Menyusuri Masjid-Masjid Tua yang Bertahan di Jakarta

Menyusuri Masjid-Masjid Tua yang Bertahan di Jakarta
info gambar utama

Bicara soal Jakarta tentunya tak akan lepas dari keberadaan masjid yang menjadi tempat keseharian masyarakat Jakarta khususnya para muslim untuk menunaikan kewajibannya. Tak bisa dipungkiri, masjid dan Jakarta merupakan dua hal yang tidak pernah bisa dipisahkan karena masjid sendiri berperan penting dalam perkembangan Jakarta.

Kita dapat menyusuri jejak masjid awal di Jakarta seperti Masjid Al Alam Cilincing yang dalam buku Akulturasi Arsitektur Masjid-masjid Tua di Jakarta karya Ashadi (2018) diperkirakan sudah berdiri lebih dari 450 tahun. Hal ini jelas mematahkan sejarawan Adolf Heuken SJ yang mengatakan dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta (2003) bahwa sebelum abad ke-17, belum ada masjid di Jakarta.

Tidak hanya kawasan pesisir sebagai pintu gerbang kota, jejak masjid-masjid awal dapat ditemukan juga di pusat kota Jakarta modern yaitu di sekitaran Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Jika kita menginginkan suatu perjalanan atau sebut saja pelancongan religius dalam satu hari, kita dapat mengunjungi Masjid Hidayatullah Kuningan, Jakarta Selatan dan Masjid Al Makmur Cikini, Jakarta Pusat. Keduanya menarik untuk disusuri cerita tentang awal mula keberadaannya.

Sosok Hakim Belanda dengan Lukisan Wajah Pangeran Diponegoro yang Abadi

Masjid Hidayatullah, Bertahan dari Kepungan Beton Tinggi

Jika kita berjalan mendekati ujung dari Jalan Satrio, tentu kita menemui Menara Sampoerna yang amat megah disertai kafe kecil di depannya. Di balik itu terdapat bangunan tua bersejarah yang unik. Ialah Masjid Hidayatullah, salah satu masjid yang masih bertahan di antara menjulangnya gedung perkantoran di kawasan tersebut.

Masjid Hidayatullah sendiri merupakan salah satu masjid awal di Jakarta. Keberadaannya di sana tak terlepas dari perjuangan untuk bertahan sebagai sebuah masjid yang tetap eksis di kala pembangunan kota berlangsung dengan gencar. Maka dari itu, Masjid Hidayatullah sangat cocok dijadikan tujuan dalam sebuah pelancongan religius khususnya bagi para pelancong muslim yang penasaran dengan cerita di balik usia masjid yang sudah sangat tua.

Masjid Hidayatullah sendiri diperkirakan berdiri sekitar tahun 1747, perkiraan ini didapati dari keberadaan lantai yang memiliki catatan tanggal pembangunan masjid. Di lantai itu tertera tanggal, bulan dan tahun pembangunan masjid, yaitu 2 Februari 1747. Oleh Dinas Purbakala (Kini bernama Balai Pelestarian Cagar Budaya), catatan itu dijadikan patokan usia masjid hingga kini.

"Masjid ini menurut penelitian Dinas Purbakala saat itu diperkirakan berdiri pada tanggal 2 bulan 2 tahun 1747. Dari Mana hal itu? kita bisa ketahui dari bentuk ubin di bagian masjid bagian awal,” jelas Tohir, Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Hidayatullah, ditemui dt tempat.

Di dalam masjid, juga ada bukti catatan tentang riwayat pemugaran masjid yang sudah berlangsung dua kali sejak masjid pertama didirikan. Catatan tersebut berasal dari mimbar masjid yang hingga hari ini tetap bertahan kokoh. Kekokohan mimbar ini diperkirakan karena material yang digunakan mimbar ini merupakan kayu jati asli.

"Bisa kita lihat di belakang mimbar, itu ada tulisan kaligrafi bahasa arab melayu. Disitu tertulis bahwa masjid ini dipugar pertama kali pada tanggal 2 bulan 2 tahun 1928 lalu dipugar lagi tanggal 2 bulan 2 tahun 1948,” ujar Tohir.

Selain itu, kita juga dapat mendalami kisah bagaimana Masjid Hidayatullah ini bertahan diantara gencarnya pembangunan. Menurut Tohir, selama ia aktif menjadi DKM Masjid Hidayatullah, seringkali ia mendapat tawaran untuk membebaskan Masjid Hidayatullah guna pembangunan gedung perkantoran.

Padahal, menurutnya Masjid Hidayatullah sudah berkorban banyak guna kemajuan dan pembangunan, contohnya adalah pembebasan tanah masjid untuk pelebaran Kali Krukut.

"Dulu ada 3000 meter, sekarang mah sisa 1000 meter. Kita dulu berkorban untuk pelebaran kali krukut. Dulu kalo kita (Pengurus) khilaf ini masjid udah jadi gedung,” ujar Tohir.

Namun, saat ini Masjid Hidayatullah sudah menjadi situs Cagar Budaya yang membuatnya aman dari ancaman pembangunan gedung perkantoran.

"Kita mengajukan masjid ini agar jadi Cagar Budaya tahun 1997 dan syukurnya di tahun 2000-an kita sudah jadi Cagar Budaya,” jelas Tohir.

Keunikan Masjid Hidayatullah sendiri terdapat dari arsitektur multikultural yang ia miliki, terdapat tiga kebudayaan yang diadopsi dari teologi Islam, Cina dan Hindu dalam arsitektur masjid ini.

"Dahulu kerukunan di sini bagus, itu mengapa di sini ada perpaduan 3 budaya, Islam, Cina dan Hindu. Di bangunan induk masjid ada 3 budaya, di mimbar tempat khotib itu ada 3 budaya. Makannya ada bentuk candi di atas mimbar, ada juga ukiran bunga kamboja,” tambahnya lagi.

Menurut Rayhan Biadila, sejarawan Jakarta sekaligus pendiri komunitas sejarah Ngopi Jakarta (Ngojak), dahulunya di wilayah sekitar masjid merupakan wilayah dengan mayoritas Tionghoa. Hal inilah yang pada akhirnya mempengaruhi gaya bangunan masjid.

"Dulu ada komunitas Tionghoa di sana, yang memiliki bernama Tieng Sin. Itu daerah partikelir, perkebunannya karet. Memang di sana Muslimnya awalnya masih jarang dibanding Tionghoanya. Untuk arsitektur yang sekarang itu arsitektur hasil pemugaran pertama. Ini kuat nuansa Tionghoanya,” jelas Rayhan.

Markas Besar Oelama, Tempat Ulama Susun Strategi untuk Perang 10 November

Al-Makmur Cikini, dari Pindah dan Bertahan

Selain kawasan Kuningan, kita juga dapat melancong ke kawasan Cikini dan menyambangi Masjid Al-Makmur jika ingin mengetahui jejak masjid yang memiliki kisah bertahan dari pembangunan kota. Bagi kita mungkin Cikini erat kaitannya dengan rumah pelukis ternama, Raden Saleh, namun apakah kita sudah mengetahui bahwa Raden Saleh seorang Alawiyin?

Kisah Al-Makmur berawal dari tanah Habib Abdurrahman yang didapat dari sepupunya, Raden Saleh yang ia ubah menjadi sebuah mushola. Namun, sekitar tahun 1930 ketika Raden Saleh sudah tiada, tanah itu dibeli oleh sebuah yayasan Protestan guna diubah menjadi sebuah rumah sakit yang menyebabkan mushola Al-Makmur kala itu harus dipindahkan.

"Nah, tanah Raden Saleh itu kan dibeli rumah sakit Protestan, mushola itu akhirnya berpindah ke pinggir kali (tempat sekarang) sekitar 1930,” jelas Rayhan.

Walau kala itu status Al-Makmur belum menjadi masjid melainkan sebagai mushola, hal ini sempat menjadi polemik persengketaan lahan karena ketika mushola Al-Makmur sudah dipindahkan ke sekitar pinggir kali (posisi saat ini), pihak rumah sakit tetap ingin keberadaan mushola berpindah lebih jauh lagi.

Polemik ini sampai ke dalam pembahasan Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda) dan di kawal oleh Sarekat Islam saat itu. Hasilnya adalah kemenangan bagi mushola yang tetap dapat menempati tempatnya. Sejak itu dibangunlah struktur bangunan yang menjadi masjid hingga hari ini.

“Sempat terjadi polemik antara rumah sakit dan mushola, bahkan sampai ke telinga Volksraad khususnya Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto, polemik ini akhirnya dikawal dan menang. Makannya di depan masjid sekarang ada simbol Sarekat Islam," jelas Rayhan.

Iduladha 1932 tak Libur, Warga Bandung Marah kepada Pemerintah Kompeni

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini