Dinamika Self Harm menjadi Trend Kalangan Remaja, Ada Apa?

Dinamika Self Harm menjadi Trend Kalangan Remaja, Ada Apa?
info gambar utama

Sadar atau tidak, kalau akhir akhir ini banyak remaja yang memamerkan perilaku self-harm ke sosial media. Mereka biasanya terjebak pada kondisi frustasi, stress, dan sudah tidak mempunyai tujuan hidup. Self-harm yang paling popular adalah menyayat tangan menggunakan silet. Jika hal ini diteruskan maka akan menganggu kesehatan mental serta fisiknya. Nah, pada bacaan kali ini, akan membahas tentang Self-harm menurut pandangan seorang tokoh filsafat, yaitu Sigmund Freud.

Self-harm merupakan tindakan yang dilakukan untuk menyakiti diri sendiri, self-harm mendeskripsikan banyak sekali hal yang dilakukan terhadap diri mereka sendiri menggunakan cara yang disengaja dan umumnya tersembunyi. Definisi lain yaitu Non-Suicidal Self Injury (NSSI) merupakan perilaku yang dengan secara sengaja menyakiti diri sendiri, sehingga membuat memar serta rasa sakit yang difokuskan untuk kerusakan tubuh, tetapi tanpa tujuan untuk melakukan bunuh diri.

Ketika remaja tidak mampu mengatasi rasa sakit secara emosional, maka dapat mendorong remaja tersebut untuk melakukan perilaku self-harm meski tidak ada niatan untuk bunuh diri. Perilaku self-harm meliputi; menjambak rambut, menggigit, menggaruk, memukul, memasukkan zat yang berbahaya ke dalam tubuh, serta yang sedang sering terjadi saat ini ialah menyayat anggota tubuh (cutting).

Situs Diduga Peninggalan Prasejarah Ditemukan di Lubuk Alung, Padang Pariaman

Perilaku selfharm bukanlah fenomena baru lagi, karena para leluhur terdahulu sudah melakukan perilaku self-harm sebagai ungkapan duka cita atau kehilangan. Secara epidemiologi Indonesia, menurut data survei YouGov Omnibus yang dilakukan pada bulan Juni 2019 menunjukkan bahwa lebih dari satu dari empat masyarakat Indonesia dengan persentase 36,9% pernah melakukan perilaku selfharm dengan segaja dalam hidup mereka. Dari 36,9 % data tersebut jangkauan usia 18-24 tahun. Berdasarkan paparan data tersebut remaja didapati lebih dominan melakukan perilaku selfharm.

Jumlah data konkret yang melakukan self-harm ini dalam kenyataannya sangat susah buat diidentifikasi, lantaran beberapa data penelitian belum menguak realita yang terjadi. Perilaku ini dianggap seperti gunung es dan memang kasus yang belum terungkap sangatlah besar.

Hal tersebut bisa terjadi lantaran dari mereka beranggapan itu adalah masalah pribadi. Alasan itu yang membuat kasus tersebut kurang bisa terdeteksi, kecuali mereka yang memang dirawat lantaran kondisi kejiwaannya. Maka dari itu, perilaku self-harm bukan fenomena yang sepele. Sebab, perilaku selfharm jika dilakukan terus menerus dapat merenggut nyawa, sekalipun tidak berniat untuk bunuh diri.

Kasus perilaku self-harm marak beredar di sosial media, bahkan seperti menjadi trend untuk beberapa kalangan. Itu dikarenakan self-harm yang ada di sosial media seolah olah bersifat mengajak. Beberapa remaja beranggapan kalau melakukan self-harm itu merupakan suatu hal yang keren. Padahal, perilaku self-harm ini berbahaya dan dapat merugikan diri sendiri dan parahnya bisa merenggut nyawanya.

Biawak tak Bertelinga, Fosil Hidup yang Misterius dari Kalimantan

Nah, kondisi seperti ini dalam bidang psikologi bisa dikaitkan oleh perspektif psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund freud yaitu, “Ia memandang setiap gejala atau peristiwa dalam diri manusia selalu diawali lebih dulu oleh sebab umum yang terangkum dalam wilayah mental (kejiwaan)”.

Freud memberikan pandangannya bahwa manusia itu makhluk yang deterministik, artinya kegiatan manusia yang pada dasarnya dibentuk dengan kekuatan yang irasional, yaitu kekuatan alam bawah sadar, dorongan biologis, dan insting pada saat berusia enam tahun pertama kehidupannya.

Sigmund freud pada teorinya menyatakan bahwa dalam struktur jiwa manusia, ada tiga komponen yang diperlukan untuk membangun karakteristik seseorang: identitas, ego, dan superego.

Dalam hubungannya ketiga unsur jiwa tersebut, ego berfungsi mengatur dan mendamaikan konflik tuntutan yang timbul dari superego, identitas, dan realitas eksternal.

Nah menurut Freud, supaya remaja tidak melakukan perilaku self-harm, ia harus menyeimbangkan tiga unsur jiwa tersebut. Hubungan dengan perilaku self-harm bisa dikaitkan dengan traumatik yang pernah dialami remaja jadi benang merah dari teori ini mengharmoniskan komponen yang ada dalam struktur kejiwaan manusia tentang bagaimana menyelaraskan hubungan antara individu dengan dunia nyata tempatnya hidup.

Jadi tindakan melukai diri lebih dominan terjadi dikalangan remaja. Hal ini terjadi karena fase remaja merupakan fase yang penuh konflik sehingga rawan untuk melakukan itu. Remaja kini diharapkan mampu untuk mengikuti arus perubahan keadaan yang berlangsung secara cepat.

Walau perilaku self-harm termasuk perilaku Non-Suicidal Self Injury (tidak bertujuan buat bunuh diri), tetapi yang mereka lakukan ini bisa menjadi tindakan self-harm yang mempunyai potensi tinggi buat bunuh diri. Alasan mengapa remaja kini melakukan perilaku melukai diri sendiri (self-harm) adalah kesepian.

Selain itu, taraf kesulitan yang tinggi pada menanggapi pengalaman yang negatif dan taraf toleransi yang rendah terhadap kasus yang dalami, kebingungan dalam memanajemen stres (emotional focus coping), faktor eksternal dan internal, serta cara berkomunikasi dengan orang tua juga berpengaruh.

Perilaku selfharm teruji dapat didalami melalui pendekatan teori kepribadian (theoryofpersonality) yang dikemukakan Sigmund Freud. Ketika remaja memiliki kapabilitas dalam pemecahan suatu masalah (problemsolving) ego, tapi remaja belum mampu mengatasi identitas dengan baik, maka saat mengatasi identitasnya atau masalahnya, remaja bisa dan berkeinginan untuk bertindak negatif misalnya merusak diri.

Pada kenyataannya, banyak remaja melakukan perilaku self-harm yang berindikasi pada kurangnya kepedulian lingkungannya, baik lingkungan keluarga, sekolah, juga pemerintah. semua pihak semestinya perlu ambil andil dalam mengatasi fenomena ini.

Untuk mengurangi perilaku self-harm pada remaja, baiknya menciptakan tindakan pencegahan dan pemulihan. Fenomena seperti ini diibaratkan seperti kondisi gunung es.

Namun, jika dibiarkan, fenomena tersebut akan menjadi hal yang serius mengingat potensi melakukan tindakan self-harm tinggi buat bunuh diri. Model komunikasi dengan orang tua yang baik sejak dini bisa digunakan sebagai solusi untuk menghindari remaja dari perilaku self-harm.

Selanjutnya, bagi remaja dapat memulainya dengan menerapkan afirmasi positif dalam dirinya dan membentuk self-coping yang dapat mengontrol emosinya dengan baik. Penerapan afirmasi dan lingkungan yang positif kepada diri sendiri bisa menghasilkan wawasan untuk berpikir secara logis.

Pacuan Kuda yang Jadi Momen Pawer Kemewahan Para Juragan Kebun Teh Priangan

Sumber:

https://news.uad.ac.id/untuk-apa-self-harm-kalau-bisa-self-love/

https://jurnal.unpad.ac.id/focus/article/download/31405/17057

https://e-journallppmunsa.ac.id/index.php/kependidikan/article/view/912

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RI
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini