Keberkahan Hutan Kalimantan yang Tersaji dalam Sepiring Makanan Orang Dayak

Keberkahan Hutan Kalimantan yang Tersaji dalam Sepiring Makanan Orang Dayak
info gambar utama

Masyarakat Dayak Kenyah Umaq Long memandang hutan sebagai sumber kehidupan. Tinggal di tengah rimba, mereka memakan segala yang diberikan hutan, seperti umbut-umbutan, akar, biji, daun, bunga, dan satwa liar.

Amsal Kayang, masih ingat masa kecilnya di hulu Sungai Saan. Di sebuah rumah panjang bernama Lamin Dadu, keluarganya tinggal bersama sembilan keluarga lain. Hampir setiap hari, ibunya mencari berbagai macam tumbuhan di tengah hutan.

“Saya biasa menemaninya,” katanya yang dimuat Tempo.

Cerita dari Sekolah Adat Arus Kualan, Melestarikan Budaya Dayak dan Memberdayakan Generasi

Karena itu, di usianya yang sudah separuh abad tetapi masih begitu handal saat mencari makanan di hutan. Dirinya terbiasa mencabut parang untuk menebas tanaman-tanaman yang menghalangi untuk mendapatkan rotan.

Dua batang rotan dan bambu sudah siap dibawa pulang. Tetapi pesanan lain, seperti blusut dan biji buah payang, mereka perlu mencari lebih jauh ke dalam hutan. Dia berharap tanaman itu sudah matang.

“Semoga blusut sudah berkembang dan buah payang sudah matang,” ujar Amsal.

Makanan dari hutan

Orang di Jawa mengenal biji payang dengan sebutan kluwek (Pangium edule), yang biasa dipakai untuk rawon. Untuk mendapatkannya, warga Dayak biasa menunggu payang sampai masak hingga jatuh ke tanah dan membiarkan buahnya membusuk.

Orang Dayak Kenyah Umaq Long menamainya blusut. Masyarakat Jawa mengenalnya sebagai kecombrang. Orang Batak mengenalnya sebagai rias atau kincung. Adapun orang Betawi menamainya honje.

“Orang Umaq Long memanfaatkan buah, dan tangkai tanaman tersebut untuk campuran lerek - semacam bubur berbahan nasi atau pati singkong,” paparnya.

Serba-Serbi Suku Dayak di Kalimantan: Sejarah, Budaya, dan Tradisinya

Setelah menemukan hampir semua bahan, dia kembali ke rumah. Asap kayu bakar memenuhi ruangan. Istrinya ingin memasakkan lerek leke fazang dao blusut, yang berarti lerek atau bubur payang campur daun blusut.

Duduk di tepi bakaran, istrinya menyiapkan bahan. Dua batang bambu yang kami ambil tadi siang sudah dipotong dan dibariskan mirip angklung. Di situlah nasi yang dicampur air akan direbus dan uap pun mengepul dari lubang bambu.

Tapi itu semua belum pas, bila tak diberi payang. Ternyata bukan biji payang tadi siang yang akan menjadi campuran. Biji payang itu harus lebih dulu dibuka kulitnya, diambil dagingnya, direndam, direbus, lalu difermentasi di dalam bambu.

“Lebih lama lebih enak,” katanya.

Santapan yang lezat

Bubur panas dituang dari bambu ke mangkuk. Sekilas mirip nasi beras merah karena warna blusut memudar ke bubur ini. Adapun rebusan batang nyating ditempatkan di piring. Diam-diam Amsal membakar umbut rotan untuk melengkapi hidangan.

Di atas meja makan sudah tersaji sebakul nasi putih, lerek payang daun blusut, rebusan nyating, dan sayur payang bercampur serai yang dimasak paling akhir. Daun bekai yang tadi diremat tak lagi berwujud.

Bagi lidah yang terlanjur biasa dimanjakan vetsin, mungkin agak sulit mencari fungsi bekai yang katanya penyedap rasa. Tetapi sesuap dua suap, rasa itu muncul. Ada yang manis datang malu-malu di ujung lidah ketika mengecap lerek.

Masyarakat Dayak yang Setia Menjaga Rotan Layaknya Belahan Hati

“Kalau lengkap seperti ini, saya jadi teringat masakan di Long Saan,” ujar Amsal.

Setelah menyantap makanan itu, Liang Ngau begitu bersyukur bisa memberikan berkah kepadanya. Baginya hutan adalah sumber kehidupan mereka. Terutama untuk memenuhi makanan mereka.

“Hutan ini adalah hidup kami,” paparnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini