Transformasi Kualitas Pendidikan Indonesia: Fokus Bukan Prestasi, Melainkan Mutu

Transformasi Kualitas Pendidikan Indonesia: Fokus Bukan Prestasi, Melainkan Mutu
info gambar utama

Berbicara tentang pendidikan, maka tidak bisa lepas dari sebuah pencapaian atau yang biasa disebut dengan “prestasi”. Prestasi menjadi indikator seseorang berpendidikan. Akan tetapi, menurut hemat saya, prestasi dan pembelajaran bukanlah hal yang sama, apalagi bila prestasi diukur dengan indikator yang sangat sempit sehingga sebagian besar energi dan sumber daya menjadi terlalu fokus untuk mencapai indikator tersebut.

Kisah menarik diceritakan Jason Kunin seorang guru asal Toronto (Kanada), ia mengatakan ketika Menteri Pendidikan Mitzie Hunter membual bahwa Ontario (sebuah kota) sekarang memiliki tingkat kelulusan sekolah menengah 86,5% tertinggi. Dalam sejarahnya, kebanyakan guru jika mereka memperhatikan capaian ini hanya memutar mata mereka sebab kelelahan dengan dorongan pada pendidikan yang berfokus pada "pencapaian".

Prestasi memang terdengar hebat dalam sebuah pendidikan. Guru dan murid mana yang tidak ingin siswa mencapainya? Namun, prestasi dan pembelajaran belum tentu sama, terutama bila prestasi diukur dengan rentang data yang sangat sempit. Data yang mencakup jumlah kredit yang diperoleh, tingkat kelulusan, dan nilai tes standar dalam keaksaraan dan matematika.

Seperti CEO perusahaan yang harus terus menunjukkan keuntungan setiap tahunnya. Maka, menurut saya, menteri pendidikan, praktisi pendidikan, kepala sekolah, guru dan siapa saja yang peduli dengan pendidikan ditantang untuk menemukan cara kreatif dalam membuat angka-angka ini meningkat tanpa mengeluarkan uang dan kecurangan.

Baca juga: Konsep Fundamentalisme dan Radikalisme: konservatif, progresif, atau destruktif?

Pembebasan Prioritas Utama

Paulo Freire adalah satu dari beberapa tokoh pendidikan dunia yang dikenal sebagai pembebas makna pendidikan. Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Hal ini yang perlu direnungkan segenap stakeholder pendidikan di negeri Indonesia.

Siswa bukanlah alat untuk pencapai tujuan atau target-target pemerintah. Siswa harusnya dijauhkan dari konsep-konsep yang materialistic. Sebagaimana yang dikemukakan Freire bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) dimana siswa diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda.

Singkatnya anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Para siswa tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswa. Maka, siswa pun diperlakukan sebagai bejana kosong yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya nanti.

Jadi, guru adalah subjek aktif, sedangkan siswa adalah objek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka sebagai objek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif, dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid yang wajib diingat dan dihapalkan. Dengan demikian, menurut Freire prestasi bukanlah tujuan dari sebuah pendidikan. Pertanyaaan selanjutnya bagaimana dengan tujuan pendidikan kita? Relevankah dengan pendapat Freire?

Arah Pendidikan Kita

Adapun Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 ialah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Dengan demikian, hakekat tujuannya ialah menjadi manusia. Tidak ada kata-kata prestasi disana. Maka mari kita renungi kembali tujuan pendidikan kita. Bukan prestasi tujuannya, prestasi hanyalah cikal bakal pertarungan tidak sehat dalam proses pendidikan.

Jangkan Prestasi, Mau Belajar Saja Masih Terkendala Hal Pokok Seperti Penerangan | Foto: Referensi Penulis
info gambar

Jadi mari kita perbaiki arah pendidikan kita dengan mengubah cara pandang terhadapnya. Dengan memindahkan titik fokus “prestasi” kepada titik focus “humanisasi”, agar bangsa ini meningkat kualitasnya, meningkat mutu pendidikannya karena dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan.

Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.

Baca juga: Konflik Israel Palestina Adalah Soal Perebutan Wilayah dan Kemanusiaan

Bukan Soal Prestasi

Prestasi bukanlah tolak ukur kesuksesan seseorang, melainkan hanya capaian sesaat yang kadang juga tak lama dampaknya. Ini perkara value dari pendidikan. Yang bertahan adalah siswa yang punya keahlian, punya kompetensi, punya akhlak, punya keyakinan dan keimanan. Oleh karena itu, mari kita mulai mengukur hasil pendidikan bukan dari prestasi, melainkan dari kompetensi, akhlak dan keimanan.

Referensi:
Freire, P. (2018). The banking concept of education. In Thinking about schools (pp. 117-127). Routledge.Kunin, J. (2005). Book Review: Legacy of Rage: Jewish Masculinity, Violence, and Culture. Men and Masculinities, 8(2), 237-239.
Safitri, A. O., Yunianti, V. D., & Rostika, D. (2022). Upaya peningkatan pendidikan berkualitas di Indonesia: Analisis pencapaian sustainable development goals (SDGs). Jurnal Basicedu, 6(4), 7096-7106.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MI
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini