Menikmati Secuil Kesejahteraan dari Kemegahan Candi Borobudur

Menikmati Secuil Kesejahteraan dari Kemegahan Candi Borobudur
info gambar utama

Keberadaan Borobudur layaknya aliran sungai yang memberikan potensi daya cipta manusia di sekelilingnya. Di tengah gempita wisata, komunitas di sekitar Borobudur terus berkarya dan memupuk inisiatif kemandirian.

Hal ini bisa dilihat dari Jauhari (48), warga Desa Ringinputih, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang kian mantap membuat gula kelapa. Biasanya dirinya menjual Rp8.500 - Rp10.000.

Hal yang sama dialami oleh 46 perajin gula kelapa di Ringinputih lainnya yang tergabung dalam klaster usaha gula semut, Ngudi Utomo. Kelompok ini bahkan berhasil membawa gula kelapa produksinya tembus pasar Amerika Serikat.

Pengunjung Meningkat Signifikan, Candi Borobudur Masih Jadi Primadona saat Liburan Sekolah

Hal ini bermula dari sekolah lapangan perajin bersama 116 warga Borobudur lainnya yang diadakan Warung Info Borobudur pada 2009 lalu. Dari sekolah lapangan itu, mereka belajar cara bertani, membuat gula, hingga konservasi lingkungan.

“Kami belajar dari petani di desa lain bersama-sama, atau perajin gula lain. Khusus gula kelapa, kami belajar dari warga Desa Widaran, gula kelapa setelah mempraktekkan sendiri, gula semut kualitasnya dianggap lebih bagus sehingga layak ekspor,” kata Sugeng, Ketua Klaster Gula Semut Ngudi Utomo yang dimuat Kompas.

Muncul di tengah keprihatinan

Candi Borobudur/Shutterstock
info gambar

Gagasan mengenai sekolah lapangan itu bermula dari keprihatinan kian terdegradasinya ekonomi masyarakat di sekitar Borobudur. Lahan pertanian kian sulit diusahakan karena banyak sumber irigasi mengering akibat wisata Candi Borobudur.

Padahal Kecamatan Borobudur awalnya dikenal sebagai daerah pertanian yang subur dan makmur karena banyak saluran irigasi peninggalan Belanda. Banyak petani kemudian beralih menjadi pemandu wisata.

Memaknai Relief Fauna yang Temani Buddha dalam Pahatan Candi Borobudur

“Ada yang menjadi pedagang asongan, penyemir sepatu, tukang parkir, dan ada pula yang menjadi pedagang di kios,” jelasnya.

Karena itu tak heran pada 1990-an, jumlah pedagang itu hanya 1.150 orang, tetapi pada tahun 2013 sudah mencapai 3.700 orang. Karena itu, lokasi wisata kemudian menjadi kian penuh sesak para pedagang.

Potensi ekonomi

Borobudur/Shutterstock
info gambar

Selain gula kelapa, kawasan Borobudur ternyata menyimpan potensi pengembangan ekonomi yang sangat tinggi. Misalnya di Desa Kebonsari yang memiliki kerajinan pensil bambu dengan 10 perajin aktif di sana.

Selain itu, ada pula perajin alat-alat rumah tangga dari bambu. Kerajinan bambu di sana pun sudah turun-temurun. Namun, belum ada perhatian dari pemerintah untuk pengembangan dan pemasarannya.

BOB Downhill Competition Turut Gerakkan Ekonomi Masyarakat Sekitar Borobudur

“Kalau wisata sudah menyebar ke desa, jumlah asongan yang membuat Borobudur semrawut bisa dikurangi,” ungkap Benny Sobirin pegiat usah.

Selain itu, ada juga Desa Wanurejo yang memiliki usaha kerajinan bambu untuk tirai. Usaha ini sudah menembus pasar internasional. Sebagian perajin mencoba memasarkan produksi mereka ke lokasi wisata, tetapi kalah bersaing dengan produk dari luar daerah.

“Tapi itu, tak membuat usaha-usaha tersebut surut. Mereka tetap bertahan dengan mencari pasar yang lain,” kata Umaidah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini