Kesenian Sisingaan: Bentuk Kreatifitas Masyarakat Subang Dalam Melawan Penjajah

Kesenian Sisingaan: Bentuk Kreatifitas Masyarakat Subang Dalam Melawan Penjajah
info gambar utama

Sebagai salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Subang memiliki banyak peninggalan baik dalam bidang sejarah, kesenian, maupun kebudayaan. Salah satu peninggalan budaya dalam bentuk kesenian yang ada di Kabupaten Subang adalah Kesenian Sisingaan. Sisingaan adalah kesenian yang menampilkan boneka berbentuk singa yang ditunggangi oleh anak kecil dengan diusung oleh empat orang serta diiringi oleh alunan musik tradisional. Masyarakat Subang meyakini bahwa dimasa lalu Sisingaan dijadikan sebagai alat perjuangan untuk melepaskan diri dari tekanan penjajah. Hal tersebut karena singa merupakan hewan yang menjadi lambang dari negara Inggris dan Belanda yang pada saat itu menjadikan wilayah subang sebagai lahan perkebunan dengan nama Pamanoekan en Tjiasemlanden atau P&T Land. Para penjajah memahami bahwa Sisingaan adalah bentuk kesenian yang bersifat untuk menghibur, tetapi bagi rakyat Subang penggunaan lambang hewan singa ialah sebagai salah satu bentuk kebencian terhadap kaum penjajah.

Masyarakat Sunda mengenal istilah sisindiran yang berasal dari kata ‘sindir’ merupakan suatu bentuk ungkapan secara tidak langsung. Sisingaan dalam sejarahnya bisa dikatakan sebagai bentuk sindiran rakyat Subang terhadap bangsa kolonial yang saat itu menguasai wilayah Subang. Kesenian Sisingaan merupakan ungkapan sindiran dari masyarakat Subang atas kebenciannya terhadap penjajah yang mengakibatkan rakyat Subang tertindas dari tekanan Inggris dan Belanda. Olah karena itu, hampir semua kalangan meyakini bahwa Sisingaan muncul dan memiliki kaitan dengan kondisi sosial politik Subang pada masa penjajahan.

Tradisi Molabot Tumpe, Cermin Persaudaraan dari Panen Burung Maleo di Banggai

Sejarah Singkat Sisingaan

Dalam sejarah perkembangannya, wilayah Subang pernah dijadikan sebagai daerah perkebunan pada masa kolonial Hindia Belanda dengan nama Pamanoekan en Tjiasemlanden atau P&T Land. Daerah perkebunan ini secara bergantian dikuasai oleh tuan tanah berkebangsaan Belanda dan Inggris. Pada saat berada di bawah kekuasaan Inggris, masyarakat Subang mendapatkan tekanan yang kuat dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial dan budaya. Hal ini disebabkan oleh pengerahan tenaga kerja yang dikerahkan Inggris untuk pembukaan pabrik gula baru di wilayah Subang saat itu.

Saat Subang dikuasai oleh pemerintah kolonial, tepatnya pada tahun 1840 saat keluarga Hofland menjadi pemilik P&T Land, wilayah ini mengalami kemajuan yang pesat dalam bidang ekonomi. Menurut Armin Asdi dalam tulisannya yang berjudul “Seni Sisingaan dan Perkembangannya”, kehidupan di daerah Subang pada masa itu jauh lebih baik dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini karena keluarga Hofland mampu memajukan P&T Land dan juga memperbaikin kehidupan rakyat. Karena penguasa P&T Land saat itu dianggap membawa kemakmuran bagi kehidupan rakyat, sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada penguasa, masyarakat membuat sebuah kreasi seni yang cenderung bersifat sanjungan atau pemujaan. Hal tersebut selaras dengan pendapat dari Mas Nanu Munajar yang berpendapat bahwa Sisingaan berasal dari tradisi Odong-odong yang memiliki fungsi dan makna ritual. Odong-odong dalam konteks ritual ini biasa dipertunjukan saat ritual pertanian dan upacara Ngaruwat Bumi. Tradisi Odong-odong ini dilakukan dengan cara mengarak sesuatu benda yang dibentuk menyerupai binatang tertentu. Seiring dengan berkembangnya waktu, odong-odong melahirkan bentuk-bentuk seni pertunjukan seperti Sisingaan, Kukudaan, Mamanukan, atau bentuk lainnya.

Prosesi dalam rangka Sedekah Bumi | Foto: wereldculturen.nl

Versi lain menyebutkan bahwa pada tahun 1911-1954, saat itu P&T Land dikuasai oleh orang Inggris. Pihak P&T Land kurang memperdulikan masalah-masalah yang ada selama tidak merugikan pihak perusahaan. Pada saat ini mulai timbul pergerakan-pergerakan politik yang bernafaskan nasionalisme di wilayah Subang seiring dengan tumbuhnya organisasi perjuangan Sarekat Islam. Pada periode inilah lahir Kesenian Sisingaan yang menjadi simbol dari perlawanan rakyat Subang terhadap penjajah yang diekspresikan dalam bentuk kesenian.

Menurut Mulyadi dalam tulisannya yang berjudul “Sisingaan Kemasan Wisata di Kabupaten Subang”, menerangkan secara simbolis bentuk perlawanan terhadap penjajah melalui nilai-nilai filosofis yang terdapat pada sisingaan adalah sebagai berikut:

  • Boneka singa yang diusung melambangkan penjajah (Inggris dan Belanda)
  • Empat orang pengusung singa merupakan rakyat Subang yang sedang ditindas penjajah
  • Anak kecil yang menunggangi singa adalah generasi penerus Subang yang akan melawan dan mengusir penjajah dari tanah Subang.

Melalui nilai-nilai filosofi tersebut diharapkan adanya persatuan dari rakyat Subang saat Sisingaan dipertunjukan. Akan tetapi, belum dapat dipastikan apakah pada masa itu rakyat Subang sudah mampu menangkap nilai-nilai filosofis yang terdapat pada Sisingaan tersebut, mengingat pemikiran masyarakat pada saat itu belum seperti masa sekarang.

Kisah Pangkalan Brandan yang Bawa Kemakmuran untuk Pemerintahan Kompeni

Sisingaan dan Perkembangannya

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa Kesenian Sisingaan pada mulanya merupakan sebuah tradisi yang dipertunjukan saat ritual, khususnya dalam bidang pertanian. Hal ini diasumsikan sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga Hofland yang berkontribusi dalam menjadikan wilayah Subang yang semula tidak produktif menjadi lebih produktif. Setelah wilayah Subang tidak lagi dipimpin oleh keluarga Hofland, sekitar tahun 1913 rakyat Subang mulai melakukan gerakan melawan penjajah, salah satunya dengan bentuk Kesenian Sisingaan seperti yang telah dikemukkan sebelumnya.

Kesenian Sisingaan dalam prosesi khitanan | Foto: Alan Grup

Seiring berkembangnya waktu, Sisingaan kemudian dipertunjukan dalam heleran, upacara khitanan, hiburan, penyambutan tamu, festival, dan sebagainya. Perkembangan pertunjukan Kesenian Sisingaan di pengaruhi oleh berkembangnya grup Sisingaan di Kabupaten Subang. Setiap grup Kesenian Sisingaan memiliki ciri khas masing-masing, akan tetapi tetap memiliki kesamaan dalam struktur pertunjukan seperti adanya pembuka, arak-arakan (isi), dan penutup. Sedangkan ciri khas atau perbedaan dapat dilihat dari segi bentuk boneka singa, kostum, instrumen dan pemilihan lagu.

Kesenian Sisingaan yang menjadi identitas dari Kabupaten Subang mencoba untuk dikenalkan ke tingkat nasional maupun internasional. Hal ini bisa kita lihat pada tahun 1978, saat Kesenian Sisingaan mulai dikenal secara nasional dan internasional setelah menjadi juara pertama festival kesenian di Jakarta. Begitupun saat penyambutan Presiden Soeharto dalam kunjungannya di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang pada tahun 1994. Setelah menjadi Warisan Budaya Takbenda nasional, Pemerintah Daerah Kabupaten Subang juga berupaya untuk mendorong Kesenian Sisingaan agar dapat diakui oleh UNESCO.

Dalam upaya melestarikan kebudayaan, khususnya dalam bidang kesenian tradisional merupakan cara untuk mendukung perkembangan suatu budaya di Indonesia. Dalam melestarikan kesenian Sisingaan yang mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti penyelenggaraan festival-festival, kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah baik dari jenjang TK sampai SMA, perlombaan dan pembinaan-pembinaan. Dalam upaya pelestarian ini tidak terlepas dari peran para seniman/pelaku, masyarakat, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Subang dengan mengadakan festival Kesenian Sisingaan yang diselenggarakan hampir setiap tahunnya.

Tradisi Coko Iba, Acara Maulid untuk Pererat Kerukunan Antar Agama

Referensi:

Alamsyah P., Suwardi. (2015). Sisingaan: Kesenian Tradisional Kabupaten Subang. Diakses dari: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/sisingaan-kesenian-tradisional-kabupaten-subang/

Junaedi, A.A., dkk. (2017). Kesenian Sisingaan: Suatu Tinjauan Historis. Patanjala. Vol. (2). Hal. 181-196.

Sumarno, dkk. (2017). Kesenian Sisingaan Di Kabupaten Subang. Jurnal Pendidikan dan Humaniora. Vol. 55 (1). Hal. 89-97.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini