Simbolic Power : Analisis Relasi Power - Knowledge Konfusianisme China Dalam Kebijakannya

Simbolic Power : Analisis Relasi Power - Knowledge Konfusianisme China Dalam Kebijakannya
info gambar utama

Kajian ini akan mencoba membongkar grand narrative sebagai wadah tandingan teks kedaulatan, yakni konfusionisme. Wacana kecil konfusianisme merupakan skema pemikiran atau persepsi budaya yang telah mengakar kuat dan melekat erat pada kehidupan sosial-budaya masyarakat China.

Ia diyakini sebagai alat produksi pengetahuan lokal yang melekat erat dalam kognitif elit-elit politik China, sehingga inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa tidak terjadi perang terbuka di kawasan Laut China Selatan karena berhasil merasuki dan mempengaruhi berbagai kebijakan luar negeri negara tersebut.

Dalam perjalanan untuk menguak berbagai wacana lokal yang telah terkubur secara politis memperlihatkan bahwa wacana konfusianisme ini erat kaitannya dengan pendekatan simbolic power yang dimiliki oleh Pierre Bouerdieu.

Untuk lebih menguatkan teks minor lokal yang telah ada, Hegemoni Diskursif menggunakan pikiran Ernesto Laclau dan Mouffe. Tentunya analisis terkait pandangan ini sangat menarik untuk dilakukan karena punya potensi baru dalam melahirkan pikiran-pikiran baru dalam ilmu hubungan imternasional. Benturan wacana budaya China dan wacana dunia modern akan memberikan kontribusi besar dalam meriset dinamika yang terjadi di Laut China Selatan.

Tentunya berbagai teks minor lokal yang mengimbangi kedaulatan ditunjukan oleh pemerintah china lewat kebijakannya di Laut China Selatan. Wacana yang hadir dapat mendominasi pikiran masyarakat dalam bentuk teks yang telah dilegitimasi eksistensinya dan tentunya telah melewati berbagai proses dalam arena pertarungan. Perlu diingat bahwa kekuasaan tidaklah boleh dimaknai sebagai pikiran strukturalis.

Oppenheimer: Dilema Sosok Pencipta Bom Atom atau Pemusnah Dunia

Sehingga dapat dikatakan bahwa wacana merupakan kekuasaan yang sebenarnya. Sejalan dengan hal ini, ditekankan diuraikan konsep kekuasaan dalam tiga keywords penting, Habitus, Kapital, Arena.

Habitus konfusianisme mencakup segala jenis budaya, produksi persepsi, dan evaluasi terhadap praktik hidup keseharian masyarakat di China. Ia telah melebur dalam jati diri serta terbentuk dalam ruang sosial dan telah berjalan seperti itu dalam jangka waktu yang sangat lama di dalam masyarakat.

Berbagai pengalaman yang tercipta hasil dari habitus inilah yang membentuk Doxa kemudian mengontrol para elitis dalam membuat berbagai kebijakan di Laut China Selatan. Sehingga wacana kuasa yang telah dipengaruhi lingkungan budaya diproduksi oleh para agen elit, sebaliknya doxa hadir untuk mengontrolnya.

Kedua, adanya relasi yang terjalin antara agen elit dengan wacana konfusianisme. Inilah yang memodalkan para agen untuk dapat memperoleh dominasi kuasa. Berbagai kapital telah dimenangkan oleh mereka. Kapital sosial yang erat kaitannya dengan modal ekonomi dan budaya. Sedangkan, kapital budaya memperlihatkan kemampuan verbal, pendidikan, dan pengetahuan. Keduanya punya kesinambungan sehingga berbaur satu sama lain.

Yang terakhir, Bouerdieu menekankan field atau arena pertarungan antarteks kedaulatan tersebut. Dalam arena inilah pertempuran wacana yang disebabkan oleh heterodoxa akibat struktur sosial objektif. Tergabungnya habitus dan kapital melahirkan wacana dominan yang akan mencapai dominasi. Kekuasaan dalam wacana inilah yang mempengaruhi perilaku negara dalm bertindak sehingga tidak berperang di Laut China Selatan. Hal ini berimplikasi juga pada kebijakan luar negeri di China.

Nilai-nilai harmoni konfusianisme mendapatkan kapital budaya sangat tinggi di elit-elit politik China. Mulai dari presiden pertama (Mao Zedong) sampai presiden ketujuh (Xi Jinping). Konfusianisme menjadi pengetahuan yang terspesialisasi dan terpluralisasi. Elit-elit politik di Tiongkok memiliki hubungan yang kompleks dengan kapitalisme dan Konfusianisme, serta budaya yang terkait dengan keduanya. Dalam beberapa dekade terakhir, Tiongkok telah mengalami transformasi ekonomi yang signifikan menuju model ekonomi yang lebih kapitalis.

Ereveld, Makam Belanda Berbalut Nostalgia di Penjuru Indonesia

Namun, nilai-nilai Konfusianisme masih memainkan peran penting dalam budaya elit politik Tiongkok. Konfusianisme, sebagai sistem nilai yang akar budayanya di Tiongkok, telah membentuk pandangan dunia dan etika para elit politik.

Value seperti kesopanan, hierarki, dan penghormatan terhadap otoritas masih dihargai dan dipraktikkan di kalangan elit politik Tiongkok. Konsep hubungan sosial yang harmonis, seperti hubungan antara atasan dan bawahan, juga menjadi penting dalam budaya politik mereka. Namun, dalam transformasi ekonomi dan modernisasi Tiongkok, dampak kapitalisme juga terlihat dalam budaya dan tindakan elit politik.

Konfusianisme juga telah menghadapi tantangan dan pertarungan di China, terutama selama era modern dan kontemporer. Beberapa pandangan kritis menilai bahwa Konfusianisme menjadi penghalang bagi kemajuan sosial dan politiknya.

Tak sedikit pemimpin China bahkan menganggap Konfusianisme sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka. Di sisi lain, ada juga kelompok yang memperjuangkan Konfusianisme sebagai suatu cara untuk memperbaiki sistem politik dan sosial mereka. Bahkan ada upaya untuk mengembalikan Konfusianisme sebagai suatu sistem pemikiran yang resmi di sana.

Namun, pandangan ini menjadi kontroversial dan diperdebatkan oleh negara-negara lain yang memiliki klaim di wilayah tersebut. Beberapa negara menganggap klaim negara itu sebagai tidak sah dan menganggap tindakan di area itu sebagai ancaman terhadap perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.

Oleh karena itu, pengaruh Konfusianisme dalam pandangan China terhadap isu Laut China Selatan masih menjadi topik yang kompleks dan diperdebatkan. Implikasi Konfusianisme terhadap permasalahan di situ tidak secara langsung terlihat.

Konfusianisme adalah sebuah sistem filsafat dan ajaran moral yang berfokus pada nilai-nilai seperti etika, hubungan sosial, dan tata aturan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan permasalahan di Laut China Selatan lebih berkaitan dengan sengketa wilayah, geopolitik, dan kepentingan strategis antara negara-negara yang memiliki klaim di wilayah tersebut.

Selain itu, pengaruh budaya Konfusianisme juga dapat terlihat dalam pendekatan diplomasi dan negosiasi antara negara-negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan. Konfusianisme menekankan pentingnya harmoni sosial dan penyelesaian konflik melalui dialog dan kompromi. Meskipun demikian, faktor-faktor politik dan kepentingan nasional juga memiliki peran yang signifikan dalam permasalahan tersebut.

Ini 5 Alasan Singapura Dipilih Jadi Tempat Konser Taylor Swift!

Penulis : Elkata Agustinus Batistuta Atua, Filomina Y. Fatie, Eunike Tesalonika Massie

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

EA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini