Desa Kalumpang, Tanah yang Menyimpan Jejak Leluhur Nusantara

Desa Kalumpang, Tanah yang Menyimpan Jejak Leluhur Nusantara
info gambar utama

Kalumpang merupakan daerah yang berada di pelosok Sulawesi Barat. Tetapi dibalik kesunyiannya, tempat ini telah melintasi setiap zaman. Banyak kekayaan cerita tentang awal kehidupan nenek moyang Indonesia di tempat ini.

Berada di Minanga Sipakko, salah satu situs prasejarah peninggalan bangsa Austronesia terletak 2 km dari Desa Kalumpang. Selain itu ada juga situs Kamasi, sekitar 500 meter dari pusat Desa Kalumpang.

Kedua tempat ini biasa disebut situs Kalumpang. Di tempat ini ditemukan sejumlah pecahan tembikar yang berukuran kecil hingga sedang. Di kedua situs itu juga ditemukan berbagai peralatan batu, seperti beliung persegi, pisau, mata panah, mata tombak dan pemukul.

Kampung Galung, Permata Tersembunyi Desa Barania

Karena penemuan ini membuat Kalumpang menarik banyak perhatian arkeolog dunia. Penelitian pertama di tempat ini dilakukan oleh ilmuwan Belanda, Stein Callenfels, di Kamasi pada 1933, selanjutnya dilakukan oleh Heekeren pada 1949.

Peneliti Senior Pusat Arkeologi Nasional Profesor Truman Simanjuntak menyebutkan situs Kalumpang merupakan peninggalan Austronesia tertua di Nusantara dari jalur migrasi utara atau Taiwan.

“Hasil penanggalan di situs itu mencapai usia 3.800 tahun,” ujarnya yang dimuat dari Kompas.

Jejak leluhur

Truman lantas menyebutkan bahwa Kalumpang bisa menjadi titik penting untuk menelusuri leluhur langsung bangsa Indonesia dan kehidupan awal mereka. Misalnya dalam konteks penemuan tembikar, baginya Kalumpang merupakan situs terkaya di Asia Tenggara.

“Ada puluhan motif, hiasan, dan teknik pembuatan keramik yang ditemukan di Kalumpang,” lanjutnya.

Peter Bellwood dalam buku Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago yang terbit pada tahun 2007 meyakini bahwa peralatan batu dan motif tembikar dari situs Kalumpang sangat mirip dengan artefak neolitik di Taiwan.

Mengenal Darmawan Denassa, Pegiat Literasi Hayati dan Konservasi dari Gowa

Karena itulah hal ini menguatkan teori bahwa orang Austronesia bermigrasi dari Taiwan sekitar 5.000 tahun silam melintasi lautan menuju Filipina. Dari sana, mereka menyebar ke Sulawesi dan Kalimantan lalu ke seluruh Kepulauan Nusantara.

Bahasa Austronesia kemudian menjadi “moyang” dari sebagian besar bahasa yang digunakan di wilayah itu, termasuk Indonesia. Selain bahasa, peralatan batu, tembikar, orang Austronesia juga membawa budaya pertanian ke wilayah tersebut

Banyak penelitian arkeologis di Kalumpang tidak hanya memunculkan peninggalan purbakala yang bernilai tinggi. Tetapi juga menguatkan identitas masyarakat Kalumpang pada masa kini.

“Orang Kalumpang menemukan kembali identitasnya sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan leluhur dan tua di Sulawesi,” kata Arkeolog Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri.

Potensi besar

Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan menyatakan situs Kalumpang mempunyai karakter neolitik murni yang sangat sulit ditemukan di Indonesia. Tetapi penelitian selama ini belum bisa menjangkau semua potensi sebaran situs.

BPCB Makassar juga mencatat setidaknya terdapat delapan situs yang belum dieksplorasi maksimal di wilayah Kalumpang. Dikatakan oleh Rustam, bahwa kendala terbesar adalah wilayah Kalumpang yang luas, medan bergunung, dan dilintasi sungai.

“Sebagian besar lokasi di pedalaman juga tak bisa diakses dengan kendaraan bermotor karena ketiadaan infrastruktur jalan yang baik,” paparnya.

Kereta Api di Sulawesi Selatan Akhirnya Dijalankan, Simak Syaratnya untuk Mencoba Naik

Namun kelestarian situs arkeologi dan kehidupan masyarakat di Kalumpang mulai terancam. Hal ini setelah adanya rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sungai Karama.

Pembangunan PLTA yang bekerjasama dengan investor dari Tiongkok itu akan menenggelamkan belasan desa di Kecamatan Kalumpang dan Kecamatan Bonehau untuk kepentingan waduk.

Warga yang terancam direlokasi pun menolak. Mereka berdemonstrasi dan meminta agar keputusan itu dicabut. Bagi masyarakat, PLTA ini tidak hanya mencabut masyarakat dari kehidupan dan tanah adat, tetapi juga menghapus peninggalan prasejarah.

“Sampai kapanpun kami tak akan membiarkan itu terjadi,” ujar Ketua Adat Desa Tanah Lotong, Eli.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini