Kopiah Resam dari Bangka, Kerajinan yang Ramah Lingkungan

Kopiah Resam dari Bangka, Kerajinan yang Ramah Lingkungan
info gambar utama

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, topi bukan hanya sekadar pelindung kepala dari terik matahari, namun juga memiliki nilai budaya dan religius yang tinggi. Salah satu jenis topi yang memiliki keindahan dan makna tersendiri adalah kopiah resam.

Kopiah ini memanfaatkan bahan-bahan yang berasal dari alam untuk dijadikan langsung sebagai penutup kepala. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat kopiah resam memiliki keunikan dan keindahan tersendiri dalam segi tampilan dan nilai budayanya.

Mari kita ketahui lebih lanjut soal kopiah resam ini.

Kisah Muntok, Kota Kecil di Bangka dalam Perjuangan Kedaulatan Negara

Khas Bangka Belitung

Kopiah resam merupakan salah satu kekayaan budaya nusantara yang masih lestari hingga saat ini. Di provinsi Bangka Belitung, kopiah resam menjadi simbol kebanggaan masyarakat setempat dan menjadi salah satu ciri khas dari kebudayaan Bangka Belitung.

Untuk pembuatannya, kopiah ini menggunakan teknik anyaman dan dipakai oleh pria Bangka Belitung dalam acara-acara adat atau upacara keagamaan.

Kopiah resam memiliki bentuk yang unik dan bervariasi. Ada beberapa jenis kopiah resam di Bangka Belitung, seperti kopiah resam tanjung pandan, kopiah resam sungailiat, dan kopiah resam mentok.

Setiap jenis kopiah resam tersebut memiliki ciri khas tersendiri, mulai dari bentuk, warna, hingga teknik pembuatannya. Kopiah resam Bangka Belitung juga memiliki nilai sejarah yang sangat penting dan telah digunakan oleh masyarakat Bangka Belitung sejak zaman dahulu kala.

Di masa lalu, kopiah resam menjadi bagian dari pakaian kerajaan dan hanya digunakan oleh bangsawan atau orang yang memiliki jabatan tertentu.

Memaknai Filosofi Tongin Fangin Jit Jong dalam Toleransi Beragama di Bangka Belitung

Tradisi nenek moyang

Mengutip dari Indonesia.go.id, orang-orang di Bangka Belitung pada zaman dahulu memiliki tradisi memanfaatkan bahan dari alam untuk dijadikan songkok atau kopiah. Sejak tahun 2015, kopiah ini telah menjadi salah satu warisan budaya takbenda di provinsi berjuluk Serumpun Sebalai tersebut.

Penutup kepala yang biasa digunakan oleh kaum adam dalam acara adat seperti Sepintu Sedulang, Rebo Kasan, dan Nganggung di Indonesia terbuat dari daun resam (Dicranopteris linearis).

Daun resam ini juga digunakan sebagai bahan untuk membuat kerajinan tangan seperti anyaman atau tas. Selain itu, daun resam juga memiliki nilai ekonomi sebagai bahan pakan ternak atau sebagai bahan baku dalam produksi bioetanol.

Mencari tanaman resam yang digunakan untuk membuat kopiah tidaklah sulit, karena banyak ditemukan di hutan-hutan sekunder Bangka Barat, perkebunan sawit, atau di sekitar kebun warga.

Namun, hanya batang resam yang sudah tua yang dapat digunakan untuk membuat kopiah yang berkualitas, karena lebih kuat dan fleksibel dalam proses penganyaman. Proses pembuatan kopiah dari awal hingga selesai memakan waktu antara satu minggu hingga tiga bulan.

Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan kopiah tergantung pada tingkat kehalusan produk, semakin halus, maka harganya semakin mahal. Kopiah dengan tekstur kasar dapat dibuat dalam waktu paling lama satu minggu.

Dengan keahlian dan kreativitas penduduk desa yang terampil, resam diproses menjadi anyaman yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kopiah yang unik dan ramah lingkungan. Selain itu, anyaman resam juga dapat dikembangkan untuk dibuat menjadi cincin atau gelang.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini