langsung duduk melainkan berdiri diatas kuda terlebih dahulu. Selain itu, penunggang kuda juga tidak boleh menginjak tanah tetapi ada keluarga yang menggondangnya untuk naik di atas kuda.

Apabila penunggang kuda sudah duduk, duduknya tidak sembarang duduk tetapi duduk dengan gaya yang indah dengan kaki di masukkan di sarung yang telah disimpan diatas kuda, biasanya penunggang yang didepan lebih indah jika memegang kipas. Apabila kuda telah berjalan yang diiringi dengan kuda yang menari yang mendongakkan kepalanya yang diiringi musik rebana dan kaliindaddaq.

Bagi masyarakat Mandar, tradisi Sayyang Pattu’du’ mengandung mengandung nilai sebagai alat komunikasi budaya, gotong royong, tolong menolong, kerohanian dan persaudaraan sosial. Pelaksanaan tradisi ini sangat memberikan pengaruh positif khususnya bagi anak-anak karena anak-anak sangat termotivasi untuk segera menyelesaikan bacaan Al-Qur’anya agar ia juga bisa menunggangi kuda.

Dilansir dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulsel, pada 2013, tradisi Sayyang Pattu’du’ telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional oleh pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan domain seni pertunjukan. Dengan demikian, maka tradisi Sayyang Pattu’du’ menjadi milik masyarakat Indonesia dan menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga dan melestarikannya.

Indonesia terkenal memiliki beragam budaya yang tersebar di setiap daerahnya. Keanekaragaman tersebut mulai dari makanan tradisional, kesenian, adat istiadat, dan acara keagamaan. Salah satunya Provinsi Sulawesi Barat yang penduduknya berasal dari Suku Mandar. Satu di antara sekian banyak kearifan leluhur masyarakat Mandar yang masih berkembang saat ini adalah budaya Sayyang Pattu’du’ (budaya Messawe Totammaq), namun belum banyak yang mengetahui tentang budaya Sayyang Pattu’du’ khas suku Mandar, Sulawesi Barat ini.

Dikutip dari buku "Ensiklopedi sejarah, tokoh dan kebudayaan mandar, FSDKM dan LAPAR", sejarah dimulainya Sayyang Pattu’du’ dimulai sejak masuknya agama islam pada masa pemerintahan raja keempat di Kerajaan Balanipa yang dipimpin oleh raja Daetta’ Tomuane (Suardi, 2004). Pada awalnya, tradisi ini hanya dapat dilakukan oleh para bangsawan di Kerajaan Balanipa, tetapi seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai bergeser ke masyarakat Mandar.

Tradisi Bertaruh Nyawa di Lamalera, Nusa Tenggara Timur
Foto: Kamaruddin/Tribun Sulbar
info gambar

Sayyang Pattu’du’ (kuda menari) adalah budaya Mandar yang melembaga dalam tatanan masyarakat yang masih ada dan berlangsung hingga saat ini. Budaya ini lahir dari cipta, rasa, dan karsa leluhur Mandar (Sahrbulan, dkk 2022). Pada awal perkembangannya bagi masyarakat Mandar, budaya Sayyang Pattu’du dan khatam Al-Qur’an memiliki pertalian yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab, budaya Sayyang Pattu’du’ digelar untuk mengapresiasi anak yang telah mengkhatamkan bacaan al-Qur’annya. Apresiasi tinggi ini berbentuk menunggang kuda yang telah terlatih diiringi bunyi rebana dan untaian kalindaqdaq (puisi Mandar) dari pakkalindaqdaq.

Atraksi kuda menari atau disebut Sayyang Pattu’du’ adalah salah satu budaya unik dari suku Mandar Sulawesi Barat yang diiringi pukulan rebana dengan syair lagu bernuansa Islam-Mandar. Namun, saat ini tradisi Sayyang Pattu’du’ tidak lagi dilaksanakan hanya saat khatam Al-Qur’an saja, tetapi juga dilaksanakan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw (pammunuang), dan perkawinan.

Tradisi Sayyang Pattu’du’ suku Mandar ini biasanya dilakukan secara massal, terdapat sekitar puluhan hingga ratusan kuda yang berpartisipasi dalam acara ini. Uniknya atraksi kuda terlatih ini ditunggangi gadis jelita kemudian diarak keliling kota dengan diiringi tabuhan rebana.

Kuda akan terus menari dan terus bergoyang sepanjang jalan mengikuti iringan musik bernuansa Islami. Tampilan Kuda Menari saat tradisi ini digelar tidak kalah dengan mereka yang diarak dengan pakaian tradisional Mandar.

Layaknya seorang penari, kuda ini juga dihiasi dengan aksesoris seperti kalung perak, penutup mata, dan juga kacamata kuda. Keunikan atraksi ini mampu menyedot perhatian masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui.

sayyang pattu'du'
info gambar

Sebelum diarak keliling kampung, penunggang kuda tidak langsung duduk melainkan berdiri diatas kuda terlebih dahulu. Selain itu, penunggang kuda juga tidak boleh menginjak tanah tetapi ada keluarga yang menggondangnya untuk naik di atas kuda.

Penunggang kuda duduk dengan gaya yang indah, kaki dimasukkan di sarung yang telah disimpan di atas kuda, biasanya penunggang yang di depan lebih indah jika memegang kipas. Kuda berjalan diiringi kuda yang menari mendongakkan kepalanya sambil diiringi musik rebana dan kaliindaddaq.

Bagi masyarakat Mandar, tradisi Sayyang Pattu’du’ mengandung nilai alat komunikasi budaya, gotong royong, tolong menolong, kerohanian dan persaudaraan sosial. Pelaksanaan tradisi ini sangat memberikan pengaruh positif khususnya bagi anak-anak supaya termotivasi untuk segera menyelesaikan bacaan Al-Qur’anya agar ia juga bisa menunggangi kuda.

Dilansir dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulsel, pada 2013, tradisi Sayyang Pattu’du’ telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional oleh pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan domain seni pertunjukan. Dengan demikian, maka tradisi Sayyang Pattu’du’ menjadi milik masyarakat Indonesia dan menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga dan melestarikannya.

Referensi:
1. Suradi Yasil. (2004). Ensiklopedi sejarah tokoh dan kebudayaan mandar, FSDKM dan LAPAR. Makassar.
2. Sahribulan, dll (2022). Tradisi Sayyang Pattu’du Sebagai Budaya Leluhur Mandar di Dusun Kanusuang. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 2 No. 1 (April 2022).
3. Kebudayaan Kemdikbud

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

UA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini