Pergulatan Dunia Kreatif Seorang TikToker

Pergulatan Dunia Kreatif Seorang TikToker
info gambar utama

Bukan dari Negeri Paman Sam, aplikasi yang telah digandrungi oleh lebih dari 15 juta pengguna ini justru lahir di Negara Tirai Bambu, belahan dunia yang bahkan dahulu tidak dipandang mampu menandingi nama besar Silicon Valley. Perjalanan dalam memenangkan persaingan antar-media sosial membutuhkan “percikan” interaksi agar mampu menarik para kreator baru setiap tahunnya.

Di tahun 2022, TikTok semakin menjadi primadona kesuksesan sebuah aplikasi video di mata generasi muda. Kehadirannya tidak hanya mengubah kebiasaan mindless scrolling netizen di gadget mereka, tetapi juga gaya hidup yang semakin interaktif dari waktu ke waktu.

TikTok itu tempat yang unik karena enggak banyak gengsi untuk interaksi! Dari pengalamanku sendiri, upload konten ke TikTok pasti akan mendapat views dan likes lebih banyak karena orang-orang lebih menghargai kreator. Apalagi kalo video itu viral pasti bakal lebih cepet naik like-nya,” ucap Floren, kreator akun TikTok yang kini telah memiliki angka followers 293.2 ribu dan 30.5 juta likes di akunnya, saat ditemui di tempat.

Baca Juga: Potongan 0,3 Persen QRIS Tak Berlaku bagi Transaksi di Bawah Rp100 Ribu

Stigma Miring dari Netizen

Jika menoleh ke tahun-tahun belakang, ada masanya saat TikTok menghadapi hujatan netizen Indonesia. Stigma yang melekat dengan aplikasi ini di awal debutnya sempat tidak semulus Instagram, YouTube, Twitter, atau bahkan Facebook, pendahulu-pendahulunya yang telah lebih dulu meraih popularitas di kalangan generasi muda.

Sebut saja istilah jamet alias jajal metal yang kerap disematkan ke kaum TikToker yang dianggap hanya bisa membuat konten dengan joget-joget alay hingga berbagai labelling negatif, bahkan menggeneralisasi gaya orang-orang yang bermain TikTok sebagai norak dan kampungan.

Dua tahun sejak ekspansinya di tahun 2016, TikTok sempat mengalami krisis setelah diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia pada 3 Juli 2018 silam. Bukan tanpa alasan, 3000 laporan negatif dari masyarakat yang memprotes masifnya terpaan konten negatif di aplikasi ini berpotensi menimbulkan side effect yang negatif bagi perkembangan anak-anak dan remaja.

Menurut aku, stigma orang dulu yang mikir TikToker cuma joget-joget alay adalah culture shock saat melihat banyak orang-orang sedang having funaja karena orang Indonesia kan biasa jaga imagedan gengsi di Instagram dan tiba-tiba mengalami transisi ke aplikasi yang visualisasinya jauh berbeda,” tukas Floren.

Justru menurutnya saat ini, algoritma TikTok telah bertransformasi menjadi ikon dari tren generasi muda yang sangat dinamis perubahannya.

Bahkan, untuk sebatas memiliki engagement yang bagus, Floren ditantang untuk memilih antara mempertahankan branding style yang menjadi identitas dirinya sebagai kreator atau justru mengikuti tren yang sedang populer saat itu.

Baca Juga: Perdagangan dimulai September, Mengapa Bursa Karbon Penting?

Tekanan yang Masih Menghantui Kreator

Selain perubahan tren yang dinamis, Floren juga mengakui bahwa dirinya seringkali ter-pressure ketika menghadapi komentar-komentar netizen TikTok yang bermuka dua. Netizen-netizen FOMO (fear of missing out) ini seringkali menuangkan kritikan pedas terhadap setiap konten yang ia bawakan.

Aku pernah salah copywriting pas nulis: Kenapa orang selalu cantik? Nah di sana aku kena hate comment karena haus pujian. Selain itu, konten-konten aplikasi investasi yang aku bawakan malah sering disalah artikan sebagai medium promosi, padahal mereka sudah terdaftar di OJK,” ungkap dia.

Maka dari itu, karakteristik masyarakat Indonesia masih perlu untuk mendapat edukasi terhadap berbagai jenis konten kreatif agar tidak semata-mata menyalahkan aplikasi atau kreator di dalamnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini