Makan Ikan Buntal ? Siapa Takut

Makan Ikan Buntal ? Siapa Takut
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambun

Hai Sobat GNFI, apa pendapat kalian ketika mendengar kata ikan buntal ?. Mungkin ada yang berpendapat jika ikan ini beracun bahkan mematikan. Pendapat tersebut sangat umum di masyarakat, bahkan gramedia.com menyebutkan bahwa ikan ini adalah salah satu ikan yang paling beracun di dunia.

Ternyata tidak semua jenis ikan buntal beracun, bahkan ada masyarakat yang mengonsumsinya secara turun temurun. Bahkan tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun banyak yang turut menikmatinya.

Kali ini saya mengajak Sobat GNFI bertandang ke Belitung Timur, tepatnya di Desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang. Di desa ini, secara turun temurun masyarakat mengonsumsi ikan buntal air tawar penghuni Sungai Lenggang.

Ikan jenis ini memang tersebar di banyak tempat di Indonesia. Dalam jurnal Keim et al., [2021], ikan ini berkerabat dengan spesies yang ada Kalimantan Timur yaitu jenis P. hilgendorfii. Ciri ikan ini, dalam kondisi terdesak dapat menggembung seperti bola, jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya yang sebenarnya.

Rumah Koran dan Kampung Sayur: Terobosan Melek Literasi Lingkungan Desa Kanreapia
Sungai Lenggang yang dipenuhi tumbuhan rasau
info gambar

Pengetahuan Tradisional Tentang Buntal Darat

Dalam pengetahuan tradisional masyarakat Desa Lintang,ikan buntal air tawar disebut dengan ikan buntal darat. Ikan preadtor ini hidup disela terubuk, yang merupakan kumpulan pohon rasau (Pandanus helicopus).

Tak hanya buntal darat, terubuk juga menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan besar seperti Mengkawak (Channa striata), Ampong (Channa lucius), dan Mentutu (Oxyeleotris marmorata). Tetapi ikan Buntal darat lebih menyukai ikan kecil seperti Cempedik (Osteochilus spilurus), Kemuring (Puntius lineatus), Bantak (Osteochilus wandersii), dan Keperas (Cyclocheilichthys apogon). Selain itu, buntal juga menyukai udang air tawar.

Keberadaan terubuk yang alami sangat penting bagi ikan buntal darat. Meskipun belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan, tetapi masyarakat percaya selama sungai mereka masih terjaga, yang ditandai tumbuhan rasau yang lebat maka selama itu pula ikan Buntal darat aman dikonsumsi. Sebab, mereka tidak berani mengonsumsi ikan ini dari sungai lain. Bahkan ikan dari sungai ini yang melintasi desa lainnya.

Filosofi Jambu: Dua Prinsip Berbudaya bagi Anak Rantau
Kadut yang terbuat dari jari untuk menangkap ikan kecil, kadang juga mendapat ikan buntal air tawar
info gambar

“Pernah ada yang keracunan ikan buntal air tawar jenis ini, meskipun tidak sampai meninggal tetapi sempat mengkhawatirkan, mereka makan ikan yang sama, dari sungai yang sama, tetapi dari desa yang lain. Karena lokasinya telah rusak akibat tambang timah” ungkap Nasidi.

Upaya menjaga kelestarian sungai, tidak terlepas oleh campur tangan adat istiadat. Dalam adat Melayu Belitung “haram” hukumnya merusak sungai. Untuk itulah masyarakat Desa Lintang secara turun temurun menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, seperti bubu, kadut, siro, dan muncong.

Menurut Nasidi (Ketua Komunitas Tebat Rasau), “ikan buntal darat yang paling besar tertangkap sebesar bola voli saat menggembung. Namun, di masa kini ikan jenis sebesar itu sulit ditemukan. Jika menggembung hanya sebesar bola tenis, maka harus dilepaskan, guna menjaga keberlangsungannya”.

Gangan Buntal Darat: Sajian yang Mulai langka

Gangan Buntal Darat, salah satu varian masakan gangan di Pulau Belitung
info gambar

Dalam pengolahan ikan buntal darat tidak ada aturan khusus, sama seperti ikan konsumsi lainnya, karena tidak ada bagian tubuh yang mengandung racun. Sebelum diolah, kulitnya harus dikupas, begitu juga dengan bagian perutnya. Namun, hatinya dapat dimakan, bahkan dipercaya dapat menjadi penawar ketika seseorang keracunan ikan buntal laut.

Masyarakat Desa Lintang secara turun temurun telah mengonsumsi ikan buntal air tawar sebagai lauk makan sehari-hari. Cara sederhana cukup dengan digoreng atau dibuat masakan berkuah kuning berupa Gangan buntal darat, yang merupakan varian dari dari masakan gangan yang ikonik Pulau Belitung.

Bahan yang digunakan yaitu kunyit, lengkuas, kemiri, serai, dan cabe. Sedangkan sebagai asam menggunakan daun tumbuhan Renggadaian (Ploiarium alternifolium (Vahl) Melchior) dan daun tumbuhan Kandis (Garcinia xanthochymus).

Coto Makassar, Daging Rempah Berkuah Khas Indonesia Timur Yang Menggugah Selera
Nasidi dan rekan-rekan menikmati Gangan Buntal Darat
info gambar

Kuliner ini dikembangkan oleh Komunitas Tebat Rasau yang merupakan pengelola Geosite Tebat Rasau sebagai hidangan. Banyak wisatawan yang telah menikmatinya, menurut Nasidi “banyak wisatawan yang telah menikmati Gangan Buntal Darat, seperti Amerika, Malaysia, Jepang dan Singapura. Awalnya tidak mau, tetapi setelah kami mencicipi mereka pun mau” .

Namun, untuk menikmati kuliner tersebut harus memesan terlebih dahulu. Karena, untuk mendapatkannya memerlukan waktu dan perlu memilih ukuran yang layak konsumsi. Selain itu, adanya pembatasan konsumsi juga menjadi alasan yang menyebabkan Gangan Buntal Darat menjadi istimewa dan langka

Keunikan Gangan Buntal Darat telah membawanya menjadi warisan budaya takbenda Indonesia pada tahun 2019. Penetapan tersebut, tidak sebatas keunikan pada kuliner, akan tetapi, semangat yang tersemat pada masyarakat untuk melestarikan ekosistem sungai berbasis budaya dalamnya, merupakan indindikator penting dalam penetapan tersebut.

Koto Gadang: Negeri yang Melahirkan Tokoh Besar Minangkabau

Rujukan:

Keim, A.P. et al. [2021]. Tebat Rasau Geopark: Ethnobiology and Ethnogeology of a Pleistocene River in Belitung, Indonesia. Journal of Tropical Ethnobiology, 4[2], pp. 130–149. Available at: https://jte.pmei.or.id/index.php/jte/article/view/101.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini