Doa-Doa Petani Gayo untuk Siti Kawa yang Menikah dengan Angin

Doa-Doa Petani Gayo untuk Siti Kawa yang Menikah dengan Angin
info gambar utama

Kopi bagi masyarakat Gayo, Aceh bukan sekadar tumbuhan. Mereka bahkan menempatkan kopi sebagai makhluk hidup yang sangat dihormati. Bagi sebagian masyarakat Gayo, mereka menganggap biji kopi bagaikan seorang putri.

Rakyat Gayo telah menanam biji kopi selama hampir 400 tahun dan kopi adalah komoditas berharga yang menopang kehidupan mereka. Jika penjualan dan nilai kopi menurun, maka kehidupan mereka pun akan terpengaruhi.

“Kopi adalah benteng kehidupan mereka sehingga mereka menyebutnya Siti Kewe (Siti adalah nama umum untuk perempuan dan Kewe, berasal dari kata Kahwa yang berarti kopi),” ucap Michelle Anindya dalam Gayo adalah Putri.

Suburnya Kopi Gayo karena Warisan Perawatan oleh Leluhur Aceh

Win Hasnawi, seorang petani Gayo menjelaskan sebagai ucapan terima kasih, ketika proses pertanian akan dipenuhi makna seremonial. Orang Gayo akan hati-hati ketika memetik buah kopi layaknya melahirkan anak.

“Bahkan, di zaman kakek-nenek saya, dia bercerita bahwa ketika memetik kopi, mereka mesti meminta izin, seperti meminta keperawanan seseorang. Bahkan memutarnya pun seragam ke satu arah, yaitu ke kanan. Mereka melakukannya dengan sangat hati-hati,” jelasnya.

Doa untuk kopi

Michelle dalam tulisannya menjelaskan bagaimana petani gayo selalu melakukan ritual dan doa saat melakukan aktivitas. Dari penanaman hingga panen, serangkaian doa dinyanyikan untuk menemani pekerjaan mereka.

Berikut ini adalah doa mereka ketika pertama kali menanam benih di tanah:

Bismillah
Siti Kewe kunikahen ko orom kuyu
Wih kin walimu
Tanoh kin saksimu
Lo ken saksi
Kalamu

Bismillah
Siti Kawa kunikahkan engkau dengan angin
Air sebagai Walimu Tanah sebagai Saksimu
Matahari sebagai Saksi Kalamu

Memori Sesuap Gutel, Pengganjal Perut Pejuang Suku Gayo di Masa Lalu

Mantra kopi ala orang Gayo itu bukan sebenar-benarnya mantra layaknya dalam ilmu perdukunan. Tetapi sebuah seni tutur tradisional yang sudah diwariskan para petani-petani kopi di Gayo.

Kalau dalam istilah orang Aceh pesisir, tradisi itu disebut seumapa yakni bertutur sapa dengan makhluk hidup lainnya. Para tetua Gayo belajar dari pengalaman bertani kopi hingga menuai hasil yang melimpah.

“Sehingga “menciptakan” sebuah kebiasaan untuk menghormati dengan menghargai sumber kemakmuran itu dengan mengucapkan mantra kopi setiap akan menanam kopi,” jelas Fikar W Eda dalam Mantra Kopi dari Gayo.

Terawat hingga kini

Win menjelaskan Gayo kaya dengan kopi karena kesabaran dan perhatian keibuan yang melimpah selama bertahun-tahun. Dikatakannya butuh tujuh tahun sampai buah pertama mekar. Menunggu tujuh tahun bukanlah bisnis yang baik.

Bertanam biji kopi pun harus sangat telaten, seperti menyayangi dan memelihara kebun. Jenis pekerjaan yang jika dilakukan dengan kurang tepat, buah kopi tidak akan bertumbuh atau gagal panen.

Karena itu tidak mengherankan jika para ibu memegang peranan penting mulai dari menanam hingga panen. 70 persen orang yang bekerja adalah wanita, sedangkan pria lebih sering melakukan penjualan dan mengangkat barang berat.

Laga Kuda Joki Cilik di Dataran Tinggi Gayo

Hampir semua runtutan di perkebunan, ibu-ibu ikut campur di dalamnya. Iibu Win misalnya pernah ikut Bapaknya menebang hutan, membuka lahan. Bahkan sampai mencuci, dan pulping, itu ibu-ibu. Karena itu di Gayo, hampir 70 persen kopi disentuh ibu-ibu.

“Para lelaki melakukan kerja keras, seperti mengangkut panen dari kebun ke rumah, kemudian dari rumah ke pabrik,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini