5 Peribahasa Jawa (Paribasan) Populer Disertai Maknanya

5 Peribahasa Jawa (Paribasan) Populer Disertai Maknanya
info gambar utama

Ada banyak teladan dalam hidup yang bisa menuntun manusia untuk melakukan sesuatu dengan lebih berhati-hati. Salah satu teladan yang masih sering digunakan adalah peribahasa. Biasanya banyak digunakan oleh orang Jawa yang memang terkenal kental akan peribahasa Jawa.

Menurut S. Prawiroatmodjo, peribahasa Jawa adalah sebuah ungkapan atau perumpamaan yang tidak memiliki arti sebenarnya. Kalimat yang ada di dalamnya berisi nasehat tersirat penuh makna, yang mengajarkan arti kehidupan menurut adat Jawa.

Dari bahasa Jawa, istilah ini disebut paribasan, dari kata pari yaitu 'padi' dan basa 'bahasa' yang mendapat akhiran -an. Makna paribasan adalah bahasa yang berputar-putar.

Karena terkenal akan filosofi kehidupan yang diwujudkan dalam peribahasa inilah banyak pepatah Jawa yang masih digunakan sampai sekarang. Bahkan beberapa diantaranya digunakan sebagai cara untuk muhasabah diri dan motivasi untuk menjalani kehidupan.

Selain itu menggunakan peribahasa Jawa, juga bisa dijadikan sarana pelestarian budaya asli Indonesia. Nah, supaya teman-teman dapat lebih mengenal dan memahami mengenai peribahasa Jawa. Berikut 5 kumpulan kata penuh makna dengan artinya yang bisa Kawan kutip:

1. Becik ketitik ala ketara

Artinya sederhana, yaitu setiap perbuatan baik pasti akan selalu dikenali, dan juga perbuatan buruk lambat laun juga akan terbongkar boroknya. Namun meskipun terkesan sederhana, peribahasa ini seperti mengingatkan kita bahwa sebagai seorang manusia selalu ada Tuhan yang mengawasi segala gerak-gerik kita.

Selain sebagai sebuah pengingat akan kehidupan, becik ketitik ala ketara juga merupakan alat untuk mengendalikan hawa nafsu manusia agar tidak berbuat keburukan. Karena setiap perbuatan baik, akan mendapat hal baik dan yang buruk, tentu akan mendapat ganjarannya.

Baca juga: Bergiat Menulis dalam Bahasa Jawa sebagai Upaya Melestarikannya

Budaya mencanting lambang kesabaran
info gambar

2. Nguyahi banyu segara

Artinya adalah melakukan hal yang sebenarnya sia-sia. Konteksnya cukup mudah dipahami, kenapa air laut yang memang sudah berasa asin masih perlu ditaburi garam? [Nguyahi banyu segara]

Falsafah kehidupan dalam peribahasa Jawa ini mengajarkan manusia untuk mencoba berhenti melakukan hal yang sebenarnya tidak akan membawa keuntungan atau memiliki arti.

Misalnya saja, Kawan sedang membuka bisnis kopi kekinian tapi target market yang Kawan sasar adalah ibu-ibu PKK. Tentu peluang mereka untuk membeli akan sangat kecil dibandingkan Kawan berjualan kepada mahasiswa di kampus.

Selain itu, ajaran ini juga bisa menjadi sebuah pedoman bagi manusia untuk fokus dalam menyusun sebuah rencana dalam kehidupan. Tidak terlalu banyak mencoba sehingga tidak banyak membuang waktu dan malah menyia-nyiakan kesempatan.

3. Witing tresna jalaran saka kulina

peribahasa Jawa
info gambar

Kalau ini pasti teman-teman semua sudah sering mendengarnya kan baik di film maupun cuplikan iklan? Artinya paribasan ini, semua cinta berasal dari kedekatan.

Peribahasa Jawa ini merupakan nasihat bagi perempuan maupun laki-laki untuk lebih berhati-hati dalam menjalin pertemanan. Karena sudah merupakan sikap alamiah manusia untuk mudah merasa nyaman dengan seseorang, lambat laun tentu bukan tidak mungkin benih-benih cinta akan muncul.

Mungkin bagi generasi terdahulu hal seperti ini tergolong lazim terjadi. Pernikahan biasanya berawal dari perjodohan kemudian karena seringnya bersama dalam rumah tangga. Keduanya bisa saling mencintai. Mungkin orang yang Kawan kenal juga ada yang begitu?

Baca juga: Boso Suroboyoan : Bahasa Jawa dengan Keunikan Jawa Timur

4. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan

Maksud peribahasa Jawa ini adalah tidak ada ikatan darah sebagai seorang saudara, tetapi jika ditinggal pergi [meninggal] pasti ada rasa sedih dan merasa kehilangan.

Dalam bukunya, sejarawan budaya Jawa Iman Budhi Santosa mengatakan bahwa ikatan persaudaraan yang dibangun oleh orang Jawa sangatlah baik. Semuanya dihargai layaknya sebuah keluarga, tanpa memandang siapa dan ada tidaknya hubungan darah.

Dengan begitu, seseorang dinilai bukan dari asal usulnya. Melainkan dari tidak tanduknya, bagaimana ia bersikap kepada manusia lainnya.

Contoh sederhananya saat berada di perkampungan daerah Jawa. Ketika orang itu baik dengan tetangga, maka apabila ada tasyakuran/pernikahan/lainnya pasti banyak yang akan membantu. Sebaliknya jika meninggal, pasti semua akan merasa kehilangan.

Baca juga: Serba-Serbi Jurusan Sastra Jawa yang Tidak Banyak Diketahui

5. Ngelmu iku kelakone kanthi laku

Peribahasa Jawa ini merupakan cuplikan dari Tembang Macapat Pocung dalam Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV.

Menurut pandangan Jawa, ketika seseorang sedang menuntut ilmu itu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan akademis. Tetapi juga merupakan proses penyatuan semua indera manusia untuk menyerap sebuah pengetahuan dan kemudian mengamalkannya.

Ketika belajar seseorang pasti kaya akan pengetahuan. Pengetahuan ini tidak hanya menjadi sebatas menjadi teori. Melainkan, harus diamalkan, dimanfaatkan dan disebarkan untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi sesama manusia.

Nah, itulah beberapa peribahasa Jawa yang syarat akan makna dan bisa Kawan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin ada beberapa yang memiliki pemaknaan berbeda, karena setiap individu bebas mengartikan setiap bait dari falsafah ini.

Tapi tetap, semua pesan yang terkandung di dalamnya memiliki nilai mendalam dan penuh dengan pelajaran hidup.

Baca juga: Siapa Sangka, 6 Negara Ini Gunakan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Sehari-hari

Sumber: dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Meita Astaningrum lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Meita Astaningrum.

MA
RP
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini