PM Belanda Minta Maaf atas Perbudakan Dunia, Bagaimana Peran Kompeni di Masa Lalu?

PM Belanda Minta Maaf atas Perbudakan Dunia, Bagaimana Peran Kompeni di Masa Lalu?
info gambar utama

Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf atas kekejaman Belanda yang melanggengkan perbudakan dan perdagangan budak selama 250 tahun. Rutte mengungkapkan pernyataan tersebut dalam pidatonya di Mangazina di Rei, Den Haag, Senin (20/12).

“Hari ini saya meminta maaf atas nama pemerintah Belanda terkait tindakan negara di masa lalu. Saya secara anumerta meminta maaf kepada semua budak di dunia yang menderita akibat tindakan ini,” ungkap Rutte disaksikan perwakilan Karibia dan Suriname, dikutip dari Nos. Rutte mengulang keterangannya dalam bahasa Belanda, Inggris, Papiamanto dan Sranan Tongo (bahasa Kepulauan Karibia dan Suriname).

Pidato tersebut disampaikan sebagai tanggapan laporan Dewan Penasihat yang diterbitkan 1 Juli 2022. Di dalamnya terdapat sejumlah rekomendasi, termasuk permintaan maaf, pemulihan, serta pengakuan dari pemerintah bahwa perdagangan budak dan perbudakan dari abad 17 adalah kejahatan bagi kemanusiaan.

Meski permohonan maaf telah terlontar—apalagi momen ini ditunggu sejak lama, para aktivis Belanda dan bekas jajahannya justru meminta Rutte menundanya hingga 1 Juli tahun depan. Tanggal tersebut bertepatan dengan peringatan penghapusan perbudakan 160 tahun lalu.

Sejumlah aktivis itu tengah mempertimbangkan perayaan ulang tahun ke 150 sekaligus mengenang banyak budak yang dipaksa bekerja di perkebunan selama sedekade pasca penghapusan.

“Mengapa terburu-buru?” tanya Barryl Biekmen selaku ketua Platform Nasional untuk Masa Lalu Perbudakan di Belanda. Pekan lalu, beberapa kelompok aktivis menyambangi pengadilan untuk menggagalkan pidato Rutte kemarin, tapi mereka gagal

“Kami tahu, tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak ada kata yang tepat untuk semua orang, dan tidak ada tempat yang tepat untuk semua orang,” ujar Rutte, dikutip dari kantor berita Belanda, Bonaire.nu.

7 Ikon Kampoeng Heritage Kajoetangan Kota Malang, Warisan Budaya Hindia Belanda

Perbudakan Belanda 250 tahun lalu

Permintaan maaf yang telah ditunggu selama bertahun-tahun itu, tentu tak dapat menghilangkan sejarah kelam perbudakan Belanda di masa lalu. Sebesar-besarnya pengaruh pidato Rutte, tak akan membuat orang lantas melupakan peristiwa itu.

Namun, yang harus diketahui, ungkapan tersebut tetaplah penting sebagai sikap penyesalan, keprihatinan, kedukaan, atau semacamnya, kepada para korban penyiksaan oleh kolonial Belanda.

Mengapa demikian? Mari mengungkit lagi sejarah perbudakan Belanda di seluruh dunia.

Melansir Npo Kennis, orang Belanda yang bermukim di Asia dan sejumlah wilayah Atlantik, memperdagangkan manusia pribumi dari abad ke-17 untuk bekerja di perkebunan, rumah tangga, dan pertambangan. Para budak itu dipaksa bekerja selama mungkin tanpa menerima upah.

Sejarah dimulai dari tahun 1637 ketika ‘Zaman Keemasan” Belanda. Setelah Perusahaan India Barat (WIC) didirikan, mereka tak hanya memperdagangkan barang ke Afrika Barat dan Amerika Utara-Selatan, tapi juga manusia.

Belanda menjiplak model perdagangan manusia dari Portugis yang dianggap menguntungkan. Pada 1637, kaki tangan Belanda mengusir Portugis dari Benteng Elmina di Barat Afrika (sekarang Ghana). Para budak dari pedalaman Afrika dijual ke Belanda, lalu dikirim ke perkebunan gula di Brasil.

Pendudukan Fort Elmina mendandai awal perdagangan segitiga. Strateginya, kapal senjata dan alkohol akan berlayar dari Belanda menuju benteng-benteng di pantai Afrika Barat. Setiba di sana, penjajah itu akan menukar barang yang mereka bawa dengan berbagai produk, seperti gula, kopi, dan tembakau. Tentu saja, mereka memperolehnya dari para budak. Setelah itu, mereka berlayar lagi ke Belanda.

WIC tak hanya menaklukkan Afrika Barat, tapi juga Curacao dan Suriname. Tak kurang dari 4000 orang Suriname tersebar di 178 perkebunan. Di daerah yang menguntungkan itu, Belanda punya outlet yang super besar untuk menjual berbagai kebutuhan manusia.

Mulai pertengahan abad 17, permintaan budak kian melesat akibat pesatnya perdagangan gula. Waktu itu, hanya WIC yang punya infrastruktur perdagangan budak skala besar. Mereka pun untung besar dari bisnis tersebut.

Pemilik perkebunan bukan hanya orang Belanda, tapi juga komunitas Yahudi. Perekonomian Suriname difokuskan pada ekspor produk kolonial ke Eropa, seperti gula, kopi, kapas, kayu, tembakau, dan kakao.

Jika ditotalkan, menurut laporan Npo Kennis, dari abad 16-19, Belanda telah memperdagangkan 600.000 orang Afrika yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak. selama periode yang sama, 11-13 juta orang telah dijual di seluruh dunia. Bagian yang paling sadis adalah sebanyak 3 juta orang Afrika terbunuh dalam perdagangan budak yang dipimpin oleh Belanda.

Selama dua abad, orang-orang Afrika menjalani hidup yang sangat mengerikan. Dari pedalaman Afrika, mereka dirantai di dalam kapal oleh budak pengemudi. Tak ada yang bisa bergerak karena jumlah mereka sangat banyak. Setidaknya satu dari delapan orang meregang nyawa akibat kepanasan, kurangnya ruang, makanan, dan udara.

Para budak akan diangkut ke pantai Afrika Barat dan itu menghabiskan waktu berhari-hari. Kemudian, mereka harus pula menunggu berbulan-bulan di ruang bawah tanah gelap, untuk selanjutnya dikirim ke Amerika atau Curacao.

Jika mereka bertahan hingga Amerika, para budak itu dipastikan akan berakhir di pasar budak Curacao dan Suriname. Di sana, mereka dianggap sapi dan dijual kembali ke pedagang lain atau pemilik perkebunan.

Bekerja di perkebunan lebih berat lagi. Para budak dipaksa memanen tebu di bawah sengatan matahari selama 60-100 jam per minggu. Ribuan orang tewas karena perumahan yang buruk dan tubuh yang tidak sehat. Di samping itu, hukuman fisik yang brutal juga menjadi sumber utama banyaknya budak yang tutup usia.

Perdagangan budak seluruh dunia ini sebenarnya tak hanya melibatkan WIC, tapi juga VOC. Sebanyak 75.500 budak tinggal di permukiman VOC di Asia. Kisah perdagangan manusia pimpinan Belanda berakhir pada 1 Juli 1836 setelah pemerintah pusat melarang perbudakan.

Pasca emansipasi, pemerintah Belanda mengganti kerugian mantan tuan budak sebesar 300 gulden per orang yang diperbudak. Tapi, meski perbudakan telah dihentikan, nyatanya mereka masih dipaksa terus bekerja di perkebunan selama satu dekade lagi, dikutip dari Radboud University.

Sementara di Indonesia, perbudakan dimulai pada 1621 di Pulau Banda Maluku. VOC memonopoli rempah-rempah yang ditanam dan dijual di sana, mencakup pala, fuli, dan cengkeh. Untuk melancarkan urusannya, ribuan penduduk dibunuh, sedangkan ratusan lainnya dijadikan budak dan dikirim ke Batavia (sekarang Jakarta).

Mengutip Trouw, seorang peneliti di Internasional Institute of Social History bernama Matthias van Rossum, memperkirakan sebanyak 660 ribu hingga 1,1 juta orang Hindia Belanda (sekarang Indonesia) telah diperbudak.

Mereka kebanyakan ditangkap di Bali hingga Sulawesi, lalu dipekerjakan di perkebunan gula Batavia dan pertambangan emas-perak di Sumatra Utara. Pada abad 17-18, jumlah budak semakin meningkat karena kebutuhan tenaga kerja untuk produksi rempah, pengerjaan sawah, galangan kapal, dan pelabuhan.

Perbudakan di Indonesia dihapuskan tidak secara resmi sampai tahun 1860. Sebelum itu, orang Indonesia yang memproduksi gula, lada, atau tembakau, wajib menjualnya ke Belanda dengan harga tetap.

Romantika Masa Silam, Belanda Serius Garap Wisata Sejarah di Kota Depok

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini