Sejarah Warkop Tertua di Indonesia, Bakoel Koffie dan Warung Tinggi

Sejarah Warkop Tertua di Indonesia, Bakoel Koffie dan Warung Tinggi
info gambar utama

Siapa yang suka nongkrong di warung kopi (warkop)? Warung kopi di Indonesia memang sudah merajalela. Tidak heran kalau Kawan setiap jalan pasti menemukan setidaknya satu warung kopi.

Tahukah Kawan? Sejarah warung kopi sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan, warung kopi sudah jadi idaman bagi kalangan pribumi dan warga asing. Salah satu warung kopi tertua di Indonesia adalah Bakoel Koffie dan Warung Tinggi.

Sebelum Bakoel Koffie dan Warung Tinggi

Toko Tek Soen
info gambar

Sebelum menggunakan Bakoel Koffie dan Warung Tinggi, usaha warkop ini dulunya adalah warung nasi. Warung nasi tersebut berdiri sejak tahun 1878 di Batavia (kini Jakarta). Warung nasi itu didirikan oleh seorang imigran dari Cina Selatan, Liauw Tek Soen dan istrinya yang berasal dari warga Indonesia.

Warung nasi tersebut berlokasi di Molenvliet Oost (Sekarang berubah nama, yakni Jalan Hayam Wuruk 56/57). Banyak orang yang mengenal warung nasi tersebut sebagai Warung Tinggi karena letak lokasinya yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya.

Saat awal berdiri, bangunan warung tersebut didoniminasi kayu jati. Luas tanahnya sekitar 500 meter yang terbagi beberapa bagian, seperti bagian depan untuk berjualan, bagian kanan untuk warung nasi, dan bagian kiri untuk toko kelontong. Warung nasi milik Liauw dan istrinya ini menghadap ke Sungai Ciliwung.

Lokasinya yang strategis membuat warung ini banyak dikunjungi penduduk, seperti para pengayuh becak dan warga yang beraktivitas di sekitar Sungai Ciliwung.

Ternyata, para pengunjung lebih menyukai sajian kopi daripada menu masakan yang dihidangkan di warung nasi milik Liauw. Sejak lama, Liauw Tek Soen membeli biji kopi dari seorang wanita yang membawanya dengan bakul. Selanjutnya, ia mengolah biji kopi tersebut dengan memanggangnya di atas kayu bakar.

Kemudian, barulah ia menyeduh dan menyajikannya kepada tamu. Usaha tersebut memiliki alasan, yakni ia melihat peluang usaha bahwa kopi adalah komoditas terbaik pada zaman Hindia Belanda.

Pada 1910, anak angkat Liauw Tek Soen bernama Liauw Tek Siong harus melanjutkan usaha keluarganya pada 1910. Diketahui, anak kandung Liauw Tek Soen memiliki keterbelakangan mental.

Baca juga:Warung Kopi dan Santapan Nusantara, Bentuk Kesuksesan Kuliner Indonesia di Swiss

Ekspansi Bisnis di Tangan Tek Siong

Pada awalnya, usaha kopi hanya menjadi sampingan di warung nasi milik Liauw Tek Soen. Barulah di tangan Liauw Tek Siong, kopi dijadikan bisnis utama. Pada 1927, Liauw Tek Siong mendirikan pabrik sederhana bernama Tek Soen Hoo Eerste Weltevredensche Koffiebranderij atau orang mengenalnya dengan Toko Tek Soen.

Pabrik pengolah kopi pertama tersebut berlokasi di Weltevreden (sekitar Sawah Besar, Jakarta Pusat). Di tangan Tek Siong, toko kopi tersebut melebar ke berbagai kalangan penduduk, seperti orang Tionghoa, Belanda, Arab, dan Jepang.

Pada 1930, Toko Tek Soen melakukan ekspor bubuk kopi pertama kali ke Belanda. Para pelanggan dapat memesan campuran biji robusta dan arabika (blend). Pada 1938, warung kopi tersebut merayakan ulang tahun ke-60. Di situlah metode memanggang biji kopi dengan rotating drum diterapkan olehnya.

Bahkan, di perayaan ulang tahun itu, para pengunjung diberikan sajian makanan lezat dan mereka boleh meminum kopi sebanyak yang mereka inginkan. Lalu, pada 1940, Toko Tek Soen mulai meracik kopi Luwak.

Baca juga:Kamu Penggemar Kopi? Ini Dia 7 Warung Kopi Legendaris Di Indonesia

Meredup pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia

Pada 1942, ketegangan antara Belanda dan Jepang dalam perang dunia ke-2 berdampak pada bisnis Toko Tek Soen. Untuk menghindari hal itu, Toko Tek Soen harus menutup bisnisnya selama berbulan-bulan.

Keluarga juga harus mengungsi ke Mega Mendung, Jawa Barat. Pada saat itu, Liauw Thian Djie (Putra Liauw Tek Siong) bersama istrinya harus berjualan kain keliling untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Setelah ketegangan itu mereda, Toko Tek Soen dibuka kembali. Namun, Toko Tek Soen harus meminjam kopi dari pengusaha lain. Setelah Indonesia merdeka, bisnis kopi itu diwariskan kepada Liauw Thian Djie.

Dengan ilmu kopi yang didapat dari sang ayah, Liauw Thian Djie hanya membeli kopi yang berkualitas. Biji kopi yang dibeli hanya berasal dari satu sumber di Pasar Pagi.

Pada 1950-an, bisnis kopinya berkembang pesat dengan membeli mesin-mesin pengolah kopi yang canggih. Bahkan, ia mengganti kemasan kopi dari kertas coklat menjadi alumunium foil (1972). Lalu, ekspor bubuk kopinya juga sudah melebar hingga ke Jepang dan Timur Tengah.

Setelah itu, Liauw Thian Djie mulai meracik kopi dengan mencampur beberapa jenis kopi. Ia berhasil meracik 5 jenis kopi yang menjadi andalan tokonya, yakni Rajabica, Arabica Special, Arabica Super, Arabica Extra, dan Robusta.

Baca juga:Kupi Khop Aceh, Menikmati Sensasi Minum Kopi di Gelas Terbalik

Berubah Nama Menjadi Warung Tinggi

Pada 1960-an, Toko Tek Soen berubah nama menjadi Warung Tinggi. Hal ini melihat dari mayoritas orang yang memanggil warung tersebut. Pada 1978, setelah Liauw Thian Djia meninggal dunia, Warung Tinggi dikelola oleh Rudy Wijaya bersama tiga saudaranya, yakni Darmawan, Suyanto, dan Yanti.

Pada tahun yang sama, Warung Tinggi menyelenggarakan perayaan ulang tahun ke-100 di Gelora Senayan, Jakarta Pusat. Pada 1994, Rudy membeli seluruh saham PT Warung Tinggi termasuk merek paten dan hak cipta dari saudara-saudaranya.

Selanjutnya, ia membeli rumah di Jalan Daan Mogot untuk gudang dan pabrik kopinya. Pada kerusuhan 1998, usaha Warung Tinggi, rumah, dan pabrik kopinya hancur. Bahkan, seluruh keluarganya harus mengungsi ke Singapura.

Setahun kemudian, ia membangun kembali Warung Tinggi pada 1999. Ia memindahkan pabrik kopi ke Tangerang.

Di sisi lain, pada 2001, anak Darmawan Wijaya, yakni Syenny dan Hendra Wijaya meneruskan usaha kopi milik keluarganya. Mereka memperkenalkan nama baru, yakni Bakoel Koffie. Selain itu, logo usahanya juga diperkenalkan dengan wanita berkain sarung membawa bakul bambu di kepalanya. Logo tersebut terinspirasi dari Liauw Tek Soen melalui kebiasaannya dalam membeli biji kopi dari seorang wanita yang membawa bakul.

Namun, logo tersebut berbeda dengan Warung Tinggi milik Rudy Wijaya.

Dua Warkop yang Terpisah

Warung Tinggi dan Bakoel Koffie adalah warung kopi yang terpisah, tetapi satu keluarga. Dua warkop tersebut tidak berniat untuk menyaingi satu sama lain. Rudy terus mengembangkan Warung Tinggi di Jalan Batu Jajar No.35 B, Hayam Wuruk. Sementara itu, Bakoel Koffie memiliki 5 cabang di kawasan Cikini, Senopati, Bintara, Kelapa Gading, dan Kuningan (2010).

Itulah sejarah dari warung kopi tertua di Indonesia, Bakoel Koffie dan Warung Tinggi. Apa yang bisa Kawan ambil dari cerita ini?

Referensi:historia.id| kompas.com|profilbaru.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini