Membuka Pesan Lama yang Tak Terbaca dari Si Ondel-Ondel

Membuka Pesan Lama yang Tak Terbaca dari Si Ondel-Ondel
info gambar utama

Barangkali, sebagian di antara kita terkadang risih ketika sekelompok Ondel-Ondel keliling menyodorkan kaleng untuk meminta uang atas imbalan jasanya menghibur dengan boneka raksasa. Ngamen, itulah yang disebut masyarakat umum seiring menjamurnya kelompok itu seperti di Kebayoran Lama, Pesanggrahan, dan kawasan Jabodetabek. Baik itu dilakukan menggunakan musik live (musik yang dimainkan secara langsung dari alatnya) ataupun menggunakan musik rekaman dari flashdisk yang diperdengarkan melalui speaker mini.

Hal ini cukup menuai pendapat yang pro dan kontra, baik itu dari kalangan pelaku seni, budayawan, dan pemerintah dalam menanggapi polemik Ondel-Ondel mengamen. Tentu saja, semua mengarah demi kebaikan harkat dan martabat suatu budaya, tetapi juga tak melupakan unsur kemanusiaan.

Ondel-Ondel—atau dahulu yang disebut sebagai Barongan—telah dikenal masyarakat Betawi, paling tidak sejak awal abad ke-17 dengan rupa menyeramkan, tinggi dan besar. Keterangan itu tertuang dalam buku karangan Ridwan Saidi, Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi, 2010.

Wajah hitam yang kemerah-merahan dan bertaring membuat rupa Ondel-Ondel terkesan menakutkan. Penyebutan Barongan dalam masyarakat juga dipakai oleh masyarakat Sunda, mengingat geografis budaya Betawi tercakup dalam wilayah Kerajaan Sunda Padjajaran.

Kepercayaan pada Dewi Sri sebagai lambang kesuburan bagi masyarakat Nusantara sudah lazim, terutama di Jawa. Memori masyarakat Betawi menyebut Dewa Sri sama dengan nama Dewi Sri Pohaci yang dalam cerita legenda. Berkat kematiannya, ia memberikan kehidupan dan kesuburan manusia terutama kalangan petani.

Nampaknya, kesuburan tak akan langgeng tanpa kemakmuran. Sebab, jika hanya subur, barangkali konsep hasil alam yang dimaksud hanya sebatas pada makna "cukup" saja pada area tertentu. Sedangkan konsep kemakmuran maknanya ialah hasil alam itu "melebihi dari cukup". Banyak hasilnya, sehingga sanggup menghidupi penduduk, bahkan di luar area tertentu tersebut.

Ondel-ondel, Bukan Sekadar Boneka Raksasa dari Betawi

Dalam hal inilah, Barongan yang dimaksud Ondel-Ondel kemudian melahirkan makna makmur, lambang kemakmuran di mana Ondel-Ondel digunakan sesudah masa potong padi atau panen padi. Maka jelas, jika padi dilambangkan oleh Dewi Sri, sedangkan Ondel-Ondel melambangkan masa panen padi, maka artinya terdapat sinkronisasi keyakinan masyarakat sehingga keduanya saling berkaitan.

Meski demikian, Ondel-Ondel lebih mengarah kepada konsep pelengkap sebagai pembantu Dewi Sri, sebagaimana yang diterangkan dalam buku Babad Tanah Betawi karya Ridwan Saidi, 2002. Sekali lagi, Ondel-Ondel berkembang dalam masyarakat agraris.

Perkembangan itu sedikit menuai pro dan kontra dalam masyarakat Betawi itu sendiri. Bukan pada keberadaannya yang sekarang dijadikan alat mengamen, tetapi lebih awal pada simbol yang dimaknai oleh boneka raksasa tersebut.

Konversi masyarakat Betawi menjadi mayoritas beragama Islam kemungkinan terjadi pada periode Kerajaan Sunda Padjajaran, sehingga akar keberislaman pada segelintir masyarakat Betawi menolak eksistensi Ondel-Ondel kini. Hal itu karena kekhawatirannya pada makna yang masih melekat sebagai penolak bala atau simbol berhala. Artinya, definisi itu bisa menjerumus pada kepercayaan selain pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selain hal itu, dalam pembuatan Ondel-Ondel terdapat ritual-ritual tertentu bahkan penari di dalam boneka raksasa tersebut dirasuki roh atau jin sehingga kesurupan sebagaimana yang dinyatakan dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya berjudul Kebudayaan Betawi dalam Perspektif Sejarah karya Badri Yatim, 2003.

Terlepas dari perbedaan opini itu, kembali pada keyakinan masing-masing menyikapinya. Faktanya, Ondel-Ondel saat ini menjadi ikon budaya Betawi sekaligus wajah bahagia Kota Jakarta yang tak semenyeramkan dahulu. Ondel-Ondel menjadi pertunjukan jalanan, teater tanpa tutur, tanpa kata, tetapi sarat makna.

Hingga masa Gubernur Ali Sadikin, arak-arakan atau pertunjukan jalanan Ondel-Ondel sempat tenggelam dan hampir menghilang, tetapi kemudian perlahan dibangkitkan kembali. Pada tahun 1974, para pakar budaya di Jakarta dikumpulkan dan dibentuklah Lembaga Kebudayaan Betawi.

Setahun selanjutnya, bentuk Ondel-Ondel dibuat lebih segar dan bersahabat. Selain itu, pada Kembang Kelapa, hiasan kepala Ondel-Ondel yang dipakemkan menjadi 25 untuk Ondel-Ondel Laki-laki dan 20 untuk Ondel-Ondel perempuan.

Ondel-Ondel, Palang Pintu dan Filantropi? Sebuah Upaya dari Selatan Jakarta

Sejauh ini, kita sering melihat Ondel-Ondel yang berkeliling di jalan-jalan, di pajang di gedung pemerintahan, atau sebagai dekorasi tambahan. Adapun jumlah Kembang Kelapanya banyak, melebihi pakem tersebut. Padahal praktisi Ondel-Ondel sendiri umumnya pun mengetahui maksud dan filosofi 20 dan 25 itu sendiri.

Bahkan, keterangan filosofi itu telah dituangkan dalam Lampiran Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2017 tentang Ikon Budaya Betawi. Jumlah 25 memiliki filosofi atau makna nama-nama Nabi yang perlu diketahui, adapun jumlah 20 filosofinya sifat wajib bagi Alloh Subhanahu Wata'ala yang wajib diketahui.

Proses reka cipta ulang pada hiasan Kembang Kelapa itulah yang oleh Yasmine Zaki Shahab dalam seminar Generasi Milenial dan Peran Penting Pencak Silat dalam Pembentukan Karakter Bangsa pada 2020 lalu, membuat Ondel-Ondel dapat diterima masyarakat Betawi secara luas karena tidak bertentangan dengan agama (Islam).

Lebih lanjut menurutnya dalam Jurnal Antropologi Indonesia dengan judul Reka Cipta Tradisi Betawi: Sisi Otoritas dalam Nasionalisasi Tradisi Lokal, 2001, menyebutkan bahwa teramat sulit mewujudkan kompromi dalam proses reka cipta seni (Betawi) apabila seni yang direka cipta tak sejalan dengan nilai Islam sebagai jiwa kebetawian.

Pesan itulah yang tidak terbaca dan tak sampai oleh masyarakat luas bahwa terdapat nilai religius Islam dalam filosofi Ondel-Ondel. Sayang sekali bukan, kalau gagasan dan makna budaya yang dirumuskan oleh para pendahulu hingga diperjuangkan menjadi sebuah peraturan yang tidak berarti apa-apa?

Justru, tidak sedikit pelaku budaya Ondel-Ondel yang abai dan malah memasang hiasan Kembang Kelapa tak sesuai jumlah pakemnya dengan alasan hanya karena tidak bagus dan tidak sedap dipandang mata. Tong Kosong Nyaring Bunyinya?

Beberapa pelaku budaya Ondel-Ondel yang memasang hiasan Kembang Kelapa lebih dari ketentuan menyebutnya bentuk pengembangan. Padahal, kebudayaan dalam skala apapun intisarinya suatu sistem gagasan yang berisi konsep-konsep, nilai-nilai.

Oleh karenanya, ketika ingin mengembangkan kebudayaan ke arah tertentu, dalam hal ini (seni) Ondel-Ondel, maka perangkat dan konsep nilai itulah yang diidentifikasi lebih dahulu. Pelaku budaya berbeda dengan kaidah orang dagang yang semata-mata mengedepankan yang cepat laris.

Kalau pelaku budaya mendepankan yang cepat laris itu, maka budaya (seni) yang dikembangkan itu sifatnya hanya hiburan yang menyenangkan, mudah dicerna, dan jelas mutu kandungan isinya tidak tinggi dan tidak serius.

Kesenian Ondel-Ondel Budaya Betawi Penanda Kota Jakarta

Kalau demikian, ada benarnya kata Edi Sedyawati dalam bukunya Kebudayaan di Nusantara: Dari Keris Tor-Tor sampai Industri Budaya, 2014. Seorang seniman, budayawan, dan arkeolog yang menyatakan bahwa seni yang diedarkan dan disiarkan dalam kancah industri budaya selayaknya memiliki pembelajaran bagi konsumennya.

Sebab konsumen dengan selera rendahan akan mudah terjajah oleh pangsa pasar yang berjualan konten kurang mendidik. Jadi, jangan terkecoh karena sebuah seni kurang bagus atau tidak sedap dipandang mata. Namun, lihatlah pula nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebab, nilai-nilai itulah pesan yang memperkuat karakter dan moralitas bangsa sekaligus menjadi pertahanan bangsa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini