Cerita dari Desa Rahtawu, Mitos Larangan Menggelar dan Membicarakan Wayang

Cerita dari Desa Rahtawu, Mitos Larangan Menggelar dan Membicarakan Wayang
info gambar utama

Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah memiliki kisah unik. Dalam mitos yang beredar di masyarakat, haram bagi warga Desa Rahtawu untuk menggelar pertunjukan wayang. Jika pantangan ini dilanggar, berbagai malapetaka dipercaya bakal terjadi.

Desa Rahtawu merupakan salah satu desa di kabupaten Kudus yang terletak di dataran tinggi. Lokasinya berada di lereng Gunung Muria, sekitar 22 kilometer dari alun-alun Kudus. Untuk mencapai daerah tersebut, Kawan perlu melewati jalan yang berkelok.

Jika sudah sampai di daerah tersebut, Kawan akan melihat banyak tulisan yang menunjukkan adanya petilasan. Kepala Desa Rahtawu, Rasmadi Didik Ariyadi bahkan mengungkapkan ada lebih dari 100 petilasan yang ada di desa tersebut. Meski demikian, hanya sekitar 68 petilasan yang saat ini sudah tercatat. Sementara itu, sisanya masih dalam proses kajian.

Menurut cerita, petilasan tersebut dahulu digunakan sebagai tempat pertapaan para leluhur tokoh pewayangan Pandawa. Di antara petilasan-petilasan yang tersohor di Desa Rahtawu ialah petilasan Abiyoso, Eyang Sakri, Lokajaya, Palasara, dan Pandu.

"Kita sudah di atas 60 petilasan, cuma belum kita unggah. Sedang kita dalami narasinya seperti apa, supaya tidak keluar dari pakem yang ada. Ada petilasan Eyang Sakri, petilasan Eyang Abiyoso, Eyang Pandu Dewanata, Eyang Semar cukup terkenal bagi kalangan spiritualis," ujar Didik, Jumat (8/7/2022), sebagaimana dikutip dari Detik.com.

Dilansir dari laman Museum Kemdikbud, ada tokoh terkenal nan sakti bernama Begawan Palasara yang merupakan ksatria brahmana sakti dari pertapaan Sata Arga di Gunung Rahtawu. Ia adalah anak tunggal Bambang Sakti dan Dewi Sati. Ia tumbuh menjadi seorang pertapa muda yang sakti, sesuai nama “Palasara” yang berarti “senjata yang ampuh”.

Keberadaan petilasan di sana menyebabkan Desa Rahtawu ramai dikunjungi saat malam 1 Muharram atau 1 Suro. Para peziarah biasanya melakukan pertapaan.

Sejarah, Sinkretisme, dan Mitos Malam Satu Suro

Larangan Gelar Wayang di Desa Rahtawu

Cerita adanya petilasan leluhur tokoh wayang di Desa Rahtawu tersebut dinilai jadi alasan kuat adanya mitos larangan menggelar pertunjukan wayang kulit. Pelanggaran terhadap pantangan tersebut dipercaya dapat mendatangkan malapetaka.

Didik menceritakan, sudah banyak kejadian yang tidak masuk akal saat larangan tersebut diterobos.

"Pantangannya tidak boleh menanggap wayang, atau suatu berkenaan dengan wayang sangat dilarang di masyarakat. Banyak cerita ketika itu sekadar cerita, ada kejadian yang tidak masuk akal," jelasnya.

Surahman Kertawidjaya, salah seorang tokoh spiritual menjelaskan larangan pementasan wayang di Desa Rahtawu salah satunya disebabkan kisah pewayangan yang dibawa oleh dalang dari luar Desa Rahtawu kerap diceritakan menurut versinya.

“Ibaratnya seperti silsilah keluarga, kalau tidak runtut atau urut kan pihak keluarga ada yang nggak terima,” imbuh Surahman.

Meski demikian, Surahman menambahkan pementasan wayang tidak menjadi masalah apabila dalangnya memiliki keturunan Rahtawu.

“Karena tidak mungkin, leluhur menyakiti anak-cucunya. Maka dari, itu saya percaya kalau yang menjadi dalang dan yang mementaskan wayang orang Rahtawu asli, tidak akan terjadi bencana seperti sebelumnya-sebelumnya,” jelasnya.

Tidak hanya pementasan wayang, di desa tersebut dikenal dengan larangan membicarakan perihal wayang.

Melacak Wayang Beber, Warisan Tak Benda yang Sekarang Dikeramatkan

Cerita dari Warga Saat Coba Abaikan Pantangan

Berbagai cerita saat warga mencoba mengabaikan pantangan tersebut pun beredar. Surahman mengungkapkan pernah terjadi badai saat ada seorang warga menanggap wayang dalam hajat pernikahan.

“Kemudian dalangnya setelah acara sakit bahkan sampai meninggal. Selain itu, salah satu mempelai juga meninggal keesokan harinya,” imbuhnya, dikutip dari Zonanews.id.

Rasmadi Didik Aryadi selaku mantan Kepala Desa Rahtawu juga menceritakan pada 1980, seorang anak SD yang menjalani hajat khitanan dan dalang yang menceritakan kisah wayang meninggal dunia.

"Saat itu saya masih SD. Si dalangnya itu belum sampai rumah sudah meninggal. Kemudian si anak yang khitan itu meninggal. Acara itu kan malam hari. Keesokan harinya terjadi longsor dan banjir," ungkapnya.

Ia menegaskan, meski cerita-cerita tersebut tidak masuk logika, masyarakat diharapkan tetap menghormati kepercayaan tersebut.

“Tetap dihormati karena adat istiadat itu sudah berkembang sejak lama. Dan hal semacam ini merupakan hukum adat yang tidak tertulis,” terangnya, Sabtu (30/10/2021) dikutip dari Murianews.

Mitos Penguasa yang Lengser bila Lewati Gerbang Kalacakra di Kudus

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini