Keberkahan dari Nguras Enceh, Air Suci Warisan dari Sultan Agung

Keberkahan dari Nguras Enceh, Air Suci Warisan dari Sultan Agung
info gambar utama

Masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya biasa berbondong-bondong ketika upacara nguras enceh. Air dalam enceh menjadi rebutan para pengunjung karena dianggap sebagai air suci seperti halnya air zamzam di Mekkah.

“Saya datang jauh-jauh dari Kebumen ke sini khusus untuk mendapatkan air enceh. Tujuannya supaya kehidupan keluarga saya mendapat berkah,” kata Taufan yang dimuat Kompas.

Agar bisa mendapatkan sebotol air dari enceh. Taufan harus menaiki 454 anak tangga dari total 554 anak tangga untuk mencari lokasi. Karena lupa tidak membawa botol, dia membeli satu botol plastik ukuran 1 liter seharga Rp1.000 yang dijajakan penjual di sekitar makam.

Sosok Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir yang Diabadikan di Masjid Demak

Tak hanya menguntungkan bagi pedagang botol, mitos keampuhan air enceh juga mendatangkan rezeki dari sekitar 200 juru kunci makam. Sejumlah pengunjung memberikan uang kepada juru kunci yang menuangkan air dengan besaran Rp1.000 per botol.

“Percaya gak percaya, tetapi air enceh memang banyak dicari orang. Motifnya berbagai sesuai dengan doa yang mereka panjatkan,” kata Rohmat, salah satu juru kunci Makam Raja Imogiri.

Empat enceh

Ada empat enceh yang terletak di depan pintu gerbang I, dua di bagian kiri dan dua enceh di bagian kanan. Bagian kiri Kyai Mendung dan Kyai Siyem (milik makam raja Surakarta), bagian kanan Kyai Danumurti dan Kyai Danumaya (milik makam raja Yogyakarta).

Keempat enceh ini merupakan simbol kejayaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Enceh-enceh ini adalah upeti yang diberikan Kerajaan Aceh, Palembang, Siam (Bangkok), dan Ngerum (Istanbul) setelah dikalahkan Sultan Agung.

Soeharto dan Gagasan Swasembada Beras yang Dilanjutkan dari Mataram Islam

Kerajaan tersebut awalnya ingin memberi upeti berupa perhiasan dan harta benda. Tetapi Sultan Agung merupakan sosok sederhana. Mereka pun memberikan enceh karena tahu Sultan Agung adalah penyiar agama.

“Enceh itu pun digunakan untuk tempat berwudhu saat kerajaan Mataram masih di bawah kendali Sultan Agung. Setelah beliau wafat, lalu dibawa ke sini,” kata Wasim, juru kunci makam.

Tradisi penting

Enceh yang terbuat dari tanah liat itu dikuras selama setahun sekali pada Jumat Kliwon bulan Sura, jika tidak akan diganti pada Selasa Kliwon. Meski dikuras setahun sekali, airnya tetap bersih, tidak ada lumut dan jentik di dalamnya.

Menurut Wasim, tradisi nguras enceh sebenarnya memberikan arti mendalam. Nguras berarti membersihkan, yakni membuang hal-hal yang jelek dan menggantinya dengan kebaikan sehingga tepat dilakukan di tahun baru Jawa.

Kisah Sultan Pajang yang Melarikan Diri dari Pasukan Gaib Mataram Islam

Satu hari sebelum nguras enceh, masyarakat Imogiri menggelar acara kirab budaya. Kirab itu mengantarkan siwur (gayung) menuju makam yang akan digunakan untuk nguras enceh. Siwur ini dibuat dari batok kelapa.

Kirab diawali dari halaman kantor kecamatan Imogiri menuju kediaman juru kunci makam Surakarta untuk mengambil siwur, lalu dilanjutkan ke kediaman juru kunci makam Yogyakarta dengan kegiatan yang sama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini