Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang Ramah

Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang Ramah
info gambar utama

Beberapa bulan terakhir ini, tepatnya sejak Oktober 2022, saya melakukan perjalanan ke Timor Leste, sebuah negara kecil yang dulu pernah menjadi bagian dari Indonesia. Hingga kini saya telah melakukan 3 kali perjalanan ke Dili, melalui jalur udara. Negara kecil ini, yang merdeka dari Indonesia di tahun 1999, hingga saat ini masih mempertahankan "keramahan" Bangsa Indonesia dalam menghadapi wisatawan atau pun tamu dari luar negeri. Bahkan bagi pendatang dari Indonesia yang dulu sempat diisukan "dimusuhi" jikalau masuk ke Timor Leste, namun kenyataannya dari 3 kali perjalanan keluar masuk dan 6 kali berinteraksi dengan Petugas Imigrasi di sana, saya mengalami penerimaan yang sangat baik.

Ketika masuk, di bandara Internasional President Lobato di Dili, petugas imigrasi menyapa saya dengan bahasa Indonesia, dan dengan gestur atau bahasa tubuh yang sangat bersahabat. Kata-kata: "dari Indonesia ya pak?", "berapa lama akan tinggal?", menjadi sapaan yang sangat terdengar merdu di telinga saya. Ketika akan meninggalkan Dili, di bandara yang sama, petugas imigrasi hampir selalu mengatakan: "kapan kembali lagi ke Dili?", "jangan lupa buat kemari lagi", atau "selamat jalan, dan hati-hati", menjadi ucapan yang membuat hati ini teduh dan ingin kembali ke Dili.

Dari Jawa Tengah, Kapulaga Indonesia Merambah China

Kenapa soal remeh, ramah tamah orang luar di sana menjadi penting bagi saya, karena keramahan milik bangsa Indonesia itu tidak lagi menjadi milik bahasa Indonesia. Kembali mengulang ketiga perjalanan pulang pergi ke Dili, di atas, pengalaman yang saya rasakan di pintu keluar masuk di bandara Denpasar, sangatlah berbeda. Mungkin berbeda 180 derajat.

Dalam kesempatan berinteraksi dengan petugas imigrasi di bandara Denpasar selama 6 kali, hanya sekali saya mengalami keramahan petugas. Sisanya sulit dikatakan sebagai hal yang menyenangkan. Ucapan dan gestur "unfriendly" kerap saya alami. Kalimat tanya: "mau ngapain di Dili?", "berapa lama di Dili?", "kalau mau seminar, ada undangannya?", menjadi ujaran-ujaran yang "akrab" di telinga saya; ditambah dengan wajah "arogan" tanpa senyum.

Penerimaan tidak ramah dari petugas imigrasi di Indonesia, bukan menjadi satu-satunya pengalaman yang tidak menyenangkan. Ketika melewati pemeriksaan petugas Bea Cukai di bandara Denpasar, saya selalu mendapatkan layanan petugas yang ketus dan tanpa senyum. Terakhir, beberapa hari yang lalu, ketika melewati layanan Bea Cukai, saya mendapati bahwa Green Zone hanya dinikmati oleh para penumpang asal negara lain, sedangkan bagi saya, meskipun "custom declaration" saya menyatakan bahwa saya tidak membawa barang yang dilarang, kami harus tetap menjalani Red Zone, di mana barang bawaan kami harus masuk scanner untuk lebih meyakinkan deklarai bea cukai kami. Hati kecil saya tergelitik untuk bertanya, sebegitu tidak percayakah petugas Bea Cukai dan bandara lainnya terhadap sesama penduduk Indonesia?

Beberapa puluh tahun yang lalu di tahun 1990-an, saya pernah mengutarakan kekesalan atas hilangnya Keramahan Bangsa Indonesia (terhadap sesama warga negara Indonesia), kepada seorang reporter radio dalam sebuah wawancara langsung di Radio Ramako (sekarang sudah tidak ada). Saat itu saya menghimbau pada menteri Parpostel, untuk membenahi para front-liner di pintu masuk wilayah Indonesia, untuk mendapatkan pelatihan keramah-tamahan khas bangsa Indonesia.

Nampaknya imbauan ini masih relevan untuk diterapkan saat ini. Sekedar peringatan kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, bapak Sandiaga Uno, untuk mau memberikan perhatian dan bekerja sama dengan Kementerian Kehakiman dan Kementerian Keuangan serta Pengelola SECNAV (Keamanan Bandara), agar memberikan pelatihan kepribadian Bangsa Indonesia kepada para frontliner tersebut. Utamanya agar bisa lebih ramah dan bersahabat dengan sesama warga negara Indonesia.

Kisah Sultan Pajang yang Melarikan Diri dari Pasukan Gaib Mataram Islam

Mungkin pengalaman saya menjadi pengalaman tunggal bagi diri saya, dan kejadian ketidakramahan itu hanya terjadi di Denpasar, Bali. Sehingga saya tidak berharap keluhan saya ini ditanggapi apalagi ditindaklanjuti oleh yang berwenang. Namun jika pengalaman seperti yang saya alami ini dialami oleh "saya-saya" yang lain, ada baiknya pengalaman tidak mengenakkan ini bisa ditindaklanjuti, sehingga menjadikan pintu-pintu masuk wilayah Indonesia menjadi lebih ramah kepada sesama warganegara Indonesia (baca: anak bangsa). Dan tidak ada lagi diskriminasi keramahan berdasarkan kewarganegaraan di mana pun di Indonesia di masa mendatang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AP
GI
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini