Riwayat Rebana Biang dan Rebana Gedigdug dari Betawi

Riwayat Rebana Biang dan Rebana Gedigdug dari Betawi
info gambar utama

Rebana Biang dan Rebana Gedigdug memang sedikit terdengar asing di telinga, pasalnya dua kesenian Betawi ini jarang tampil dihadapan publik baik itu pada ritus masyarakat atau acara formal atau nonformal. Selain itu, jumlah pelaku seninya juga tidak banyak. Barangkali di Jakarta Selatan saja lebih khususnya di wilayah Ciganjur dan Petukangan.

Pada Acara Refleksi Akhir Tahun 2023 Menuju Refleksi 2024 Gemilang dengan fokus acara Diskusi "Mengenal Jejak Rebana di Tanah Betawi" yang diselenggarakan oleh Bangkit Anak Negeri dan Yayasan Kampung Silat Petukangan, beruntung Rebana Biang dan Rebana Gedigdug menjadi fokus pembahasan bahkan divisualisasikan secara langsung.

Bertempat di Gedung SKKT Petukangan Selatan, acara dihadiri oleh Tahyudin Aditya, Sekjen Bamus Betawi, Abdul Aziz, penggiat budaya sekaligus narasumber diskusi, Baba Markasanih, Anak Kandung Ki Dehir sekaligus narasumber, Baba Dasik, sesepuh Kampung Petukangan, dan Muhamad Rido, moderator diskusi sekaligus perwakilan Sudin Kebudayaan Jakarta Selatan. Hadir pula Nasir Mupid, maestro Topeng Blantek, Rik A. Sakri, sutradara teater, pelaku seni, dan kalangan umum.

Dua Kebijakan Ini Penting Agar Kinerja Industri Meroket, Apa Saja?

Tahyudin Aditya dalam sambutannya mengatakan kalau Betawi merupakan etnis yang sejak lama sudah mendiami Sunda Kalapa tetapi mengapa hari ini orang Betawi seolah tidak menjadi tuan rumah di buminya sendiri.

"Entah apa alasannya sehingga harus memutus pengetahuan sejarah tentang leluhur kita. Saya aja kalau ditanya silsilah keluarga hanya sampai Kumpi mengetahuinya, selebihnya tidak. Dan boleh ditanya ke orang Betawi lainnya, saya yakin terputus pada generasi keempat atau kelima ke atas," kata Tahyudin.

Sambutan Tahyudin memberi pesan bahwa generasi Betawi harus melek sejarah, melek silsilah, melek atas jasa leluhurnya dahulu dengan upaya melakukan diskusi budaya seperti acara ini.

Menarik disimak apa yang disampaikan sebagai prolog diskusi oleh moderator, Rido, bahwa pandangan umum menerjemahkan rebana dari kata Robbana yang berasal dari bahasa Arab artinya Ya Tuhan Kami. Adapun Rebana itu berasal dari bahasa Portugis. Keterangan itu didapatkan dari Buku karya Ridwan Saidi berjudul Lexicografi Sejarah Manusia Betawi Jilid 1.

"Buku itu tidak menjelaskan mengapa disebut rebana, tetapi yang jelas itu sangat mungkin karena bangsa Portugis yang datang menggunakan kapal laut harus mendarat di suatu tempat. Pendaratan itu tentu memakan waktu berhari bahkan bulan mengingat pemenuhan logistik untuk perjalanan selanjutnya, cuaca sedang tidak mendukung, atau hal lain. Ketika itulah para awak kapal turun, berjalan-jalan keliling perkampungan atau daerah setempat dan melihat permainan musik robana. Namun karena lidah orang Portugis agak samar mengucapkannya terdengarlah "rebana" yang di mana orang pribumi mendengarnya dan mengucapkannya demikian lalu menjadi viral seperti yang terjadi dewasa ini, ketika banyak istilah asing sering diucapkan anak muda karena dianggap keren dan berkelas," ungkap Rido.

Kalau demikian, kita dapat mengartikan kalau alat musik rebana telah dikenal bangsa Nusantara paling tidak sejak abad 15-16 M bahkan jauh sebelumnya. Pertanyaan seperti apa bentuk rebana yang lebih dahulu ada, khususnya di Betawi? Abdul Aziz, narasumber pertama mengemukakan bahwa alat musik rebana tempo dulu tentu sederhana tidak seperti sekarang yang disaksikan seperti hadroh dan kasidah.

"Kalau kita lihat ada pada rebana biang. Bentuknya sederhana dan tradisional, cara mengencangkannya atau nyetel nadanya dengan mengganjal kayu dan diketok," terang Abdul Aziz.

Jepang Menjadi Tujuan Wisata Favorit Traveler ASEAN, termasuk Indonesia

Ia menambahkan bahwa pembawa rebana di tanah Betawi bernama Pak Tua Kumis bin Kandang atau Syeikh Zainal bin Nasir Al-Bantani asal Banten yang kemudian mengajarkan kepada H. Damong, asal Ciganjur yang menurut keterangan terjadi pada tahun 1825. Makamnya ia temukan di daerah Bintaro.

Selanjutnya Baba Markasanih, Ia mengungkapkan kalau ayahnya dahulu pemain rebana keliling kampung sendirian asal Pondok Pinang.

"Bapak saya namanya Dehir, orang biasa nyebut Ki Dehir, atau Babeh Dehir. Awalnya dulu gegendingan atau ngamen pake rebana satu. Terus kata pamannya, ajak kawan laen supaya bikin grup. Dari situlah dia sering ditanggep buat hajatan seputaran Jakarta, Tangerang, ke Bogor, Cabang Bungin, dan Rengasdengklok. Itu terjadi sekitar tahun 1950-70an. Saya anak bungsunya sekarang usia 76 tahun," kata Baba Markasanih.

Ia menambahkan bahwa dulu disebutnya Rebana Digdug atau permainan seperti adegan berantem. Adapun ayahnya seorang pemain rebana yang sejak usia 5 tahun buta matanya berbarengan dengan sakit cacar, katanya.

Meskipun Ki Dehir buta, dirinya tetap piawai memainkan rebana bahkan mampu menabuh terampil dengan kakinya Usut punya usut ternyata Ki Dehir kenal,berteman hingga beberapa kali manggung satu grup dengan Hadji Godjalih, sosok guru besar Silat Beksi sekaligus pemain rebana. Artinya pada waktu itu, pelaku seni memiliki jaringan sosialnya tersendiri.

Senada dengan itu, Abdul Aziz kembali mengemukakan temuannya bahwa H. Abdurrahman Ciganjur, generasi keempat Rebana Biang ketika diwawancara juga mengakui kalau ada orang Pondok Pinang dan Petukangan yang andil bermain Rebana Biang, itu terjadi sekitar generasi kedua dan ketiga yaitu generasi H. Bitong dan Generasi H. Engkos.

"Alat musik yang dimainkan bentuknya sama, jenisnya sama Rebana Biang hanya saja yang dikenalkan oleh H. Godjalih, Petukangan, dikembangkan dan disebut Rebana Gedigdug. Ada satu keterangan sesepuh Kampung Ulujami namanya Baba Rachmat Effendi. Kata dia, gua dulu kalo denger nama Dehir aja mau manggung, buru-buru gua lari nyari walopun pake baju monyet," sambung Aziz.

Dasik Arifin, sesepuh Kampung Petukangan kemudian memberikan keterangan bahwa dirinya pernah menyaksikan secara langsung pertunjukan Rebana Gedigdug sebanyak dua kali.

RI Gali Potensi Kerja Sama dan Investasi di Kota Tagum, Filipina

"Itu terjadi pada tahun 1970-an. Uniknya itu panggungnya tinggi 3 meteran, mainnya diselingin solawat ama pantun terus sahut-sahutan entar nebak-nebak dah. Itu kalo yang kaga bisa nebak, di tengah panggung digantungin macem-macem buah, nah entar yang gagal nebak disuapin buah ampe dia bisa nebak itu kepanjangannya. Kalo orang dulu nyebutnya Rebana Gedigdug atawa Rebana Berantem," kata Baba Dasik.

Sesi tanya jawab membuat diskusi semakin seru, ketika salah satu peserta bernama Ramadan menanyakan perbedaan antara Rebana Biang dan Rebana Gedigdug. Pertanyaan dijawab oleh Abdul Aziz yang menerangkan kalau Rebana Biang itu jenis kesenian yang sarat dengan nuansa keagamaan karena diajarkannya memang setelah pengajian.

Adapun Rebana Gedigdug merupakan kesenian yang lahir sebagai hiburan masyarakat di mana pada waktu itu mayoritas di Kampung Petukangan adalah petani dan pedagang hasil alam.

"Rebana Gedigdug berkembang sebagai simbol kegembiraan atas hasil panen yang bagus sekaligus tanda syukur," sebut Aziz.

Diskusi yang dimulai sejak pukul 19.30 terpaksa dihentikan pukul 21.15 karena malam semakin larut. Rido selaku moderator berpesan bahwa seni budaya harus terus lestari dan perlu adanya upaya revitalisasi jangan sekedar pencapaian WBTb saja. "Sebab kalau mereka punah, moral manusia luluh lantah," tutup Rido.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini