Berefleksi dan Berdoa Lewat Tradisi Malam Selikuran di Gunung Sumbing

Berefleksi dan Berdoa Lewat Tradisi Malam Selikuran di Gunung Sumbing
info gambar utama

Apakah Kawan pernah mendengar tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing? Gunung Sumbing adalah sebuah gunung yang berada di perbatasan Temanggung dan Wonosobo.

Setiap memasuki hari ke dua puluh satu atau selikur di bulan Ramadhan, diadakan sebuah tradisi turun temurun yang cukup populer, yaitu tradisi malam selikuran. Tradisi malam selikuran diadakan sebagai bentuk syukur dari masyarakat lereng Gunung Sumbing atas berkat dari Tuhan dan alam semesta dengan berefleksi, berdoa, dan berziarah ke makam Ki Ageng Makukuhan.

Di puncak Gunung Sumbing terdapat sebuah kompleks petilasan atau makam yang dipercaya sebagai makam dari Ki Ageng Makukuhan. Ki Ageng Makukuhan adalah seorang murid dari Sunan Kalijaga yang berperan dalam penyebaran agama Islam di sekitar lereng Gunung Sumbing.

Setiap malam selikur di bulan Ramadhan, banyak masyarakat yang mengunjungi kompleks petilasan atau makam yang dipercaya sebagai makam dari Ki Ageng Makukuhan tersebut. Mereka berkunjung untuk berefleksi dan berdoa sebagai wujud syukur dan agar lebih dekat dengan Tuhan.

Untuk mencapai kompleks petilasan atau makam yang dipercaya sebagai makam dari Ki Ageng Makukuhan, dibutuhkan pendakian menuju puncak Gunung Sumbing selama 5 hingga 8 jam, tergantung jalur pendakian mana yang dipilih. Terdapat beberapa jalur pendakian yang dapat dipilih, seperti Mangli, Butuh, Lamuk, Cepit, dan sebagainya.

Siapa pun dapat terlibat dalam tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing. Tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam pelaksanaannya.

Gunung Arjuna, Menjulang Tinggi Lambang Kerendahan Hati

Antusiasme Masyarakat Lokal Hingga Masyarakat Luar Daerah

Seiring berjalannya waktu, tradisi malam selikuran tidak hanya diikuti oleh masyarakat sekitar lereng Gunung Sumbing, tetapi juga diikuti oleh para pendaki yang berasal dari luar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat antusiasme yang besar dari masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing.

Tradisi malam selikuran menjadi salah satu daya tarik wisata warisan budaya dari Gunung Sumbing. Banyak pendaki dari luar daerah yang penasaran dengan salah satu aktivitas budaya tersebut.

Tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing melibatkan banyak pihak dari berbagai elemen, seperti masyarakat lereng Gunung Sumbing, pengelola basecamp pendakian Gunung Sumbing, Polres Temanggung, BPBD Temanggung, PMI, relawan, serta para pendaki yang berasal dari luar daerah. Keterlibatan dari banyak pihak senantiasa mendorong kelancaran dan terjaganya tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing.

Tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing membawa berkat bagi masyarakat lokal maupun masyarakat luar daerah. Semangat gotong royong membuat seluruh elemen masyarakat bersedia untuk terlibat dan melestarikan tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing.

Ribuan Obor yang Mengiring

Dilansir dari Mojok, terdapat 1.000 obor yang dipasang di sepanjang jalur pendakian Pagergunung. 1.000 obor ini terpasang dari basecamp hingga batas pos motor pendaki.

1.000 obor ini ditancapkan di sisi kanan dan kiri jalur pendakian yang menyala sepanjang malam hingga pagi. 1.000 obor ini berfungsi sebagai penerang jalan agar diberikan jalan yang benar dan terang. Sebagai simbol dari penerang, obor yang ditancapkan di sepanjang jalur pendakian memiliki sebuah cerita filosofis. Dahulu diceritakan bahwa saat Nabi Muhammad turun dari Jabal Nur di malam selikur bulan Ramadhan, suasananya gelap gulita.

Sehingga, para sahabat yang berjalan bersama Nabi Muhammad menyalakan obor sebagai penerang jalan. 1.000 obor yang ditancapkan di sepanjang jalur pendakian memiliki tujuan agar para pendaki mendapatkan pencerahan pada malam selikur bulan Ramadhan di puncak Gunung Sumbing.

Memahami No Fly Zones, Zona Larang Lintas Pesawat Terbang

Nilai-Nilai Spiritualitas yang Tak Lekang Oleh Waktu

Tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing dipercaya oleh masyarakat lereng sekitar lereng Gunung Sumbing sebagai malam yang penuh berkat. Masyarakat sekitar lereng Gunung Sumbing juga percaya bahwa sejak malam selikur hingga sepuluh hari terakhir menuju lebaran, diyakini sebagai turunnya Lailatul Qadar.

Sehingga, banyak masyarakat yang melakukan pendakian ke puncak Gunung Sumbing untuk berziarah ke kompleks petilasan atau makam yang dipercaya sebagai makam dari Ki Ageng Makukuhan. Masyarakat berdoa dan memohon berkat dengan suasana yang sunyi di puncak Gunung Sumbing.

Tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing memiliki nilai-nilai spiritualitas yang sangat kental. Tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing senantiasa mengingatkan kita akan kehadiran Tuhan melalui alam semesta dengan berdoa, berefleksi, dan berziarah.

Nilai-nilai spiritualitas tersebut tidak lekang oleh waktu, bahkan semakin berkembang dengan adanya antusiasme yang besar dari berbagai elemen masyarakat. Jadi, apakah Kawan tertarik untuk ikut ambil peran dalam tradisi malam selikuran di Gunung Sumbing ini?

Referensi:

https://mojok.co/liputan/1-000-oncor-malam-selikuran-di-lereng-gunung-sumbing/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini