Ancaman dan Bayang-Bayang Sifilis di Periode Akhir Kolonial Belanda

Ancaman dan Bayang-Bayang Sifilis di Periode Akhir Kolonial Belanda
info gambar utama

Hingga saat ini, asal usul penyakit sifilis masih misteri. Sumber sejarah tertua dan terpercaya mengabarkan wabah sifilis di Naples pada 1494-1495 M. Dalam puisi Heksameter Dactylic, dokter Girolamo Francastoro memperkenalkan istilah sifilis untuk penyakit kelamin menular ini.

Dikenal sebagai Great Pox (cacar hebat), orang-orang Italia masih asing dengan wabah sifilis. Maka, penyakit sifilis disebut pula dengan French Disease, karena dipercaya dibawa tentara Perancis saat menginvasi Italia.

Historiografi Eropa menganggap sifilis sebagai penyakit impor. Historiografi Eropa mengaitkan penyakit sifilis dengan dugaan banyak awak kapal Colombus telah terinfeksi.

Historiografi Nusantara pun mencatat penyakit sifilis hadir dalam cerita gaya hidup keluarga istana. Literatur Melayu menyebut sifilis sebagai penyakit raja singa. Sultan Iskandar Muda dan Raja Brawijaya diyakini hampir meninggal dunia karena penyakit sifilis.

Di era kolonial Belanda, penyakit sifilis mulai tercatat dalam kisah-kisah orang biasa, seiring sejalan dengan kemunculan prostitusi. Kawasan Macao Po di Batavia menjadi prostitusi kelas rendahan pada abad ke-17. Pelacur yang terinfeksi sifilis atau telah berumur dari kawasan Macao Po dibuang ke Gang Mangga.

Data rumah sakit di Batavia pada tahun 1902 hingga 1912 mengungkapkan, sebesar 13,11% orang China, 6,5% Eropa, dan 5,47% pribumi terinfeksi sifilis. Pada tahun 1914, penyakit sifilis menyerang pejabat Eropa tertinggi setelah penyakit malaria dan catat mental. Data rumah sakit di Bandung pada tahun 1867 menyebut, dari 841 pasien, sebanyak 800 di antaranya pasien penyakit sifilis.

Kawasan prostitusi pertama di Bandung berada di Margawati gang Corde. Dalam bayang-bayang penyakit sifilis, sekitar tahun 1890-an, prostitusi khusus orang Belanda dan bangsawan pribumi mulai dapat ditemukan. Pada tahun 1912, marak prostitusi ilegal yang biasanya banyak menyuguhkan pelacur pengidap penyakit sifilis.

Untuk perbandingan dengan kota kecil, pada tahun 1902, Probolinggo, tercatat ada 68 pelacur legal. Sementara itu, Purwokerto memulangkan 68 pelacur ke kampung halamannya setelah menutup 32 rumah bordil pada tahun 1929.

Lain kota wisata di Hindia Belanda, lain ceritanya. Di Malang, prostitusi diperkirakan telah ada sejak abad ke-19. Namun, adanya rumah bordil, kelab malam, hotel, warung remang-remang, dan lokalisasi disebut secara jelas sejak 1915.

Misalnya, di kampung Kabalen, kampung Kayutangan, Kidul Pasar, Kotalama, Klojen Lor, hingga Tumenggungan. Para pelacur bisa mencari pelanggan dari warung, jembatan kereta api, hingga kantin militer.

Prostitusi juga ramai di dekat pelabuhan. Kota pelabuhan, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya kerap menyajikan pelacur muda dan wanita beristri. Bahkan, pada pertengahan abad ke-19, prostitusi memperoleh izin beroperasi di atas kapal angkatan laut agar marinir tidak berkeliaran ke kota. Pelacur bersiap menjemput pelanggan dengan menaiki perahu kecil yang terparkir di tepi pelabuhan. Mereka akan menyerbu kapal dagang dan kapal angkatan laut yang melepaskan jangkar.

Wabah Penyakit yang Lahirkan Kebangkitan Nasional di Hindia Belanda
Serdadu Belanda berpose dengan wanita-wanita pribumi
info gambar

Ada anekdot umum dari marinir tua yang menggambarkan pentingnya memelihara pelacuran di pelabuhan, ‘bagi pikbroeken (pelaut-pelaut muda) yang belum terbiasa dengan suasana penuh ketegangan, tiada obat yang lebih mujarab selain sesekali melampiaskannya pada kemaluan perempuan.

Seorang ahli dermatologi Batavia, R. D. G. Ph Simons mengaku menyaksikan adanya kelab malam dan warung-warung kopi yang menawarkan jasa prostitusi di daerah sekitar pelabuhan Tanjung Perak pada tahun 1939. Marinir dari Pangkalan Laut Surabaya yang berkunjung disapa pelacur di pintu masuk, kemudian ditawari minuman keras dan diajak berkencan hingga pagi.

Memasuki kota Surabaya, dapat ditemukan prostitusi jalanan dari kampung penggiran kota, hingga rumah-rumah bordil orang Jepang dan China. Aneka pelayanan ditawarkan. Dari pelayanan pelacur Belanda atau wanita pribumi, hingga homoseksual dan waria dengan prostitusi yang lebih terorganisir.

Bordir bernuansa warga Timur Asing umumnya memperkerjakan gadis-gadis impor. Rumah bordil China memperkerjakan gadis-gadis yang berusia matang hingga di bawah umur (escort lady) dari negeri asalnya. Kamar-kamar terpisah dengan pengelola yang menyamar sebagai penjaga rumah bordir untuk mengelabuhi polisi.

Rumah bordir Jepang juga tidak kalah memikat pria hidung belang. Pelacur asal negeri Sakura atau Karayuki-san mengundang ‘pria hidung putih’ yang mendambakan fantasi bercinta dengan wanita berbudaya ketimuran. Karayuki-san masuk ke Hindia Belanda sejak 1885. Sebesar 48% orang Jepang di Hindia Belanda pada tahun 1896 terdaftar sebagai karayuki-san.

Untuk pelacur pribumi, gadis desa yang polos disulap menjadi wanita penghibur, biasanya untuk kalangan pekerja migran. Jam istirahat antara siang dan malam dengan durasi cukup panjang biasanya digunakan buruh pelabuhan atau pabrik untuk beristirahat di warung-warung kopi yang merangkap sebagai rumah bordil sekaligus kelap malam.

Nuansa prostitusi jalanan di pinggiran kota melebur dengan perkampungan kumuh padat penduduk yang bisa digusur karena tiada perlindungan hukum. Di era kolonial Belanda, kepentingan golongan Eropa sangat diutamakan. Maka, pembangunan pemukiman Eropa bakal mengorbankan kawasan pribumi yang mulai diperhatikan karena terbukti menganggu ketentraman.

Sejak penyakit pes menghantam pemukiman Eropa, kampung-kampung pribumi yang kumuh dan kotor dianggap sebagai biang keladi sumber segala penyakit. Dari kolera, cacing tambang, skrofula, mental lemah, malaria, tuberkolusis, desentri, scabies, beri-beri, cacar, sifilis, hingga beragam penyakit kelamin lainnya, dikhawatirkan juga bakal menyebar ke pemukiman Eropa.

Wabah Kolera: Ketika Buruknya Kualitas Air Ciliwung Bawa Bencana di Batavia

Penyakit Sifilis di Periode Akhir Kolonial Belanda

Ruang poli klinik sekolah pendidikan dokter Jawa di Surabaya, Nederlandsch Indische Artsen School atau NIAS sekitar tahun 1922-1923, menerima 3.813 pasien penyakit kelamin sekaligus masalah kulit dan 13.087 orang yang ingin berkonsultasi terkait itu. NIAS menampung 10.475 pasien penyakit kelamin dan 60.497 orang yang ingin berkonsultasi.

Sekitar tahun 1922-1923, ruang poli klinik sekolah pendidikan dokter Jawa di Batavia, School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA, juga menampung 522 orang Eropa pengidap penyakit kelamin, 6.234 pasien pribumi, dan 1.986 dari orang Timur Asing. Bahkan, dari total 8.772 pasien, sebanyak 1.778 diantaranya merupakan pengidap penyakit kelamin sekaligus masalah kulit.

Berdasarkan laporan Jaarverslag van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-India Over 1924, data statistik-demografis penyakit kelamin di Hindia Belanda mencapai 12,1% dari total keseluruhan. Penyakit kelamin hanya kalah dengan malaria yang memang sudah lama menjadi momok asli lingkungan Timur beriklim tropis.

Rinciannya, sebanyak 826 penderita penyakit kelamin di Hindia Belanda pada tahun 1919. Kemudian, sebanyak 603 pasien pada tahun 1920; 724 pasien pada tahun 1921; 594 pasien pada tahun 1923; dan 580 pasien pada tahun 1924.

Namun, dari segi tingkat kematian, penyakit kelamin menewaskan 3% dari total kasus secara keseluruhan. Tingkat kematian akibat penyakit kelamin tergolong sedang. Sepanjang tahun 1912 hingga 1923, tingkat kematian kasar pasien Eropa di Surabaya mengalami kenaikan.

Jika dibandingkan dengan kota Batavia, Bogor, Bandung, dan Semarang, tingkat kematian kasar pasien Eropa di Surabaya terkesan stabil dan tidak mengalami fluktuasi yang signifikan. Rinciannya, tingkat kematian kasar pasien Eropa di Surabaya pada 1912-1921 sebesar 18%; 12,6% pada tahun 1922; serta 13% pada tahun 1923.

Jumlah penderita penyakit sifilis di Surabaya meningkat tajam mengingat lonjakan penduduk Eropa di Surabaya pada awal abad ke-20. Surabaya sebagai kota pelabuhan dengan aktivitas ekonomi paling bergeliat di Hindia saat itu, perlahan membentuk budaya perkotaan. Wabah penyakit sifilis merupakan bagian dari kompleksitas perilaku seksualitas masyarakat urban dan kerumitan masalah prostitusi.

Jejak Peradaban yang Tersisa dalam Pemukiman Kuno di Pulau Tanimbar

Jika ditilik lebih jauh, tingkat kematian karena penyakit kelamin berbanding terbalik dengan jumlah penderita yang masih menjalani proses perawatan. Sebesar 11,5% dari total keseluruhan pasien di berbagai rumah sakit di Hindia Belanda, positif mengidap penyakit kelamin. Jumlah penderita penyakit kelamin dalam perawatan menempati posisi tertinggi ketiga setelah penyakit kulit atau 16,8% dan pasien akibat masalah sosial lainnya, seperti kecelakaan.

Bagi pengidap penyakit sifilis, rumah sakit adalah tempat perawatan sekaligus pengasingan. Arsip kolonial Belanda terus terang menyebut demikian. Praktik pengasingan untuk menghindari segala bentuk penularan dan mempertahankan ruangan steril justru menambah beban psikologis pasien. Jumlah pengidap penyakit sifilis yang sedang dirawat ataupun sudah dinyatakan sembuh di Surabaya ternyata lebih besar daripada total keseluruhan pengidap penyakit kelamin jenis lain.

Dari segi etnis, sebanyak 431 laki-laki dan satu perempuan pribumi terinfeksi penyakit kelamin pada tahun 1923. Untuk orang Eropa, sebanyak 154 laki-laki dan delapan perempuan yang terinfeksi penyakit kelamin. Sementara itu, data tahun 1924 mengungkapkan, sebanyak 441 laki-laki dan satu orang perempuan pribumi terinfeksi penyakit kelamin. Untuk orang Eropa, sebanyak 130 laki-laki dan delapan perempuan terinfeksi penyakit kelamin.

Tingginya laki-laki yang terinfeksi penyakit kelamin disebabkan karena pencegahan penularan hanya diterapkan untuk pelacur yang terdaftar. Data perempuan terinfeksi penyakit kelamin juga menjelaskan adanya dikotomi resmi dan ilegal dalam industri prostitusi. Dugaan lain, perempuan terinfeksi penyakit kelamin berasal dari istri para hidung belang yang menyewa pelacur ilegal.

Dalam setiap data dalam arsip kolonial, sifilis kerap dimasukkan dalam sub khusus data penyakit kelamin. Secara spesifik, sifilis menginfeksi 1,1% dari total kasus secara keseluruhan. Dari segi etnis, sebanyak 178 laki-laki pribumi terinfeksi penyakit sifilis pada tahun 1923.

Untuk orang Eropa, sebanyak 62 laki-laki dan dua perempuan yang terinfeksi penyakit sifilis. Sementara itu, data tahun 1924 mengungkapkan, sebanyak 180 laki-laki dan satu orang perempuan pribumi terinfeksi penyakit sifilis. Untuk orang Eropa, sebanyak 63 laki-laki terinfeksi penyakit sifilis.

Sepanjang tahun 1923 hingga 1924, terlihat ada peningkatan jumlah pasien penyakit sifilis yang relatif kecil. Namun, juga ada puluhan pasien pengidap penyakit kelamin yang dinyatakan sembuh. Di ranah penyakit kelamin, jumlah penderita yang keluar dan masuk rumah sakit tidak sama.

Jumlah penderita baru lebih banyak daripada yang dinyatakan sembuh atau meninggal dunia. Disebutkan pula, penderita penyakit kelamin mayoritas laki-laki, sehingga mematahkan anggapan saat itu, bahwa hal ini merupakan masalah umum wanita.

Referensi:

Arsip Nasional Republik Indonesia. 2001. Pemberantasan Prostitusi Di Indonesia Masa Kolonial. Penerbitan Naskah Sumber. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Hydrick, John Lee, Intensief Hygiene Werk van den Dienst Der Volksgezondheid in Nederlandsch Indie door.

Jaarverslag van den Burgerlijken Geeneskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie Over 1924

Het Nieuws van den dag voorNederlandsch-Indie, 12 Oktober 1909.

Leeuwarder Courant, 23 Juli 1910.

Het Nieuws van den Dag voor Nederlands-Indie, 25 September 1929.

Het Nieuws van den Dag voor Nederlands-Indie, 6 September 1929.

Oostindie, Gert, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950; Kesaksian Perang Pada Sisi yang Salah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini