Orang Minang yang Suka Merantau dari Abad 14, Benar karena Faktor Ekonomi?

Orang Minang yang Suka Merantau dari Abad 14, Benar karena Faktor Ekonomi?
info gambar utama

Orang Minang yang dirantau jumlahnya lebih banyak dari yang tinggal di Sumatra Barat. Berbagai faktor mendorong masyarakat Minang untuk merantau. Banyak dari mereka yang memang berhasil di tanah rantau.

Catatan gelombang orang rantau dicatat oleh Centre for Minangkabau Studies yang memperkirakan gelombang perantau dari Minang mulai bergerak sesudah Perang Dunia I. Mereka melintas melalui 4 poros: Deli, Riau, Jawa, dan Malaysia.

Keunikan Tugu Fotokopi, Monumen Kejayaan Perantau dari Nagari Atar Sumbar

Beberapa ratus tahun sebelum gelombang perantauan besar-besaran itu terjadi, kira-kira diujung abad ke 14, ada juga seorang pangeran dari Minangkabau, Radja Baginda yang menjelajahi sampai ke Sulu.

“Di sana dia dinobatkan sebagai Raja Sulu I,” tulis Direktur Centre for Minangkabau, Mochtar Naim yang dimuat Tempo.

Pada akhir abad ke 15, orang-orang Minang telah menyusup ke pantai-pantai timur Sumatra. Bahkan menyebrang ke Malaka dan mungkin menjadi cikal-bakal pendatang Minang yang mendiami Negeri Sembilan.

“Kabarnya sudah di tahun 1512, Albuquerque menyebut tentang daerah daerah kota bagian pedalaman Malaka yang telah didiami pendatang-pendatang Minang,” jelasnya.

Menangkap kesempatan

Kisah tentang orang Minang yang merantau begitu banyak untuk diceritakan. Salah satunya adalah paman dari Prof Bahder Djohan yang ditawari pekerjaan oleh Belanda sebagai Demang di Pulau Obi tahun 1930.

“Tanpa terlalu banyak menimbang-nimbang, tawaran Belanda diterima. Hanya bedanya bila perantau-perantau lain dibekali ketupat, benang dan jarum. Maka dia membekali dirinya secara istimewa,” ucapnya.

Kisah ini, jelas Naim bila disarikan ada beberapa watak yang khas dari orang Minang, yaitu cepat menangkap kesempatan, berusaha cepat menyesuaikan diri di mana dan dalam situasi apa saja, cerdas, dan selalu sedia mengembara.

Rendang: Simbol Sosial Masyarakat Minang

Naim memastikan bahwa pergi merantau telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Minang. Walau begitu untuk penyebabnya masih sangat berbagai. Tidak hanya kegelisahan, tetapi ada juga faktor ekonomi.

“Dari data-data yang dikumpulkan bahwa faktor-faktor ekonomi seperti kesulitan hidup di kampung, kurangnya lapangan kerja, dan kurangnya jumlah sawah, telah merupakan faktor utama yang menyebabkan orang Minang merantau,” katanya.

Panggilan jiwa

Tetapi bagi Dr Roesmali, seorang cendekiawan Minang menganggap tak masuk akal bila orang Minang merantau karena kurangnya sawah. Baginya walau kehidupan di kampung susah, tetapi bila semuanya berdagang siapa yang mau membeli.

Karena itu, dirinya meyakini keputusan orang Minang untuk merantau karena panggilan jiwa. Dikatakannya orang Minang merasa lebih bebas bila tidak hidup di tanah kelahirannya, apalagi masih kuat dengan adat.

“Jiwa pengembara, jiwa mandor yang selalu ingin memimpin, selalu ingin tahu tapi selalu cepat bosan, tidak tekun dan tidak betah di satu bidang yang sudah tidak mengandung rahasia lagi bagi jiwa yang gelisah itu,” paparnya.

Minang, Masyarakat dengan Penganut Matrilineal Terbesar di Dunia

Hal yang sama disampaikan oleh ulama terkemuka asal Minang, Buya Hamka. Dia menyebut keputusan dari orang Minang untuk merantau karena sukar mendapat kebebasan individu di tanah kelahiran.

“Untuk membuktikan saya adalah saya, orang Minang perlu pergi merantau. Diperlukan satu pengakuan dunia untuk mendapatkan pengakuan dari kampung sendiri,” kata Hamka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini