Gagasan Peningkatan Kekuatan Karakter Pariwisata Budaya Berkelanjutan di DIY

Gagasan Peningkatan Kekuatan Karakter Pariwisata Budaya Berkelanjutan di DIY
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Daerah Istimewa Yogyakarta (‘DIY’) memiliki beragam keunikan budaya yang selama ini menjadi salah satu daya tarik wisata, namun dilihat dari data BPS tahun 2022 seperti dikutip dalam Databoks, terlihat bahwa DIY belum menjadi destinasi favorit wisatawan domestik. DIY (25,74 juta perjalanan) masih tertinggal jauh dengan Provinsi Jawa Timur (200,55 juta perjalanan) dan Provinsi Jawa Barat (123,53 juta perjalanan). Penetapan Sumbu Filosofis DIY ke dalam salah satu Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO seharusnya mampu menjadi faktor pengungkit utama industri pariwisata budaya di DIY.

Sekilas tentang Sumbu Filosofis, adalah sebuah kawasan sumbu imajiner yang memiliki luasan zona inti sebesar 42,2 Ha dan dikelola oleh 3 (tiga) Pemerintah Daerah yakni Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Beberapa penanda (‘landmarks’) antara lain Monumen Tugu, Kompleks Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, hingga Monumen Panggung Krapyak pada bagian selatan.

Artinya, berdasarkan data UNESCO saat ini sudah ada 2 (dua) Warisan Budaya Dunia dalam wilayah administratif DIY yakni Sumbu Filosofis dan Kawasan Candi Prambanan (sebagian), akan tetapi kewenangan mutlak yang dapat dikelola oleh Pemerintah DIY hanyalah Sumbu Filosofis DIY melalui Balai Pengelola Kawasan Sumbu Filosofis, karena Kawasan Candi Prambanan dikelola oleh PT. TWC.

Sosok Prabu Wastukancana, Raja Sunda yang Paling Banyak Tulis Prasasti

Dalam konteks pengelolaan pariwisata budaya berkelanjutan di DIY, adanya integrasi tujuan pembangunan berkelanjutan (‘SDGs’) sebagai kriteria destinasi pariwisata berkelanjutan di dalam peraturan Menteriparekraf RI memposisikan Pemerintah DIY untuk menaati pengaturan tersebut. Pengaturan tersebut mencakup beberapa dimensi yakni budaya, lingkungan, pengelolaan, sosial dan ekonomi. Dalam level daerah, visi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah DIY Tahun 2005-2025 adalah ‘Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri dan Sejahtera’.

Seharusnya, antara program dan kriteria pengaturan pariwisata budaya berkelanjutan ini sifatnya selaras. Namun demikian masih banyak kendala yang cukup menghambat pencapaian tujuan tersebut, sehingga perlu dipetakan prioritas penanganan yang perlu diambil oleh para stakeholders di DIY.

Prioritas pertama, yakni upaya pengelolaan sampah, dimana saat ini kondisi di DIY cukup memprihatinkan, karena tempat pembuangan akhir (‘TPA’) hanya dijadikan tempat penumpukan dan bukan difungsikan sebagai tempat pengelolaan sehingga banyak tumpukan sampah di area-area dalam DIY. Bahkan tumpukan sampah di Yogyakarta sampai pada daerah Karaton, seperti disebutkan dalam Kompas dan ahli dari Universitas Gadjah Mada. Kondisi per tanggal 10 Oktober 2023, diulas oleh Tempo, kondisi sampah menggunung di daerah Kotabaru Yogyakarta diperkirakan mencapai 60 ton.

Dari sisi kualitas udara, secara real-time pada saat tulisan ini dibuat (12 Oktober 2023, pukul 14.18) menurut IQAir DIY berada pada kondisi “sedang”, namun konsentrasi PM 2.5 berada pada presentase 4,8 kali lebih daripada standar kualitas udara WHO. Hingga saat ini belum ada implementasi nyata penggunaan sumber energi terbarukan (‘EBT’) di DIY. Pengelolaan limbah dan emisi ini merupakan salah satu bagian penilaian dari kualitas destinasi pariwisata berkelanjutan, namun hal ini belum ditangani dengan baik. Seharusnya, perbaikan dalam dimensi keberlanjutan lingkungan menjadi prioritas pertama yang sifatnya mendesak untuk ditangani secara bersama baik Pemerintah DIY, Pemerintah Kabupaten/Kota di DIY maupun masyarakat.

Mengapa Cimahi Terkenal sebagai Kota Militer Sejak Zaman Kompeni?

Pengelolaan sampah ini menjadi sangat penting karena mencerminkan salah satu karakteristik budaya yang mencerminkan pola perilaku masyarakat DIY. Pelibatan masyarakat sangat memungkinkan untuk diterapkan, seperti dapat dilihat dari adanya pengelolaan sampah sebagai pondasi ekonomi sirkular di Kalurahan/Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul yang dikelola oleh BUMDesa. Terkait dengan pengendalian emisi, Pemerintah DIY dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam wilayah administratif DIY perlu memberikan perhatian dengan menganggarkan program-program yang mendukung penggunaan EBT. Sejauh ini, menurut pemantauan dari Mongabay Indonesia, pengelolaan EBT DIY belum maksimal akibat terbatasnya anggaran dan minimnya pemahaman masyarakat.

Prioritas kedua, yang perlu ditangani oleh para stakeholders di DIY adalah strategi pelestarian warisan budaya tak benda DIY, misalnya pada kesenian Wayang Beber, Wayang Wong Mataraman, dan Wayang Kancil yang merupakan kesenian wayang asli dari DIY. Dalam konteks nasional, punahnya kesenian wayang kulit tidak lagi menjadi ancaman atau risiko, namun sebagian sudah benar-benar punah (sekitar 75 jenis wayang) dan yang bertahan hanya sekitar 25 jenis saja (National Geographic).

Padahal, secara internasional pagelaran wayang ditetapkan ke dalam “Intangible Cultural Heritage of Humanity” pada tahun 2003 oleh UNESCO. Menurut Ki Manteb sebagai salah seorang tokoh dalang nasional, seperti diuraikan dalam Tempo, terdapat 4 (empat) penyebab peningkatan risiko kepunahan wayang yakni kalah bersaing dengan program stasiun televisi, minimnya kesempatan tampil dalam stasiun televisi, dalang malas untuk mengembangkan cerita wayangnya, dan kurangnya perhatian dari Pemerintah.

Strategi yang dapat dilakukan secara bersama-sama baik Pemerintah Daerah maupun komunitas masyarakat untuk melestarikan kesenian wayang antara lain inklusi kesenian wayang dalam kurikulum resmi di DIY, advokasi kampanye digital melalui media sosial seperti TikTok dan Instagram untuk menarik minat generasi muda dalam mempelajari kesenian wayang, dan Pemerintah dapat memberikan dukungan keuangan kepada komunitas wayang dan seniman wayang, termasuk pemberian hibah untuk pertunjukan, proyek seni, dan pendidikan terkait wayang.

Mengenal Patola, Cikal Bakal dari Motif Batik Zaman Sekarang

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam upaya meningkatkan kekuatan karakter pariwisata budaya berkelanjutan di DIY, terdapat dua prioritas utama yang perlu ditangani yakni

  1. Pengelolaan Sampah dan Emisi: DIY menghadapi masalah serius dalam pengelolaan sampah dan emisi. Upaya perbaikan lingkungan, termasuk pengelolaan sampah dan pemanfaatan sumber EBT harus menjadi prioritas pertama yang memerlukan kolaborasi antara Pemerintah DIY, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan partisipasi aktif masyarakat.
  2. Pelestarian Warisan Budaya Tak Benda: Warisan budaya DIY, seperti kesenian wayang, menghadapi risiko kepunahan. Untuk melestarikan kesenian ini, langkah-langkah seperti inklusi dalam kurikulum, kampanye digital, dan dukungan keuangan dari Pemerintah perlu diterapkan. Hal ini penting untuk menjaga kekayaan budaya DIY.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RV
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini