Siap Siaga dengan Gaungan Sirine dan Kentungan

Siap Siaga dengan Gaungan Sirine dan Kentungan
info gambar utama

Bermukim di daerah pantai memang memiliki daya tarik tersendiri. Sajian pemandangan alam serta debur ombak yang menyejukkan sering kali menjadi pelarian di kala tersesat. Ombak yang berdebur itu bisa saja tak hanya menghilangkan rasa penat, tapi juga eksistensi makhluk yang ada di dalam wilayah kekuasaannya.

Pada saat inilah, penghapusan pernak-pernik peradaban manusia dapat terjadi. Untuk itu perlu adanya penanda akan datangnya amukan ombak melebihi batas wajar sebelum skenario terburuk menjadi kenyataan.

Pantai Glagah terletak di wilayah Kalurahan Glagah, Kapanewon Temon, Kabupaten Kulon Progo, Provisi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pantai ini membentang dari Dusun Glagah hingga Dusun Kretek, dengan enam dusun memiliki kuasa wilayah.

Sambut Hari Anak Nasional: Tim KKN UGM Desa Giripurno Adakan Lomba Berbasis Lingkungan

Jarak antara pemukiman dengan pantai yang tergolong sangat dekat menjadikan daerah kalurahan ini dalam genggaman maut jika terjadi tsunami. Salah satu jalan keluar adalah dengan pengadaan alat siaga, contohnya sirine dan kentungan.

Informasi mengenai sirine di Kalurahan Glagah | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Terdapat dua sirine yang berdiri di daerah Kalurahan Glagah, yakni sirine milik BMKG yang berada di timur laut TPR dan sirine milik BPBD di timur underpass. Sirine BMKG akan berbunyi sebulan sekali tiap tanggal 26 pukul 10.00 WIB sebagai simulasi jika terjadi tsunami. Dengan ini, warga setempat tidak lagi terkejut dan langsung mengerti apa yang terjadi ketika suara terdengar pada waktu bencana tiba.

Pengaktifan sumber bunyi ini diatur langsung oleh pusat. Untuk menjaga agar performanya tetap stabil tiap bulan, ada pemeriksaan rutin yang dilakukan satu jam sebelum sirine dibunyikan. Sayangnya, radius suara sirine hanya terdengar sampai Kantor Kalurahan Glagah saja. Ini berarti masih ada beberapa dusun yang tidak terjangkau suara sirine dan riskan jika tsunami benar-benar terjadi.

Sirine yang berada di dekat underpass memiliki ukuran lebih kecil dan jangkauan yang juga lebih sempit. Alat ini tidak dibunyikan secara rutin seperti sirine yang lain, hanya saat tertentu saja.

Ecobrick, Membangun Dunia Hijau dengan Mengurangi Limbah Plastik!

Untuk mengatasi keterbatasan jangkauan sirine, digunakanlah alat yang lebih sederhana yakni kentungan. Hampir tiap dusun memiliki kentungan yang masih aktif. Modifikasi batang kayu ini dipasang di gardu/pos ronda dan di rumah kepala dukuh.

Informasi mengenai kentungan di Kalurahan Glagah | Foto: Dokumentasi pribadi
info gambar

Kentungan sudah digunakan dalam jangka waktu yang sangat lama. Pada zaman Majapahit misalnya, kentungan digunakan untuk berbagai hal. Moertjipto (1990), seperti yang dijabarkan oleh Muchsin (2021), memaparkan kentungan yang dipakai di masa tersebut, Kentungan Kyai Gorobangsa, difungsikan sebagai alat untuk mengumpulkan warga. Selain sebagai sarana komunikasi, kayu ini juga dimanfaatkan dalam aktivitas religius maupun tradisi kebudayaan.

Beberapa kegiatan bernuansa religi tersebut berupa penanda waktu sahur, pengiring bedug takbir, atau penanda waktu azan. Kentungan akan dibunyikan terlebih dahulu, baru kemudian bedug. Alat ini juga menjadi instrumen pelengkap dalam ritual kejawen (Aryani dan Wakhudin, 2019).

Kode yang digunakan saat terjadi bencana tsunami adalah titir. Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), titir merupakan bunyi yang dipukul dengan gencar sebagai tanda bahaya. Kode ini dibunyikan bertubi-tubi, menandakan bahaya terjadi. Tak hanya tsunami, berbagai bencana lain meliputi kebakaran, gempabumi, serta kejadian genting (perampokan misalnya) juga memakai kode ini.

Memiliki sarana siaga bencana yang aktif memang menguntungkan. Suatu hal yang melegakan saat sarana tersebut bisa digunakan di kala genting. Pun, bukan berarti mengharapkan kejadian yang menjadi pemicu munculnya suara sirine atau titir. Pada dasarnya tiap orang berharap tak akan mendengar suara-suara itu. Setidaknya, benda-benda tadi hanya berbunyi saat keadaan aman sebagai simulasi saja.

Mahasiswa KKN UGM-UNG Gaungkan Peduli Pesisir, Adakan Bersih Pantai di 3 Desa

Sumber:

  • Aryani, I. K, dan Wakhudin, W., 2019, Pembelajaran Abad 21: Kembali Berguru pada “Filosofi Kentongan” sebagai Pelestarian Budaya Banyumas, JDPD, 1(11), 43-49.
  • Muchsin, I. A., 2021, The Existence of Kenthongan as Folk Art: Study of Kenthongan Banyumas, JSM, 10(1), 25-30.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini