Menangkal Hoaks Pemilu dengan Literasi Digital

Menangkal Hoaks Pemilu dengan Literasi Digital
info gambar utama

Hoaks atau berita bohong memang bukan pendatang baru di era digital. Digitalisasi internet tanpa disadari terus memberikan ruang bagi ketikan ‘netizen’ untuk terus memanipulasi berita tanpa verifikasi valid yang seharusnya dibuka ke publik.

Pengaruh hoaks justru semakin eksis saat dunia tengah bergelut dengan pandemi Covid-19, sebuah era pemantik yang sangat berpengaruh dalam mempercepat digitalisasi informasi. Saat itu, semua manusia seakan dituntut untuk mengadopsi teknologi dalam segala proses kehidupan, salah satunya dengan mengonsumsi berbagai informasi masif melalui realitas virtual.

Berbeda dengan masa lalu ketika audiens hanya bertindak sebagai followers pasif yang mengonsumsi berita dari media konvensional, di era media sosial saat ini, audiens telah semakin berlomba-lomba untuk mendigitalisasikan informasi dengan cara yang unik. Salah satunya dengan mengintegrasi big data ke dalam storage base di social media yang mudah diakses bagi siapa saja dan kapan saja.

Situasi ini membuat semakin masifnya informasi digital yang beredar dari berbagai media dan publik semakin mudah pula untuk percaya terhadap “statement” yang mereka akses dari dunia digital.

Baca Juga: Revolusi Elektrifikasi: Analisis Pasar Kendaraan Listrik di Asia Tenggara

Pemilu, Ladang Manipulasi Hoaks Berkedok Politis

Pemilu menjadi momen real di mana hoaks semakin mendominasi ranah politik negeri. Pada April 2022 lalu, Republika mencatat munculnya wacana bohong yang mengklaim adanya penundaan Pemilu 2024 sekaligus masa jabatan Presiden akan diperpanjang hingga tiga periode.

Tidak main-main, hoaks ini mendorong sejumlah massa aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan demonstrasi di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta yang mendesak anggota parlemen untuk menolak wacana tersebut.

Jika dikomparasikan dengan momen sepanjang Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, hoaks seakan kerap ditunggangi sebagai tameng politikus dalam berkampanye sekaligus medium pertarungan dua kandidat ganas dalam mencuri legalitas takhta pesta demokrasi.

Pada tahun-tahun tersebut, VICE Indonesia menorehkan beberapa bukti manipulasi informasi digital yang tersebar tak terkendali, seperti ketika Presiden Joko Widodo yang dipaksa mengklarifikasi hoaks bahwa dia keturunan PKI yang berniat menjual bangsa ini ke Tiongkok.

Hingga berbagai kabar burung kejam yang menyetir fakta-fakta sebenarnya dari kasus penistaan agama oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Situasi kompleks yang akhirnya menggiring politikus asal Belitung Timur itu harus mendekam di balik jeruji besi.

Belajar dari banyak kesalahan sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) sebagai upaya preventif dalam mencegah manipulasi hoaks di ruang digital menjelang Pemilu 2024.

Selain itu, WhatsApp sebagai aplikasi informatika dengan pengguna terbesar di Indonesia pun turut berkomitmen untuk mencegah penyebaran hoaks dengan memberlakukan fitur pembatasan forward pesan serta berkolaborasi dengan KPU, Bawaslu, dan Kominfo untuk memastikan fakta sekaligus keamanan dari informasi yang beredar jelang kampanye pemilu mendatang.

Proses penyebaran hoax selalu dimulai dari motif ekonomi dan emosi,” ujar Co-Founder turnbackhoax.id, Aribowo Sasmito kepada VICE Indonesia.

Menurutnya, mereka yang menyebar hoaks dengan motif ekonomi bisa diasumsikan sebagai pelaku utama di balik ketegangan berita palsu dalam situs digital, sedangkan motif emosi biasa muncul dari korban pemberitaan yang terprovokasi, sehingga mereka turut melakukan publikasi informasi di bawah alam sadar.

Efek domino ini menciptakan rantai hoaks yang terus bertransformasi hingga menjadi musuh abadi dari legalitas informasi digital di Indonesia.

Meskipun banyak pihak yang menyalahkan platform Facebook, Twitter, dan Google sebagai maestro hoaks, Aribowo menegaskan bahwa social media bukanlah sumber dari fenomena histeria massa itu.

Kurasi konten internet secara besar-besaran oleh pengembang aplikasi, Telkom, maupun Kementerian Komunikasi dan Informasi bahkan diasumsikan tidak akan bisa membantu banyak dalam menantang berita palsu yang telah mengakar kuat dalam persepsi jutaan pengguna.

Saya pikir hoax tidak akan pernah hilang, kita hanya bisa mengedukasi masyarakat agar lebih cerdas mengelola suatu berita."

Baca Juga: Skema Subsidi Motor Bakal Diubah: 1 NIK, 1 Unit

Literasi Digital yang Belum Optimal

Masifnya pengaruh kekuatan hoaks disebabkan karena Pemerintah Indonesia yang masih belum menanamkan pencerdasan literasi digital sejak dini kepada masyarakat. Hal ini membuat terbentuknya kelompok masyarakat yang terus mengikuti tren transformasi digital, tetapi masih tidak tertarik untuk mempelajari etika literasi dalam ber internet.

Kelompok ini justru banyak menimbulkan masalah etika digital, sehingga kabar atau informasi yang belum terkonfirmasi menjadi tersebar secara cepat, lagi-lagi dalam bentuk hoaks,” tegas Aribowo

Menangkal hoaks yang telah mengakar dalam realitas digital selama bertahun-tahun memang bukan perkara yang mudah. Maka dari itu, perlu adanya ketegasan bagi seluruh pihak, khususnya masyarakat sebagai pengguna internet dalam menggunakan informasi yang kini mudah diakses secara digital ketika berhadapan dengan triggered issue yang dirasa ‘sensitif’ di mata publik.

Pendidikan literasi digital yang ramah bagi generasi muda juga pantas menjadi solusi yang perlu ditanamkan sejak dini oleh Telkom dan Kementerian Komunikasi dan Informasi karena faktanya tidak semua orang dapat dengan mudah memahami bagaimana etika digitalisasi informasi seharusnya direpresentasikan dalam realitas virtual Indonesia,” tambah dia

Dengan pencerdasan literasi digital, maka hoaks tidak semata-mata mampu memanipulasi kemampuan seseorang dalam memproses informasi yang mereka dapatkan.

Referensi:

https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/ra6dbg354

https://www.vice.com/id/article/3kk7v5/kelompok-saracen-sudah-dibekuk-mungkinkah-hoax-di-negara-kita-berkurang

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini