Soeharto dan Gagasan Swasembada Beras yang Dilanjutkan dari Mataram Islam

Soeharto dan Gagasan Swasembada Beras yang Dilanjutkan dari Mataram Islam
info gambar utama

Pada zaman Soeharto terjadi lonjakan konsumsi beras di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bila pada 1954 porsi beras hanya 53,5 persen, tetapi pada 1999 hampir 92 persen mengkonsumsi beras dan gandum.

Soeharto sebagai orang Jawa sepertinya terinspirasi dari penguasa Kerajaan Mataram Kuno yang menjadikan beras ukuran kemakmuran dan stabilitas negara. Jejak tertua budidaya padi di Jawa bisa dilacak pada Prasasti Canggal, Jawa Tengah.

Berkah Petani Timun Suri ketika Datangnya Bulan Ramadan

Pada prasasti dari tahun 732 Masehi ini ditulis dengan aksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Inskirpsi terhadap prasasti ini yang dilakukan Museum Nasional menunjukkan kekayaan raja karena beras dan emas.

“Yawadwipa (Jawa) di bawah Raja Sanjaya telah diberkahi kekayaan beras dan emas,” tulisnya.

Dilanjutkan oleh Mataram Islam

Pada abad ke 16 hingga 18 Masehi, Mataram Islam melanjutkan filosofi beras sebagai penyokong kekuatan kerajaan. Sebagaimana tertulis dalam Babad Tanah Jawa di mana para Raja Mataram menyadari posisi beras sebagai penjaga stabilitas kekuasaan.

“Keberhasilan panen padi dan swasembada beras menurut perspektif Sultan Mataram adalah simbol tercapainya stabilitas ekonomi, politik, dan sosial,” tulis Maryoto.

Kisah Para Petani Kolang-Kaling yang Mendapat Berkah dari Bulan Ramadan

Karena itulah ketika seorang sultan mampu memenuhi ketiga indikator tersebut akan dipercaya mampu bertahta. Sultan pun akan dianggap berhasil membawa rakyat serta kerajaannya menuju gerbang kesejahteraan.

Pada Babad Tanah Jawa juga diperlihatkan sosok pendiri Kesultanan Mataram Islam, Ki Ageng Pemanahan yang mencetuskan politik pangan. Di mana ketika urusan perut sudah tercukupi barulah kegiatan-kegiatan politik dan militer dapat dilakukan secara maksimal.

“Kebutuhan akan ketangguhan pangan tidak lepas dari ambisi Kesultanan Mataram Islam yang saat itu ingin untuk memperluas wilayah kekuasaannya,” jelasnya.

Beras dan ekspansi wilayah

Pada masa Sultan Agung lebih terlihat lagi pentingnya politik pangan, terutama karena ambisinya memperluas wilayah. Keberhasilan Sultan Agung menempatkan padi sebagai komoditas politik telah memberikan dampak nyata.

Kepada petinggi militernya, Sultan Agung memerintahkan untuk memperhitungkan pasokan pangan bagi para prajurit yang akan bertempur. Wilayah yang dipilih pun haruslah yang memiliki kontur tanah yang rata dan dekat dengan sumber air.

Dari Tanam Padi hingga Telur Puyuh, Cara Eks Napiter Terorisme agar Berdikari

Misalnya pada pertempuran di wilayah timur Pulau Jawa, pasukan Kesultanan Mataram memilih Jepara sebagai lokasi ideal. Para prajurit juga akan melakukan isolasi pasokan logistik untuk menaklukan lawan.

Taktik ini dianggap efektif, karena akan membuat lawan mengkonsumsi pangan yang ala kadarnya. Sehingga makanan mereka kurang gizi yang diharapkan menurunkan moral dan semangat bertarung.

“Sehingga mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak menguntungkan, yakni menyerah dan mengaku kalah atau bertahan meski kelaparan,” tegas Maryoto.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini